Selasa, 05 April 2011

Info Post

Pendahuluan
Artikel ini adalah upayaku, administrator page Gereja Katolik (Pax et Bonum),  untuk membantu umat Katolik memahami sebuah dogma Katolik yaitu Dogma Infallibilitas Paus. Dalam artikel ini, dapat anda temukan bahwa dogma ini adalah dogma yang sangat alkitabiah dan sesuai pengajaran Para Bapa Gereja Perdana. Dogma ini juga merupakan dogma yang sangat dapat dipertanggungjawabkan. Dogma ini adalah sebuah karunia (gift) dari Allah bagi Gereja dan dogma ini berlandaskan Kasih dalam Kebenaran (Caritas In Veritate) sama seperti dogma-dogma Katolik lainnya.

Artikel ini tidak memiliki Nihil Obstat dan Imprimatur. Juga, saya sebagai seorang awam tentu tidak luput dari kekeliruan. Oleh karena itu, jika ada isi artikel ini yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, maka saya dengan rendah hati dan taat akan menerima koreksi dari Magisterium Gereja Katolik. Saya akan taat karena Kristus sendiri menghendaki agar setiap umat Katolik taat kepada Magisterium Gereja Katolik.
Luk 10:16 “Barangsiapa mendengarkan kamu (70 Murid, gambaran awal dari Magisterium), ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.”

Infallibilitas Paus
Infallibilitas Paus adalah ketidakdapatan sesat Sang Imam Agung di Roma (Paus), Kepala Dewan para Uskup, berdasarkan tugas beliau selaku gembala dan guru tertinggi segenap Umat beriman serta yang meneguhkan saudara-saudara beliau dalam iman (lih. Luk 22:32); dalam menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan dengan tindakan definitif.1

Infallibilitas sendiri tidak hanya dimiliki oleh Paus sendiri. Sebenarnya, infallibilitas juga dimiliki oleh Magisterium Gereja Katolik, yaitu Paus bersama Para Uskup yang bersatu dengan Paus, ketika mengajarkan secara otentik ajaran Iman dan Moral.2

Kristus sendiri yang menganugerahkan infallibilitas ini. Kristus memberikan kepada Petrus dan Para Rasul kuasa “mengikat dan melepaskan”. Tentunya kuasa ini haruslah disertai dengan karunia Infallibilitas sebab jika Petrus dan Para Rasul sesat dalam “mengikat dan melepaskan” di bumi maka kesesatan masuk ke dalam surga. Kristus berkata kepada St. Petrus dan Para rasul serta para suksesor mereka, Magisterium Gereja, bahwa (tanda kurung ditambahkan oleh saya):

Mat 16:19 “Kepadamu (Petrus) akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga."

Mat 18:18 “Aku berkata kepadamu (Petrus dan Para Rasul): Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”


Konsili Vatikan I dan II Mengenai Infallibilitas Paus
Infallibilitas menjadi anugerah secara khusus bagi Paus sebagai kepala Para Uskup (Mat 16:17-19 ; Joh 21:15-17). Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium art. 25 memberikan kita penjelasan mengenai infallibilitas Paus.

“Ciri tidak dapat sesat itu ada pada Imam Agung di Roma, Kepala Dewan para Uskup, berdasarkan tugas beliau, bila selaku gembala dan guru tertinggi segenap Umat beriman, yang meneguhkan saudara-saudara beliau dalam iman (lih. Luk 22:32), menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan dengan tindakan definitif. Oleh karena itu sepantasnyalah dikatakan, bahwa ketetapan-ketetapan ajaran beliau tidak mungkin diubah dari dirinya sendiri, dan bukan karena persetujuan Gereja. Sebab ketetapan-ketetapan itu dikemukakan dengan bantuan Roh Kudus, yang dijanjikan kepada Gereja dalam diri Santo Petrus.”

Sedangkan Konsili Vatikan I memberikan informasi kepada kita mengenai syarat-syarat infallibilitas Paus yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Paus harus berbicara dari Tahta St. Petrus (ex-Cathedra) dalam kapasitasnya sebagai pengganti Petrus.
2. Keputusan Paus harus mengikat Gereja secara keseluruhan.
3. Keputusan tersebut harus mengenai ajaran Iman dan Moral.

Ketiga syarat ini harus dipenuhi seluruhnya. Jika hanya sebagian saja yang dipenuhi, maka keputusan Paus tidak infallible.3

Infallibilitas Paus dalam Kitab Suci dan Pengajaran Bapa Gereja
Infallibilitas Paus bukanlah dogma yang muncul tiba-tiba dalam ajaran Gereja. Infallibilitas adalah dogma telah hadir dalam Kitab Suci dan Gereja perdana.

Dogma Infallibilitas hadir dalam perikop-perikop seperti Yoh 21:15-17 ; Lukas 5:3; Lukas 22:32,  dan Mat 16:18.

Yoh 21:15-17 menunjukkan kepada kita bahwa Kristus menyerahi mandat penggembalaan pertama-tama kepada Petrus. Bukankah Kristus adalah Gembala yang baik? Sang Gembala yang baik ini tentunya tidak mau agar domba-domba-Nya tercerai-berai dan diterkam oleh serigala (Serigala dapat kita sebut metafora dari ajaran-ajaran sesat / heresy). Sang Gembala yang baik ini memang sungguh baik. Kasih-Nya kepada domba-domba-Nya diwujudkan secara nyata dan kelihatan tidak lagi abstrak dengan menunjukkan wakil-Nya di dunia yang kelihatan dan nyata untuk mengajarkan kepada kita ajaran Kristus yang sepenuhnya dan untuk menjaga kita domba-domba-Nya dari serigala (baca:kesesatan). Sang wakil Kristus ini haruslah dikaruniai karisma Infallibilitas sebagai senjata untuk mengusir serigala yang mengancam domba-domba Kristus. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa Petrus Sang Wakil Kristus memang memiliki karunia infallibilitas tersebut.

Lukas 5:3 adalah salah satu ayat yang secara jelas dan unik memberikan kita gambaran mengenai infallibilitas Paus.
“Luk 5:3 Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu.”
Menarik untuk melihat ayat ini. Kristus mengajar orang banyak dari atas perahu Simon dan tentunya ajaran Kristus tidaklah sesat sebab Ia adalah Kebenaran. Maka, Di perahu Simonlah kita menemukan ajaran Kristus yang sepenuhnya tanpa ada sedikit pun ajaran yang sesat.

Lukas 22: 31-32 – Yesus juga berdoa supaya Iman Petrus tidak dapat gugur dan meminta Petrus menjadi seorang yang meneguhkan Para Rasul lain – Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kalian (Para Rasul) seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau (Petrus seorang), supaya imanmu (Iman Petrus) jangan gugur. Dan engkau (Petrus), jikalau engkau (Petrus) sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu."
Untuk menguatkan iman saudara-saudaranya, tentunya Petrus haruslah memiliki karunia infallibilitas dan karunia itu juga diwariskan kepada para pengganti Petrus (Paus) melalui suksesi apostolik.

Mat 16:18 “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”
Jikalau Sang Batu Karang mengajarkan kesesatan (yang berarti alam maut telah menguasai Gereja), maka pernyataan Yesus di atas adalah kebohongan semata. Tapi, apakah Kristus berbohong? Tentu tidak. Kristus Sang Kebenaran tidaklah mungkin berbohong. Kristus Sang Kebenaran tentu setia kepada janji-Nya. Untuk menepati janji-Nya, Ia menganugerahkan infallibilitas sebagai senjata untuk mengalahkan alam maut.

Karena umat Kristen mulai memahami otoritas mengajar dan Primat Sang Paus, mereka mengembangkan pemahaman yang lebih jelas mengenai Infallibilitas Paus. Pengembangan ini memiliki awal yang jelas pada masa Gereja Perdana.

Sebagai contoh, Paus St. Klemens menulis hal-hal berikut dalam suratnya kepada umat di Korintus:
a. St. Klemens mengajarkan tentang otoritas dari Tuhan
“Terimalah nasihat kami, dan kamu tidak akan menyesal. Sebab selama Tuhan hidup, dan Tuhan Yesus hidup, dan Roh Kudus, … demikianlah ia, yang dengan kerendahan hati dan bergegas dalam kelemahlembutan, tanpa menyesal, telah melaksanakan perintah- perintah yang diberikan oleh Tuhan [melalui kami], menjadi terdaftar dan namanya terletak di antara mereka yang diselamatkan melalui Yesus Kristus… tetapi jika orang- orang tertentu menjadi tidak taat akan kata- kata yang diucapkan oleh Dia [Yesus Kristus] melalui kami, biarlah mereka mengerti bahwa mereka akan menyusahkan diri sendiri di dalam pelanggaran yang tidak kecil dan bahaya; tetapi kami tidak bersalah atas dosa ini.” (THE FIRST EPISTLE OF CLEMENT TO THE CORINTHIANS 58:2, 59:1 ; diterjemahkan oleh administrator katolisitas dot org)

b. Klemens mensyaratkan ketaatan terhadap suratnya ini.
“Sebab kamu akan memberikan suka cita yang besar dan kegembiraan, jika kamu memberikan ketaatan kepada hal- hal yang dituliskan oleh kami melalui Roh Kudus, dan cabutlah kemarahan yang tidak benar dari kecemburuanmu, sesuai dengan permohonan yang telah kami buat demi damai sejahtera dan perjanjian di dalam surat ini.” (THE FIRST EPISTLE OF CLEMENT TO THE CORINTHIANS 63:2 ; diterjemahkan oleh administrator katolisitas dot org)

Contoh lain, St. Siprianus, Uskup Kartago, menaruh pertanyaan sebagai berikut pada tulisannya (256 M):
 “Akankah para penganut ajaran sesat berani untuk datang kepada tahta Petrus di mana iman yang apostolik berasal dan tidak ada sedikit pun kesesatan dapat datang?” (Letter 59 {55}, 14)
Pada Abad keempat, St. Hieronimus (Penerjemah Kitab Suci dari Bahasa Yunani ke Bahasa Latin serta salah seorang dari empat Bapa Gereja Besar di Barat) menuliskan pernyataan berikut:
“Saya berbicara dengan pengganti Sang Nelayan dan Murid Salib. Hanya dengan mengikuti Kristus pemimpin saya, saya dipersatukan dalam persekutuan dengan Yang Terberkati, yaitu dia yang duduk di tahta Petrus. Di atas Karang itu, aku tahu bahwa Gereja dibangun. Siapapun yang makan domba di luar rumah ini adalah fana. Siapapun yang tidak berada dalam perahu Nuh akan binasa ketika banjir melanda.” (Surat Kepada Paus St. Damasus di Roma 15:1-2)
Pada abad kelima, St. Petrus Krisologus juga menekankan perlunya persetujuan dari Paus Roma dalam pembahasan mengenai ajaran iman.
 “Kami mendesakmu dengan sungguh hormat, saudara yang terhormat, untuk memperhatikan dengan taat apa yang telah dituliskan oleh Paus Yang Terberkati di Kota Roma, karena Petrus Yang Terberkati, yang hidup dan memimpin dalam tahtanya miliknya, menyediakan iman yang benar kepada mereka yang mencarinya. Karena kita ... tidak dapat membahas kasus mengenai iman tanpa persetujuan dari Uskup Roma.” (St. Peter Chrysologus, Letters 25:2)
Konsili Kalsedon pada tahun 451 menuliskan surat kepada Paus St. Leo Agung yang berisi pernyataan sebagai berikut:
“Anda telah ditetapkan sebagai penerjemah suara Petrus yang terberkati kepada semuanya dan kepada semuanya anda mengabarkan berkat-berkat dari iman itu. Dan begitu juga kami, dengan bijak mengambilmu sebagai pemandu kami dalam segala hal yang baik, telah menunjukkan kepada putera-puteri Gereja warisan kebenaran mereka.” (Konsili Kalsedon, kepada Leo, 451 M).
Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil dari banyak  Bapa Gereja yang mengajarkan ajaran Infallibilitas Paus.
 
Dogma Infallibilitas Paus dalam Sejarah Gereja 
Teolog Katolik dan sejarawan gereja, Klaus Schatz membuat sebuah karya yang diterbitkan pada tahun 1985 yang mengidentifikasikan dokumen-dokumen berikut sebagai dokumen ex cathedra (dari Tahta Petrus), yang berbicara mengenai ajaran Iman, dan ditujukan kepada Gereja Universal. 4
  • Tome to Flavian, ditulis oleh Santo Paus Leo Agung pada tahun 449 mengenai dua kodrat di dalam Kristus. Dokumen ini diterima oleh Konsili Kalsedon.
  • Surat Paus Agatus, ditulis oleh Santo Paus Agatus pada tahun 680 mengenai dua kehendak di dalam Kristus. Dokumen ini diterima oleh Konsili Konstantinopel Ketiga.
  • Benedictus Deus, ditulis oleh Paus Benediktus XII pada tahun 1336 mengenai beatific vision orang benar sebelum penghakiman terakhir.
  • Cum Occasione, ditulis oleh Paus Innosensius X pada tahun 1653 untuk menyatakan bahwa 5 proposisi Jansen (pencetus Jansenisme) adalah ajaran sesat.
  • Auctorem Fidei, ditulis oleh Paus Pius VI pada tahun 1794 untuk menyatakan bahwa 7 proposisi kaum Jansenis dalam Sinode Pistoia adalah ajaran sesat.
  • Ineffabilis Deus, ditulis oleh Beato Paus Pius IX pada tahun 1854 untuk menetapkan Dogma Santa Perawan Maria Dikandung tanpa noda dosa.
  • Munificentissimus Deus, ditulis oleh Venerabilis Paus Pius XII pada tahun 1950 untuk menetapkan Dogma Santa Perawan Maria diangkat ke Surga.

Beberapa Klarifikasi
Ajaran gereja Katolik mengenai Infallibilitas Kepausan adalah salah satu ajaran Gereja Katolik yang umumnya disalahmengerti oleh mereka yang berada di luar Gereja. Fundamentalis dan “Kristen Alkitabiah” lainnya sering bingung antara Infallibility (ketidakdapatan untuk sesat) dan Impeccability (ketidakdapatan untuk berdosa). Mereka membayangkan bahwa umat Katolik percaya bahwa Paus tidak dapat berdosa.

Mereka bertanya bagaimana mungkin Para Paus infallible jika beberapa dari mereka hidup dalam skandal. Pertanyaan ini jelas menggambarkan kebingungan yang umum tersebut. Infallibilitas tidak berarti ketiadaan dosa. Perlu ditegaskan bahwa tidak ada jaminan bahwa Para Paus tidak akan berdosa dan tidak ada jaminan juga bahwa Para Paus selalu memberi contoh yang baik. Paus adalah seorang manusia dan dengan demikian dia sendiri adalah seorang pendosa. Bahkan, Paus sekurang-kurangnya mengakukan dosanya kepada Imam atau Uskup lain sekali dalam seminggu.

Beberapa orang lainnya bingung bagaimana bisa infallibilitas eksis jikalau beberapa Paus saling tidak setuju satu sama lain. Pertanyaan ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat mengenai infallibilitas, yang hanya diaplikasikan secara khidmat dan resmi mengenai ajaran Iman dan Moral Gereja, bukan mengenai keputusan disipliner atau bahkan komentar tidak resmi mengenai Iman dan Moral Gereja. Pendapat teologis pribadi Paus tidak infallible. Hanya hal yang ia definisikan secara resmi dan mengikat seluruh Gereja dari tahta St. Petrus mengenai Iman dan Moral adalah infallible.

Bahkan kaum fundamentalis dan evangelikal yang tidak memiliki pemahaman umum yang keliru sering berpikir infallibilitas berarti bahwa Para Paus diberi rahmat spesial yang mengizinkan mereka untuk mengajarkan secara positif apapun mengenai kebenaran-kebenaran yang perlu diketahui. Tapi, pandangan ini tidak sungguh benar. Infallibilitas bukanlah pengganti untuk studi teologis mengenai sebagian Paus.

Infallibilitas mencegah Paus dari tindakan mengajarkan secara resmi dan khidmat sesuatu, yang faktanya adalah salah/sesat/error, sebagai kebenaran yang harus diimani setiap umat Katolik. Infallibilitas tidak menolong Paus untuk mengetahui apa yang benar. Infallibilitas tidak pernah berarti bahwa pada saat mendefinisikan materi Iman dan Moral, Paus menerima wahyu spesial dari Allah untuk mengajarkan apa yang benar. Seorang Paus harus memahami kebenaran melalui studi/pembelajaran sama seperti yang kita lakukan untuk membuatnya semakin yakin mengenai kebenaran tersebut sekaligus memperkuat posisinya untuk mendeklarasikan pernyataan yang infallible.

Berdasarkan fakta, ada banyak topik besar mengenai Iman dan Moral di mana seorang Paus mustahil mampu membuat definisi yang infallible tanpa menduplikat satu atau lebih pernyataan infallible dari Konsili-konsili Ekumenis atau Magisterium Gereja.

Apakah Petrus tidak infallible?
Kaum Fundamentalis senang mengacu pada penentangan St. Paulus terhadap tindakan St. Petrus  (Galatia 2:11-16) -- yang menolak makan dengan umat Kristen yang tidak bersunat saat para umat Kristen yang bersunat datang – untuk menyerang Dogma Infallibilitas Paus. Apakah perikop ini menunjukkan bahwa Infallibilitas Paus itu tidak pernah eksis dalam dunia Kekristenan? Tidak sama sekali. Tindakan St. Petrus berkaitan dengan materi kedisiplinan bukan dengan isu Iman atau Moral. Lebih jauh lagi, yang ditentang oleh St. Paulus adalah tindakan St. Petrus bukan ajaran St. Petrus. St. Paulus tentu mengakui bahwa ajaran St. Petrus adalah ajaran yang benar. Tindakan St. Petrus tersebut menunjukkan bahwa St. Petrus tidak menghidupi ajarannya sendiri. Namun, pada perikop ini sama sekali kita tidak dapat melihat bahwa St. Petrus sedang mendeklarasikan secara khidmat dan resmi sebuah pernyataan Iman dan Moral yang infallible. Dengan demikian, kaum fundamentalis sekali lagi telah gagal menunjukkan bahwa Infallibilitas Paus tidak pernah eksis di dalam dunia Kekristenan. Kaum Fundamentalis juga harus mengakui bahwa St. Petrus memiliki karunia infallibilitas. Mereka tidak bisa menolak bahwa St. Petrus menulis dua surat (Surat Pertama dan Kedua Petrus) yang infallible untuk melawan kesesatan.

Tanggapan mengenai Mat 16:23 – Yesus menghardik Petrus
Perkataan Yesus di Mat 16:23 tidak mengubah kenyataan bahwa Yesus mendirikan Gereja di atas Sang Batu Karang, Petrus (Mat 16:18). Sama seperti kita telah menjadi anak Allah melalui Sakramen Baptis, namun kemudian kita berbuat dosa lagi. Yang terpenting adalah Petrus berbalik kepada Allah, dan kemudian setelah Pentekosta, Petrus yang berbicara kepada banyak orang, sehingga banyak orang diselamatkan (Kis 2).

Apakah Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Iblis (karena Yesus berkata Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia. Mat 16:23)?  Tentu saja tidak demikian, dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Perhatikan ayat 22, dimana dikatakan “Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” (Mat 16:23).
Disini Petrus berbicara kepada Yesus secara pribadi dan sungguh berbeda dengan pernyataan Petrus yang dibuat secara terbuka di ayat 15-16 Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”
Mat 16:16  Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” .

Dan Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa semua yang dikatakan oleh Petrus dan penerusnya, para Paus tidak mungkin salah (infallible). Infallibilitas bagi Paus harus memenuhi syarat-syarat yang telah dikemukakan sebelumnya.

Tentang Paus Honorius
Kasus Paus Honorius adalah kasus yang sering diangkat oleh Kaum Fundamentalis untuk menyerang Dogma Infallibilitas. Mereka berkata bahwa Paus Honorius secara spesifik mengajarkan Monotelitisme dalam tulisannya kepada Sergius, Patriarkh Konstantinopel. Monotelitisme adalah sebuah bidaah yang menyatakan bahwa Kristus hanya memilik Satu Kehendak (One Will) yaitu Kehendak Ilahi SAJA, bukan Dua Kehendak (Kehendak Ilahi dan Kehendak Manusia) seperti yang diimani oleh Umat Kristen yang benar.5 Paus Honorius sendiri bersama Sergius dari Konstantinopel dan beberapa penganut Monotelitisme kemudian di-anathema (dikutuk) oleh Konsili Konstantinopel III.6 Mari kita memeriksa kasus Paus Honorius tersebut.
1. Apakah Paus Honorius mengajarkan Monotelitisme dalam Kapasitasnya sebagai Pengganti Petrus?7 Tidak,  dia sedang berbicara kepada Sergius dalam kapasitasnya sebagai teolog bukan sebagai seorang Suksesor St. Petrus.
2. Apakah Surat Paus Honorius mengikat seluruh Gereja?8 Tidak juga, tulisan tersebut hanya ditujukan kepada Sergius seorang, tidak kepada seluruh Gereja.

Dengan demikian, syarat infallibilitas tidak terpenuhi semua. Sekali lagi fundamentalis keliru memahami kaitan antara dogma ini dengan kasus Paus Honorius.

Problem lain dari Protestan mengenai Suksesi Apostolik
Beberapa sarjana Protestan lain telah mengakui bahwa Kristus mengangkat St. Petrus sebagai kepala Para Rasul, namun mereka menolak suksesi Primat St. Petrus ini. Para sarjana Protestan ini berargumen bahwa Keutamaan petrus ini berakhir dengan kematian St. Petrus. Menurut mereka karisma spesial ini hanya dibutuhkan dalam Gereja perdana yang masih “anak-anak”.

Protestan didirikan oleh para pendirinya dengan prinsip Sola Scriptura -  yaitu bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya Otoritas iman. Oleh karena itu, kita bisa bertanya pertanyaan berikut ini. Dimanakah dalam Kitab Suci yang mengajarkan bahwa Primat yang Kristus berikan kepada St. Petrus berakhir dengan kematian St. Petrus?

Tulisan ini bukanlah tempat untuk membahas Gereja Katolik sebagai Kerajaan Allah di dunia secara detail. Namun, di sini akan disampaikan secara sepintas bahwa Kitab Suci menyatakan Yesus mendirikan sebuah Kerajaan dan Kerajaan itu disebut Gereja-Nya.

Dalam Perjanjian Lama, Allah berjanji kepada Daud bahwa “Keluarga dan Kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, tahtamu akan kokoh untuk selama-lamanya.(2 Samuel 7:16)” Kerajaan Daud ini didirikan atas suatu Perjanjian Ilahi yang kekal dan mengalami kepenuhannya melalui kedatangan Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Keturunan Daud dan Dialah kelak yang mewarisi tahta Daud dan menjadi Raja. Dalam Lukas 1:32-33, terekam pernyataan bahwa “... Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya (Yesus Kristus) tahta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.”

Yesus adalah seorang Raja dalam Tradisi Daud, maka kerajaan-Nya dalam arti tertentu haruslah suatu kerajaan dalam Tradisi Daud juga – Kerajaan Daud. Kerajaan Allah dari Yesus bukanlah kerajaan pengganti dari Kerajaan kekal yang dijanjikan Allah kepada Daud. Kerajaan Yesus adalah Kerajaan Daud yang dibawa kepada kepenuhannya.

Salah satu ciri khas dari Kerajaan Daud itu adalah adanya Perdana Menteri. Yesaya menubuatkan suatu pergantian pemerintahan di mana seorang perdana menteri akan diganti (Yes 22:15-25). Tanda dari jabatan Perdana Menteri itu adalah Kunci. Kunci tersebut menggambarkan otoritas Sang Perdana Menteri. “Apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.”  Dalam Injil, Kepenuhan ciri khas Kerajaan Daud di atas ditemukan dalam penunjukan Petrus sebagai Perdana Menteri yang dilimpahi otoritas yang disimbolkan dengan Kunci-kunci Kerajaan oleh Sang Raja, Yesus Kristus. Posisi menteri sendiri dalam Kerajaan-Nya diisi oleh Para Rasul lain.

Karena Kerajaan Kristus berlangsung selamanya, maka posisi, otoritas, serta kewibawaan Para Rasul sekarang diteruskan kepada para suksesornya, yaitu Para Uskup dan Posisi Petrus kepada Para Paus sebagai suksesornya.  Pemahaman ini dengan jelas terekam melalui pernyataan Petrus pada saat pemilihan Matias sebagai pengganti Yudas dalam Kisah Para Rasul  1:15-26. Petrus sendiri berkata, “Biarlah jabatannya diambil orang lain” (Kis 1:20). Hal menarik untuk dilihat bahwa Kitab Suci versi terjemahan  King James Version menerjemahkan ayat 20 menjadi  "and his bishoprick (jabatan Keuskupan) let another take."

Perjanjian Baru dan Sejarah juga menunjukan bahwa Para Rasul mengatur sebuah organisasi yang terlihat. Setiap penulis Kristen pada abad-abad awal hingga Reformasi Protestan mengakui bahwa Kristus mendirikan sebuah institusi yang berkelanjutan. Contoh tertua datang dari tulisan St. Ignasius dari Antiokia kepada umat di Smyrna pada awal abad kedua. Dia menulis sebagai berikut:
 "Di mana ada uskup, hendaknya umat hadir di situ, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, Gereja Katolik hadir di situ. (Letter to the Smyrneans 8:2 [A.D. 110])".
Jika Kristus mendirikan institusi ini, Ia harus menjaga agar institusi ini tetap eksis dan dapat dikenali. Tambahan lagi, karena Ia akan segera meninggalkan bumi dan kembali ke Surga, maka dengan hadirnya Gereja, maka ajaranNya akan tetap terjaga. Semua ini terpenuhi melalui suksesi apostolik para uskup dan kepenuhan pemeliharaan pesan-pesan kepada umat Kristen dijamin melalui karunia infallibilitas. St. Irenaeus , Uskup Lyon, murid dari St. Ignatius dari Antiokia dan St. Polikarpus dari Smyrna (Keduanya adalah murid langsung dari St. Yohanes Rasul Sang Penulis Injil) juga menekankan akan pentingnya suksesi apostolik dalam bukunya Adversus Haereses (180 M) . 9

Kesimpulan
Kristus dalam Injil menginstruksikan Petrus dan Para Rasul untuk mewartakan segala yang IA ajarkan (Mat 28:19-20) dan menjanjikan perlindungan dari Roh Kudus untuk “membimbing kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:13). Mandat dan janji tersebut menjamin Gereja tidak akan pernah jatuh kepada kesesatan ajaran (Mat 16:18) malah Gereja-lah yang menjadi tiang dasar dan penopang kebenaran  (1 Tim 3:15).
Adalah Roh Kudus yang mencegah Paus dari mengajarkan kesesatan secara ex-Cathedra dan karunia ini telah hadir sejak Gereja ada. Jika, seperti yang Kristus janjikan, alam maut tidak akan menguasai Gereja Katolik maka Gereja Katolik harus terlindung dari kejatuhan kepada kesesatan ajaran. Hal ini berlaku juga kepada Petrus dan Para Paus sebagai nakhoda Gereja Katolik dan Wakil Kristus.




Catatan Kaki:
1. Konsili Vatikan II dalam Dokumen Lumen Gentium art 25
2. Konsili Vatikan II dalam Dokumen Lumen Gentium art 25
3. Konsili Vatikan I dalam Dokumen Pastor Aeternus Chapter 4
4. Lihat Creative Fidelity: Weighing and Interpreting Documents of the Magisterium, oleh RD. Francis A. Sullivan, chapter 6
5. Lihat Pope Honorius Before The Tribunal of Reason and History oleh RP. Paul Bottalia, SJ halaman 1-16.
6. Konsili Konstantinopel III (680-681 M)
This pious and orthodox creed of the divine favour was enough for a complete knowledge of the orthodox faith and a complete assurance therein. But since from the first, the contriver of evil did not rest, finding an accomplice in the serpent and through him bringing upon human nature the poisoned dart of death, so too now he has found instruments suited to his own purpose--namely Theodore, who was bishop of Pharan, Sergius, Pyrrhus, Paul and Peter, who were bishops of this imperial city, and further Honorius, who was pope of elder Rome, Cyrus, who held the see of Alexandria, and Macarius, who was recently bishop of Antioch, and his disciple Stephen -- and has not been idle in raising through them obstacles of error against the full body of the church sowing with novel speech among the orthodox people the heresy of a single will and a single principle of action in the two natures of the one member of the holy Trinity Christ our true God, a heresy in harmony with the evil belief, ruinous to the mind, of the impious Apollinarius, Severus and Themistius, and one intent on removing the perfection of the becoming man of the same one lord Jesus Christ our God, through a certain guileful device, leading from there to the blasphemous conclusion that his rationally animate flesh is without a will and a principle of action.
7. Lihat Pope Honorius Before The Tribunal of Reason and History oleh RP. Paul Bottalia, SJ halaman 16-44.
8. Lihat Pope Honorius Before The Tribunal of Reason and History oleh RP. Paul Bottalia, SJ halaman 16-44.
9. Baca Audiensi Umum Paus Benediktus XVI mengenai St. Ireneus dari Lyon, Rabu 28 Maret 2007 di Lapangan St. Petrus.