Selasa, 26 Oktober 2010

Info Post
"Semua dosa itu sama," pernyataan ini sering terdengar diucapkan berbagai orang apapun agamanya. Benarkah demikian? Jawabannya bisa "ya" bisa "tidak." Kita bisa menjawab "ya" bila yang dimaksud adalah "semua dosa itu sama [karena menjauhkan kita dari Allah]." Namun kita bisa menjawab "tidak" bila yang dimaksud adalah "semua dosa itu [nilainya] sama."


Tentunya tidak ada pihak yang tidak setuju dengan pemahaman bahwa "semua dosa itu sama [karena menjauhkan kita dari Allah]." Tapi masalah yang lebih menimbulkan perbedaan pendapat yang rumit adalah pemahaman "semua dosa itu [nilainya] sama." Ini karena banyak pihak yang beranggapan bahwa mencuri mangga Pak Raden sama berdosanya dengan membunuh ayah kandung sendiri. Beberapa orang bahkan akan mengacu pada Yak 2:10-11 dimana dalam surat tersebut St. Yakobus mengatakan bahwa siapapun yang mentaati seluruh hukum namun melanggar satu saja maka dia telah bersalah atas seluruh hukum.



Nanti kita akan kembali ke Yak 2:10-11, namun sementara apa yang diajarkan Gereja Katolik sendiri? Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

1854 Dosa-dosa harus dinilai menurut beratnya. Pembedaan antara dosa berat dan dosa ringan, yang sudah terbukti di Kitab Suci (1Yoh 6:16-17), menjadi bagian dari tradisi Gereja. Pengalaman manusia menegaskannya.

1855 Dosa berat merusakkan kasih dalam hati manusia oleh suatu pelanggaran berat melawan hukum Allah. Di dalamnya manusia memalingkan diri dari Allah, tujuan akhir dan kebahagiannya, dan menggantikanNya dengan sesuatu yang lebih rendah.

Dosa ringan membiarkan kasih tetap ada, walaupun [dosa ringan tersebut] melanggarnya (kasih) dan melukainya (kasih).


Jadi Gereja mengajarkan adanya pembedaan dosa menjadi dosa berat dan dosa ringan. Yang cukup menarik Katekismus juga merujuk kepada 1Yoh 5:16-17. Dan sangat jelas di ayat tersebut bagaimana St. Yohanes mengajarkan ada dosa yang berat dan yang tidak. Ini berarti bahwa ajaran akan pembedaan dosa menjadi dosa berat dan dosa ringan memang ada di Kitab Suci.

Bila mengingat kembali Yak 2:10-11, apakah ini berarti ayat 1Yoh 5:16-17 tidak konsisten? Tentu saja tidak. Dalam suratnya St. Yakobus mengatakan bahwa salah satu inti dari hukum Taurat adalah, "kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Yak 2:8) [inti hukum Taurat yang paling utama adalah "cintailah Allahmu lebih dari segala sesuatu"]. Seumpama kita membunuh sesama, apakah ini berarti kita mengasihinya? Tentu tidak. Seumpama kita berbuat cabul terhadap sesama, apakah ini berarti kita mengasihinya? Tentu tidak. Seumpama kita berbohong kepada sesama, apakah ini berarti kita mengasihinya? Tentu tidak. Jadi memang tiap pelanggaran perintah apapun dari hukum Taurat berarti bahwa kita telah melanggar semuanya. Karena toh dengan melanggar satu saja perintah Taurat maka inti dari hukum Taurat, yaitu untuk mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri, telah kita langgar.

Tapi apakah pelanggaran tiap perintah tersebut sama nilainya? Tentu saja tidak. Menurut hukum Taurat sendiri pembunuh dan pencabul dihukum mati (Ul 24:17, 20:10) namun apakah seorang pencuri atau pembohong akan sama-sama dihukum mati karena mereka juga melanggar hukum Taurat? Tidak. Menurut Taurat sendiri pencuri hanya dihukum mati bila dia mencuri sesama orang Israel dan memperlakukannya sebagai budak miliknya (Kel 21:16; Ul 24:7). Tapi bila si pencuri hanya mencuri sapi atau domba maka dia harus mengganti lima kali lipat kalau sapi atau domba yang dicuri mati dan dua kali lipat kalau sapi atau domba yang dicuri masih bisa dikembalikan, tapi kalau dia tidak mampu maka dia bisa dijual sebagai budak (Ul 22:1-4). Sedangkan pembohong yang melakukan kebohongan di pengadilan akan dihukum sesuai dengan niatan jahat dari kebohongan orang itu (Ul 19:16-19), maksudnya kalau si pembohong melakukan kebohongan agar bisa memiliki sapi tetangganya, maka si pembohong harus dihukum menurut nilai dari sapi tersebut.


Mengingat adanya pembedaan nilai dari pelanggaran Hukum Taurat yang ditunjukkan dari perbedaan sanksi yang ditetapkan, maka jelas bahwa ketika St. Yakobus berkata "tetapi [barangsiapa] mengabaikan satu bagian daripadanya dia bersalah atas seluruhnya" di Yak 2:10 dia tidak bermaksud bahwa membunuh sama nilainya dengan berbohong. Yang dimaksudkan St. Yakobus adalah baik membunuh maupun berbohong sama-sama melanggar hukum Taurat, sama-sama melanggar inti dari hukum Taurat, sama-sama tidak mengasihi sesama.


Apakah para Bapa Gereja Awal juga mengimani pembedaan dosa menjadi dosa berat dan dosa ringan? Berikut beberapa kutipan yang menunjukkan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah “ya” :

Tertullian "Siapa yang [mampu] mengampuni kecuali Allah sendiri?" dan, tentunya, [siapa kalau bukan dia yang dapat mengampuni] dosa berat (mortal), [suatu dosa yang sebegitu berat] yang telah dilakukan kepada dirinya sendiri dan kuilnya? (Modesty 21 [A.D. 220]).

Pacian dari Barcelona "Kepelitan diobati oleh kedermawanan, penghinaan oleh permintaan maaf, ketidak layakan oleh kejujuran dan untuk yang lain, penebusan bisa dilakukan dengan mempraktekkan yang berlawanan. Tapi apa yang bisa dilakukan orang yang mengejek Allah? Apa yang harus dilakukan pembunuh? Obat apa yang bisa ditemukan untuk pencabul? . . . Ini adalah dosa besar (capital), saudaraku, ini adalah berat (mortal).(Sermon Exhorting to Penance 4 [A.D. 385])."

Jerome (Hieronimus) Ada dosa ringan (venial) dan dosa berat (mortal). Adalah satu hal untuk berhutang sepuluh ribu talenta, adalah hal lain untuk berhutang seperempat sen. Kita harus memberi perhitungan terhadap kata sia-sia seperti juga kepada percabulan. Tapi menjadi bersemu dadu (pipi kemerahan karena malu karena berkata sia-sia) dan disiksa (karena berbuat cabul) tidaklah sama; tidaklah sama untuk menjadi merah diwajah dengan mengalami kesakitan dalam waktu lama. . . . Jika kita meminta maaf atas dosa-dosa yang lebih ringan kita diberi maaf, tapi untuk dosa-dosa yang lebih berat, sulit untuk mendapatkan [permintaan maaf] yang kita minta. Ada perbedaan besar antara satu dosa dengan dosa yang lain (Against Jovinian 2:30 [A.D. 393]).

Yohanes Kasianus Tapi [adalah] untuk perbaikan ketika Allah menghukum umatnya yang benar untuk dosa-dosa yang ringan (venial)... sehingga Dia bisa mencucikan semua pikiran kotor mereka... sehingga dapat menjadikan mereka seperti emas murni. (Conference 6 [+/- A.D. 390])

Agustinus Beberapa akan berkata, "Kalau begitu setiap pencuri apapun akan diperhitungkan setara dengan pencuri yang mencuri dengan kehendak akan pengasihan?" Siapa yang akan berkata seperti ini? Tapi dari keduanya tidaklah berarti bahwa semuanya baik, karena yang satu lebih jelek. Yang lebih jelek adalah dia yang mencuri karena ingin memiliki barang orang lain, daripada dia yang mencuri karena kasihan: tapi jika semua pencurian adalah dosa, dari semua [tindakan] mencuri kita harus menghindar. Karena siapa yang boleh berkata bahwa orang bisa berdosa, meskipun dosa yang satu mengutuk [ke Neraka], sedang yang lain [dosa] ringan [venial]? ... Karena pencuri-pencuri dihukum lebih ringan oleh hukum daripada kejahatan nafsu [cabul]; namun [kedua tindakan tersebut, mencuri dan cabul] adalah sama-sama dosa, namun yang satu lebih ringan, yang lain lebih berat. (To Consentius, Against Lying 19 [+/- A.D. 420)


Rasanya sudah cukup bukti bahwa Alkitab dan para Bapa Gereja Awal dengan mufakat mengajarkan adanya pembedaan dosa menjadi dosa berat dan dosa ringan. Perhatian kita selanjutnya, sesuai judul tulisan, adalah mengerti lebih dalam tentang dosa berat dan dosa ringan dan hubungan keduanya.


Seperti dijelaskan Katekismus dosa berat "merusakkan kasih dalam hati manusia" dan membuat manusia "memalingkan diri dari Allah" yang adalah "tujuan akhir kebahagiaan." Dengan begitu maka mereka yang berdosa besar telah terpisah dengan Allah. Keterpisahan dengan Allah ini bila tidak segera diperbaiki akan berlaku selamanya... ini berarti neraka:

1035 Ajaran Gereja mengatakan adanya neraka, dan bahwa neraka itu berlangsung selama-lamanya. Jiwa orang-orang yang mati dalam dosa berat turun langsung ke neraka, dimana mereka menderita hukuman neraka, "api abadi" (Bdk. DS 76; 409; 411; 801; 858; 1002; 1351; SPF 12). Hukuman utama dari Neraka adalah perpisahan abadi dengan Allah, yang hanya didalamNya manusia dapat menemukan kehidupan dan kebahagian, karena untuk itulah manusia diciptakan dan karena itulah yang dirindukan manusia.

Konsekuensi dari dosa berat memang sungguh dahsyat. Sebentar lagi akan ditunjukkan lebih lanjut bagaimana suatu dosa bisa digolongkan menjadi dosa berat dan bagaimana memperdamaikan diri kembali dengan Allah setelah berdosa besar. Namun sebelumnya akan dijelaskan singkat mengenai dosa ringan.


Dosa ringan punya akibat yang jauh lebih ringan dari dosa berat. Orang yang mati dalam kondisi berdosa ringan tidak masuk ke Neraka, tapi ke Api Penyucian. Dari Katekismus:

1863 Dosa ringan melemahkan kasih; dosa ringan mewujudkan diri dalam kesukaan tak teratur akan barang-barang ciptaan; dosa ringan menghambat kemajuan jiwa dalam melakukan kebajikan-kebajikan dan tindakan-tindakan moral yang baik; dosa ringan layak mendapatkan hukuman sementara. Dosa ringan yang dilakukan secara sengaja dan tidak disesalkan mempersiapkan kita sedikit demi sedikit untuk melakukan dosa berat. Namun dosa ringan tidak memutuskan perjanjian kita dengan Allah. Dengan rahmat Allah dosa ringan bisa diperbaiki secara manusiawi. "Dosa ringan tidak membuat pendosa kehilangan rahmat pengudusan, persahabatan dengan Allah, kasih, dan tentunya kebahagiaan abadi" (Yohanes Paulus II, RP 17 § 9.) 
Sementara manusia berada dalam kedagingan, ia paling sedikit tidak dapat hidup tanpa dosa ringan. Tapi janganlah menganggap bahwa dosa yang kita namakan dosa "ringan" itu, tidak membahayakan. Kalau engkau menganggapnya sebagai tidak membahayakan, kalau menimbangnya, hendaklah engkau gemetar, kalau engkau menghitungnya. Banyak hal kecil membuat satu timbunan besar; banyak tetesan air memenuhi sebuah sungai; banyak biji membuat satu tumpukan. Jadi, harapan apa yang kita miliki? Diatas segala-galanya, yaitu, pengakuan (Agustinus, ep.Jo.1,6).

Meskipun dosa ringan tidak membuat orang kehilangan kasih dan putus hubungan dengan Allah namun dosa ringan bisa "mempersiapkan kita sedikit demi sedikit untuk melakukan dosa berat," dimana dosa berat itulah yang pada akhirnya akan membuat kita putus hubungan dengan Allah.


Bisakah kita kemudian berkata, "Ah, kalau begitu ya dijaga saja jangan sampai berdosa besar. Kalau ringan tidak masalah?" Tentu tidak. Walaupun dosa ringan itu sendiri, berapa kalipun dilakukan, tidak akan membuat kita otomatis putus hubungan dengan Allah, namun efek kumulatif dari melakukan dosa ringan berkali-kali akan membuat kasih dan rahmat Allah dalam diri kita terlemahkan sehingga lambat laun kita akan sangat mudah jatuh kedalam dosa besar. Dan dosa besar itulah yang akan mengutuk kita ke neraka.

Ada satu ilustrasi yang berguna: Ambil pisau kecil lalu iris kecil sekitar 2 cm di perut. Irisan kecil tersebut tidak mematikan. Dan meskipun seluruh badan di-iris 2 cm, kita juga tidak akan mati. Kita tidak akan kehabisan darah karena pada saat kita selesai mengiris semua badan maka lebih dari setengah dari irisan sudah mengering dan darah berhenti. Nah, apakah ada yang mau mengiris badan sendiri dengan anggapan toh irisan-irisan itu tidak akan membuat mati? Tentu saja tidak. Karena meskipun irisan itu tidak membuat mati namun irisan tersebut dapat menganggu kita dalam melakukan pekerjaan lain, misalnya saja bila rasa pedih dari irisan-irisan itu membuat kita tidak bisa berkonsentrasi dalam menyetir mobil, dan sebagai akibatnya kita mengalami kecelakaan dan mati. Bukankah ini merugikan? Begitu pula dengan dosa ringan.


Setelah kita mengetahui apa yang diakibatkan dosa ringan dan dosa besar kepada kita maka perlu kita mengetahui kapan suatu dosa bisa disebut dosa besar dan kapan suatu dosa bisa disebut dosa kecil.

Dosa dianggap berat bila memenuhi tiga kriteria: 1) materinya berat, 2) dilakukan dengan pengetahuan penuh, 3) dilakukan dengan rela (bdk. Katekismus 1857). Ketiga syarat ini harus dipenuhi semuanya agar suatu dosa bisa dikatakan berat. Bila satu atau dua syarat tidak terpenuhi, maka dosa tersebut adalah dosa ringan, bukan dosa berat (Bdk. Katekismus 1857).

Materi yang berat mengandaikan bahwa persoalannya berat, besar dan serius. Mencuri Rp 100 atau mencuri satu buah Belimbing tentunya tidak seserius mengkorupsi dana perusahaan sebesar Rp 100,000 apalagi mengkorupsi uang milyar-an rupiah. Berbohong mengenai alasan tidak mengerjakan PR tentunya tidak seserius berbohong dalam penyidikan polisi atau berbohong di pengadilan. Untuk mengetahui materi-materi apa yang berat, petunjuk praktisnya biasanya adalah sepuluh perintah Allah dan lima perintah Gereja. Berikut adalah beberapa daftar singkat materi yang tergolong berat yang biasanya sering dilakukan umat beserta referensi paragraph Katekismus: berkontrasepsi (2399), tidak ikut misa pada hari Minggu atau hari wajib tanpa alasan yang serius (1281), menikmati materi pornografi dalam media apapun (2354), masturbasi (2352), mengambil komuni padahal tahu masih belum mengakukan dosa beratnya (1415) dan lain-lain.

Dilakukan dengan pengetahuan penuh berarti bahwa si pendosa tahu bahwa apa yang dilakukan adalah dosa yang berat dan bertentangan dengan kehendak Allah. Point ini sering menjadi pembenaran bagi mereka yang memang punya keterikatan dengan dosa. Mereka akan berargumen, "yah, kami tidak tahu kalau apa yang kami lakukan itu dosa berat." Mereka berharap dengan pembenaran semacam itu maka syarat kedua tidak terpenuhi dan mereka tidak terkena dosa berat tapi hanya dosa ringan. Tentu saja bila seseorang benar-benar tidak tahu beratnya dosa yang dia lakukan maka syarat kedua tidak terpenuhi. Namun bagi mereka yang menipu diri sendiri [atau orang lain] dengan mengandaikan bahwa mereka sebenarnya tidak tahu keseriusan dosa mereka, maka mereka akan mendapat hukuman ganda. Pertama, mereka akan dihukum karena dosa mereka yang berat itu. Kedua, mereka akan dihukum karena menipu diri sendiri [atau orang lain]. Hendaklah kita jujur dan tulus terhadap Allah yang tahu apa isi hati kita lebih dari diri kita sendiri (Luk 16:15; 1Yoh 3:19-20).

Dilakukan dengan rela berarti bahwa si pendosa tidak dipaksa untuk melakukan dosanya. Seorang pegawai yang ibunya diculik lalu kemudian dipaksa untuk mencuri uang perusahaan agas sang ibu bebas, tentunya tidak bisa dikatakan melakukan dosa berat. Sayangnya masih banyak juga yang mencoba menemukan lubang kelemahan dalam syarat yang satu ini. Ada yang berpikiran, "saya mencuri uang karena terpaksa, butuh biaya sekolah." Apakah alasan ini merubah dosa berat menjadi ringan? Tidak. Karena kebutuhan biaya sekolah bukanlah kebutuhan mendesak yang melibatkan hidup mati seseorang secara langsung ataupun secara mendesak.


Bila kita tahu bahwa kita telah melakukan dosa berat maka kita harus segera meperdamaikan diri dengan Allah. Hal terburuk yang bisa terjadi bila tidak segera memperdamaikan diri dengan Allah adalah bila kematian tiba-tiba menjemput. Dan orang yang mati dalam dosa berat akan segera masuk neraka (bdk. Katekismus 1035).

Ada dua cara untuk menghapuskan dosa berat, yang satu mudah, yang satu sangat sukar. Cara yang paling mudah adalah, dengan niat menyesal dan ingin memperbaiki diri, segera berkunjung ke Romo untuk mengakukan dosa dalam Sakramen Tobat. Cara yang kedua, yang lebih sulit, adalah bila si pendosa mampu melakukan sesal sempurna. Katekismus menjelaskan:

1452 Kalau sesal itu berasal dari cinta kepada Allah, dimana Allah dicintai lebih dari segalanya, maka sesal itu disebut "sempurna" (sesal kasih). Sesal seperti itu menghapuskan dosa-dosa ringan; sesal seperti itu juga mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa berat jika termasukkan didalamnya niatan untuk mendapatkan pengakuan yang sakramental secepat mungkin (Konsili Trente: DS 1677).

Yang sulit dari sesal sempurna ini adalah mencintai Allah lebih dari segalanya. Banyak dari kita yang merasa bahwa diri sendiri pasti mencintai Allah lebih dari segalanya. Namun kebanyakan perasaan itu kurang tepat karena dalam lubuk hati kita sendiri masih banyak keterikatan duniawi.

Harus dihindarkan sikap orang yang berasumsi, "aku sudah sesal sempurna, jadi tidak perlu mengaku dosa ke Romo. Nge-repot-repotin dan agak sungkan." Mengapa? Karena seperti yang dikatakan Katekismus diatas, sesal benar-benar sempurna bila disertai niatan untuk mengakukan dosa bila sempat. Jadi bila seseorang mengaku telah melakukan sesal sempurna tapi dia tidak mengakukan dosa meskipun ada Romo yang bisa dihubungi dan dia tidak punya halangan serius untuk bertemu dengan Romo, maka pada kenyataannya orang tersebut sama sekali tidak pernah melakukan sesal sempurna.


Untuk dosa kecil, banyak sekali cara untuk menghilangkannya. Dosa kecil bisa dihilangkan dengan menerima komuni kudus, berdoa "saya mengaku" pada awal misa, berdoa Bapa Kami, mengaplikasikan air suci pada diri sendiri. Semua tiu bisa menghilangkan dosa kecil asalkan dilakukan dengan niat tobat yang sesuai dengan dosa kecilnya.


Memang kadang-kadang setelah tahu hal-hal diatas, masihlah sangat sulit untuk membedakan mana dosa yang berat dan mana dosa yang ringan. Namun apakah suatu dosa itu berat atau ringan kita harus segera menghapuskannya dari dalam diri kita. Sakramen Tobat adalah sakramen yang menghapuskan baik dosa berat maupun dosa ringan. Dalam Sakramen Tobat pula kita bisa berkonsultasi kepada imam (Romo, Uskup), yang tentunya punya pengetahuan yang cukup, apakah apa yang kita lakukan termasuk dosa berat atau ringan. Jadi, bila ragu, segeralah mencari imam untuk konsultasi dan mengaku dosa.

Pada akhirnya, marilah kita semua menghindari dosa seringan apapun agar nanti pada hari kematian kita siap bertemu dengan Allah dengan tak bernoda.