Kamis, 15 Maret 2012

Info Post
http://www.sscc.org/x_gif/sscc_logo_wrm.gif
Logo SS.CC. (sumber: sscc.org)
Kamis 15 Maret 2012, Indonesian Papist berkesempatan mengunjungi Seminari Damian milik Kongregasi SS.CC. yang lebih dikenal dengan Kongregasi Picpus atau Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria. Ini adalah kunjungan kedua saya ke Seminari Damian setelah sebelumnya saya mengunjungi Seminari tersebut untuk mengajak jalan-jalan Frater Paulus Molina SS.CC. dari Singapura yang sedang berkunjung ke Indonesia.

Dengan mengendarai motor, saya berangkat menuju seminari dan tiba di sana pukul 10.30 dan disambut dengan hangat oleh Frater Feliks, SS.CC. dan dipersilahkan masuk ke ruang tamu seminari. Di sana awalnya saya hendak bertemu Frater Jones SS.CC. yang secara marga batak adalah tulang/paman saya. Kami pun berbincang-bincang mengenai berbagai hal. Dari pembicaraan tersebut saya mendapatkan info bahwa ada dua orang seminaris yang mengundurkan diri dari SS.CC.  Hal ini sungguh memprihatinkan di tengah peningkatan umat yang lebih cepat ketimbang peningkatan jumlah imam. Saya dan Frater Jones (dan saya yakin banyak dari umat Katolik) menyebut hal ini dengan istilah “Krisis Panggilan”. However, istilah ini kemudian dikoreksi oleh Bruder Hendrik, SS.CC. di suatu sesi dialog yang berbeda. Kemudian, saya pun bertanya apakah Seminari Damian pernah mengadakan live in  hidup di biara bagi kaum muda untuk promosi panggilan. Konsepnya adalah para kaum muda selama 1 minggu atau 2 minggu tinggal, beraktivitas, dan berdoa di sana serta merasakan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh para seminaris di Seminari Damian. Frater Jones bilang belum pernah ada yang seperti itu, tetapi ada sekitar 3 orang yang sudah bekerja live in di Seminari Damian selama akhir pekan. Bagi Frater Jones, hal itu bagus dan bisa saja dijalankan tetapi tentu akan ada sejumlah masalah berupa dana dan waktu. Well,  tentang ini kami memang hanya berbicara secara umum dan konsepnya masih kasar sekali tetapi harapan saya melalui kegiatan ini, semakin banyak kaum muda terpanggil menjadi kaum religius. Frater Jones juga memberitahu saya bahwa SS.CC. ini juga memiliki SS.CC. awam bagi siapa saja yang tertarik menghidupi spiritualitas Picpus dan berperan aktif bagi SS.CC.

Biografi Pater Rolf Reichenbach SS.CC (alm)

Sedang asyik berbicara dan sharing bersama Frater Jones, Bruder Hendrik datang dan kami pun saling menyapa dan bersalaman.  Kami berbicara sejenak dan kemudian saya memaparkan bahwa ada teman saya yang hendak membeli buku Biografi Pater Rolf Reichenbach, SS.CC (alm). Di topik ini juga, saya menawarkan blog saya (Indonesian Papist) sebagai tempat untuk promosi buku tersebut sekaligus secara umum memperkenalkan SS.CC dan secara khusus Pater Rolf Reichenbach sendiri. Sekadar info, saya sudah memiliki buku biografi tersebut dan saya membaca bahwa jenazah Pastor Rolf Reichenbach itu inkorup / utuh / tidak membusuk. Bruder Hendrik menyetujui sembari memberikan saran-saran untuk promosi buku tersebut dan menyarankan saya untuk mempromosikannya juga kepada kaum muda Katolik. Singkatnya, Bruder Hendrik setuju memberikan Indonesian Papist privilege  untuk mempromosikan buku tersebut.

Setelah perbincangan tersebut, kami mengikuti Ibadat Siang yang diadakan pukul 12.45. Ibadat Siang diadakan di Kapel Seminari di lantai dua (Seminari Damian memiliki dua lantai). Ibadat Siang tentunya merupakan hal yang menjadi “makanan sehari-hari” bagi para seminaris. Kata Frater Jones, karena hari ini hari Kamis yaitu “hari berbahasa inggris”, maka Ibadat Siang tadi menggunakan teks-teks ibadat berbahasa Inggris. Semua doa, antifon, bacaan dsb dibawakan dalam bahasa Inggris. Menarik walau membuat saya sedikit bingung. Ibadat Siang berjalan dengan hening dan khidmat. Kondisi seperti ini membantu saya untuk lebih dekat dengan Tuhan. Ibadat Siang pun selesai dan berlanjut dengan jam makan siang. Kami pun turun ke bawah dan menuju ruang makan. Tentunya sebelum makan, kami berdoa dulu. Hidangan yang kami makan adalah hasil masakan salah seorang frater. Syukur atas makan siang tersebut. Sembari makan, para frater berbincang-bincang satu sama lain dengan menggunakan bahasa Inggris. Di sini saya cenderung diam menikmati makanan dan hanya memperhatikan mereka berbicara ketimbang ikut terlibat langsung karena topik yang mereka angkat cukup asing dan tidak terlalu umum. Sesekali para frater tersebut bertanya mengenai latar belakang saya. Makan siang pun selesai tetapi sebelum doa penutup makan siang, saya diminta memperkenalkan diri saya. Setelah doa penutup, kami pun menuju ke dapur membawa piring dan gelas masing-masing. Sembari mencuci, tiga orang Frater termasuk Frater Jones berbincang-bincang dengan saya. Setelah itu, saya kembali menuju ruang tamu dan bertemu dengan Bruder Hendrik (lagi).  Kami berbicara berbagai hal dan sampailah kami pada suatu topik yang menurut saya menarik untuk didokumentasikan. 

Foto bersama Bruder Hendrik, SS.CC. Foto diambil pada saat kunjungan pertama ke Seminari Damian (Foto oleh Frater Paulus Molina)

Saya: “Bruder, SS.CC. lagi mengalami krisis panggilan ya?”

Bruder Hendrik: “Tidak, tidak sama sekali. Tidak pernah ada Krisis Panggilan.”

Saya: “Lho? Kok gak ada?” (terkejut)

Bruder Hendrik: “Iya, tidak pernah ada krisis panggilan. Allah tidak pernah mengalami krisis dalam memanggil umat-umat-Nya. ‘Jangan mencuri’, ‘Tinggalkanlah dosa itu’, ‘Jadilah imam-imam-Ku’ adalah bentuk panggilan Allah kepada manusia. Di setiap saat, Allah terus memanggil kita untuk berbuat benar tidak hanya soal panggilan hidup religius tetapi juga dalam berbagai hal di hidup kita. Kamu datang ke sini dapat merupakan panggilan dari Allah buat kamu dan dapat pula panggilan dari Allah buat kami. Kedatangan kamu di sini bisa membuat kamu diteguhkan oleh kami dan bisa pula membuat kami diteguhkan oleh kamu. Allah memanggil kami melalui kamu, dan Allah memanggil kamu melalui kami. Nah, krisis yang sebenarnya terjadi adalah KRISIS TANGGAPAN TERHADAP PANGGILAN ALLAH. Kita menghadapi krisis ini sekarang. Allah telah memanggil kita, tetapi apakah kita mau menanggapi panggilan itu? Allah memanggil dan meneguhkan kami melalui kamu, tetapi apakah kami kemudian menanggapinya atau tidak, itulah pertanyaan utamanya.”

Saya: “Jadi terminologi ‘Krisis Panggilan’ itu keliru ya, Der?”

Bruder Hendrik: “Iya, keliru. Ada ibu-ibu bilang seperti itu dan langsung saya koreksi bahwa kita tidak mengalami krisis panggilan tetapi krisis tanggapan terhadap panggilan. Nah, kamu setelah mendengar hal ini, bisa kamu beritahukan teman-teman kamu sebagai koreksi buat mereka supaya tidak keliru soal hal ini.”

Ya, saya menuliskan pengalaman singkat ini juga untuk meneruskan koreksi dari Bruder Hendrik kepada siapapun yang masih terjebak dalam istilah “Krisis Panggilan”.

Dari Kiri Ke Kanan: Frater Paulus Molina, SS.CC., Pater Ludvinus van Dongen, SS.CC., Frater Jones Nadeak, SS.CC. (Foto oleh Frater Paulus Molina)
Setelah berbincang dengan Bruder Hendrik, Beliau menawarkan saya untuk bertemu dengan Pater Ludvinus van Dongen SS.CC. yang sudah berusia lebih dari 90 tahun (saya tidak menanyakan angka pastinya). Opa van Dongen (Beliau dipanggil “Opa” oleh para penghuni Seminari Damian) di mata saya sama sekali tidak terlihat sebagai orang tua berumur 90 tahun. Kondisi fisiknya masih kuat, matanya masih melihat dengan jelas dan responnya terhadap orang di sekitar juga bagus. Tetapi Pater van Dongen agak sulit menangkap inti pertanyaan dan komentar saya saja jadi tanggapannya sering tidak sesuai dengan maksud pertanyaan dan komentar saya itu. Ingatan Pater van Dongen masih baik, ia masih bisa menceritakan bagaimana karya misinya di Indonesia, kapan ia datang ke Indonesia, sudah berapa lama di Seminari Damian, dll. Ya, intinya Beliau tidak terlihat sebagai seorang tua berumur 90 tahun. Bagi saya, Beliau itu seperti orang berumur 50-60 tahun.  Di samping itu, Frater Jones juga berkata untuk urusan “hati”, Pater van Dongen itu benar-benar baik. Ia menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Pater van Dongen, “Opa, makanan opa boleh tidak saya berikan ke orang miskin?” Segera Pater van Dongen menanggapi, “Oh, iya, silahkan. Berikan kepada mereka karena mereka lebih butuh. Saya masih bisa makan lagi besok.” Perbincangan terhenti karena Pater van Dongen hendak beristirahat siang. Beliau kemudian memberi berkat kepada saya dan bergerak dari tempat duduk menuju kamar dengan dipapah oleh Frater Feliks. Menerima berkat dari seorang  Pater SS.CC. berusia lebih dari 90 tahun adalah sesuatu yang lebih dari sekadar “sesuatu banget”. Deo Gratias untuk berkat ini. Segera sesudah Pater van Dongen masuk kamar, saya pamit pulang kepada Bruder Hendrik dan Frater Feliks. Sekian cerita singkat pengalaman saya berkunjung ke Seminari Damian.  Kunjungan kali ini adalah kunjungan kedua tetapi tidak akan menjadi kunjungan yang terakhir saya ke Seminari Damian.

Artikel ini saya tulis sebagai wujud terimakasih saya kepada para penghuni Seminari Damian atas sambutan dan segala bentuk kebaikan yang saya terima dari mereka. Pax et bonum