Senin, 26 Maret 2012

Info Post

Santo Josemaria Escriva Mengenai Sikap Hormat Kepada Para Imam dan Refleksi Pribadi Indonesian Papist

St. Josemaria Escriva (sumber: ziarat.net)

Dalam perjalanan apologetika sepanjang hidup saya, harus saya akui bahwa terkadang saya, dalam kelemahan manusiawi, beberapa kali membuat statement di facebook  (seringnya di grup atau page, bukan di status) yang isinya mungkin bisa dianggap oleh banyak orang sebagai bentuk sindiran atau mungkin sikap tidak hormat kepada imam. Pernah pula saya malah membicarakan para imam di belakang mereka, mengkritik dan menyindir mereka di belakang, dan sebagainya. <<< Ini sebuah kesalahan.


Memang, masa-masa sekarang adalah masa-masa sulit di mana sejumlah (bisa banyak bisa sedikit, tapi sejauh saya lihat banyak) para imam justru mengajarkan apa yang tidak diajarkan Gereja atau mengajarkan apa yang ditentang oleh Gereja kepada para umat. Contoh kecilnya soal liturgi di mana para imam yang harusnya menjadi pelayan liturgi, malah justru seolah-olah menjadi pemilik liturgi yang memberikan berbagai improvisasi di sana-sini dalam liturgi.

Sebagai seorang awam Katolik, kita dapat mengoreksi para imam yang melakukan hal-hal yang keliru tentunya dengan berdasarkan pada Tradisi Suci, Kitab Suci dan Magisterium Gereja. Di masa sekarang, kita memiliki akses yang luas untuk membaca dokumen-dokumen ajaran dan aturan Gereja sehingga kita bisa memiliki dasar untuk menyampaikan koreksi kita kepada para imam tersebut.

Namun, tentunya juga manusia itu punya karakter berbeda-beda, ada imam yang menerima koreksi tersebut tetapi ada juga yang tidak. Seringkali para imam yang tidak mau menerima koreksi tersebut membuat para awam jengkel, kecewa, dan sebagainya entah dengan sikap yang tidak mau dikoreksi atau sikap meremehkan karena yang memberi koreksi adalah seorang awam biasa. Saya pun mengalami hal itu dan akhirnya menyindir atau memberikan sikap tidak hormat kepada imam tersebut.

Tapi, dalam suatu kesempatan membuka kembali tulisan St. Josemaria Escriva dalam bukunya Jalan (Camino), saya menemukan bagian “hormat dan cinta terhadap para imam” dalam Daftar Indeks Pokok di belakang buku tersebut. Indonesian Papist akan mengetikkan ulang kalimat-kalimat dari St. Josemaria Escriva ini:

66. Seorang imam, siapa pun dia, adalah selalu “Kristus yang lain”.
67. Meskipun engkau telah mengetahuinya dengan baik, saya ingin mengingatkanmu sekali lagi bahwa seorang imam adalah “Kristus yang lain”, dan bahwa Roh Kudus telah berfirman: “Nolite tangere Christos meos”, yang artinya: “Jangan sentuh Kristus-kristus-Ku!”.
68. Presbyter – imam – menurut asal-usul katanya berarti seorang yang telah lanjut usia. Jika seorang yang berusia lanjut patut untuk dihormati, maka renungkanlah seberapa besar engkau harus menghormati seorang imam.
69. Betapa rendahnya budi pekertimu dan betapa kurangnya rasa hormatmu, mempermainkan seorang imam, siapa pun dia dan dalam situasi apa pun!
70. Aku tetap bersikeras: olok-olokan atau lelucon-lelucon tentang seorang imam meskipun tampaknya tidaklah berarti apa-apa bagimu, namun paling tidak tetap saja semuanya itu kasar, menunjukkan kurangnya budi pekerti yang baik.
73. Hatimu terluka, bak tertusuk belati, mendengar orang-orang berkata bahwa engkau telah menjelek-jelekkan imam-imam itu dengan cerita-ceritamu. Aku bergembira kalau hal tersebut membuat hatimu bersedih karena sekarang aku yakin akan semangatmu yang baik!
74. Mencintai Tuhan dan tidak menghormati imam ... adalah mustahil.
75. Seperti putra-putra Nabi Nuh yang baik, tutupilah kekurangan-kekurangan yang engkau dapat pada bapamu, seorang imam, dengan kerudung cinta kasih.
526. Jika engkau tidak memiliki penghormatan yang tertinggi bagi jabatan imam dan bagi biarawan-biarawati, maka tidaklah benar bahwa engkau mencintai Gereja Allah.

St. Escriva begitu menekankan penghormatan dari setiap orang Katolik kepada para imam. Ia berkata bahwa para imam selalu merupakan Kristus-kristus yang lain. Tentu jangan kita maknai bahwa para imam itu sama secara keseluruhan dengan Yesus Kristus yang tidak berdosa dan tidak berbuat salah. Para imam sama dengan Yesus Kristus karena mereka sama-sama yang diurapi oleh Allah dan menjadi gembala bagi kawanannya. Pada porsi yang sesuai, kita menyembah dan menghormati Yesus Kristus dan kita menghormati Kristus-kristus yang lain ini.

“Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.”, demikianlah Sabda Tuhan kita Yesus Kristus. Dalam sense tertentu, kita pun bisa mengaplikasikan ini kepada para imam, Kristus-kristus yang lain. Ketika kita melihat para imam, kita melihat kebapaan Allah Bapa. Di mana paling jelas kita melihat kebapaan para imam? In My Opinion, pada saat Sakramen Tobat, di sanalah kita bisa melihat kerahiman Allah Bapa yang begitu besar melalui para imam. Para imam memancarkan kebapaan Allah Bapa pada saat Sakramen Tobat tersebut.

Saya yakin ada di antara kita yang berkata bahwa “tetapi ada banyak imam yang buruk, yang tidak kebapaan, yang tidak kudus, yang tidak mengajarkan ajaran Gereja dan seterusnya.” Untuk hal ini pertama-tama harus kita ketahui bahwa St. Josemaria Escriva sama sekali tidak mengajarkan kita untuk bersikap “romosentris” atau mengimani dan menerima apa saja yang diajarkan oleh para imam sekalipun ada kekeliruan. St. Escriva juga tidak mengajarkan kita untuk tidak bersikap kritis ketika ada sesuatu janggal yang dilakukan atau diajarkan oleh para imam. Apa yang diajarkan St. Escriva adalah sikap hormat yang kudus kepada para imam sekalipun ada di antara para imam itu yang tidak kudus. Dan St. Escriva sendiri mengatakan supaya kita “tutupilah kekurangan-kekurangan yang engkau dapat pada bapamu, seorang imam, dengan kerudung cinta kasih.”

Apa yang bisa kita dapat dari sini? Apa maksud menutupi kekurangan imam dengan kerudung cinta kasih? Dalam perenungan pribadi saya akan kalimat tersebut, bila seorang imam melakukan atau mengajarkan kekeliruan, maka kita harus mengoreksi imam itu karena kita mengasihi imam itu, bukan untuk menjatuhkan dia atau memenangkan debat dengan dia. Dan dengan cara kasih juga kita harus mengoreksinya. Sekalipun kita tahu berbagai isi dokumen Gereja yang dilanggar oleh imam tersebut, tetaplah mengoreksinya dengan rendah hati dan hormat karena bagaimanapun juga merekalah yang menghadirkan Kristus bagi kita dalam Perayaan Ekaristi. Tangan mereka itulah yang mengkonsekrasikan roti dan anggur hingga menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Bila ada kekeliruan yang dilakukan oleh seorang imam, adalah tuntutan bagi kita yang mengetahuinya untuk mengoreksi imam itu karena inilah salah satu bentuk kerudung cinta kasih kita bagi imam itu. Jika tidak, kita akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah akan tindakan pembiaran kita itu. Kitab Suci menegaskan hal ini:

Yeh 3:19 Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang jahat itu dan ia tidak berbalik dari kejahatannya dan dari hidupnya yang jahat, ia akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau telah menyelamatkan nyawamu.
Yeh 3:20 Jikalau seorang yang benar berbalik dari kebenarannya dan ia berbuat curang, dan Aku meletakkan batu sandungan di hadapannya, ia akan mati. Oleh karena engkau tidak memperingatkan dia, ia akan mati dalam dosanya dan perbuatan-perbuatan kebenaran yang dikerjakannya tidak akan diingat-ingat, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu.
Yeh 3:21 Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang yang benar itu supaya ia jangan berbuat dosa dan memang tidak berbuat dosa, ia akan tetap hidup, sebab ia mau menerima peringatan, dan engkau telah menyelamatkan nyawamu."

Dan apa yang kita lakukan bila sang imam tidak mau mendengarkan koreksi dari kita? Ketika kita sudah memberikan koreksi dan berargumen seperlunya, tetapi ia tetap tidak mau mendengarkan kita, maka undur dirilah dari pembicaraan dengan imam itu dan kemudian berharap dan berdoalah untuk dia. Jangan pernah memaksa apalagi sampai kelewatan memaksa imam tersebut. Ingat, ketika kita mewartakan Injil pun, kita tidak boleh memaksa orang lain menerimanya, tetapi berharaplah dan berdoalah supaya Roh Kudus menyentuh hati orang lain tersebut agar percaya pada Injil. Demikian pulalah yang harus kita lakukan ketika kita memperingatkan para imam tersebut akan kekeliruannya.

Apa yang dapat disimpulkan dari refleksi ini adalah bahwa kita sebagai umat Katolik hendaknya memiliki sikap hormat yang kudus kepada para imam, bukan sikap asal hormat. Koreksi terhadap kekeliruan mereka juga hendaknya diberikan atas dasar kasih dan dalam sikap hormat yang kudus itu. Kita selalu dituntut untuk memperingatkan para imam ketika mereka berbuat yang keliru atau mengajarkan yang keliru. Sikap hormat yang kudus kepada para imam tidak pernah berada dalam bentuk toleransi pada ajaran, gagasan dan tindakan imam yang salah.

Pax et Bonum

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist sebagai pesan bagi dirinya sendiri dan bagi siapapun umat Katolik yang membaca artikel ini.