Rabu, 09 Mei 2012

Info Post
Sing Like a Catholic (sumber: musicasacra.com)
Sekilas Pandang

Musik telah menjadi bagian dalam sejarah keselamatan umat Allah. Dalam contoh yang sederhana, kita bisa menemukan kata “bernyanyi” atau “nyanyian” atau kata setipe lainnya sebanyak 309 kali dalam Perjanjian Lama dan 36 kali dalam Perjanjian Baru. Ketika manusia dan Allah bertemu dan berkomunikasi, berbicara saja seringkali tidak cukup. Bernyanyi kemudian mengambil porsi tersendiri dalam komunikasi dengan Allah, dalam membangkitkan jiwa kita untuk berkomunikasi dengan Allah. Mzm 57:7-8 “Hatiku siap, ya Allah, hatiku siap; aku mau menyanyi, aku mau bermazmur.  Bangunlah, hai jiwaku, bangunlah, hai gambus dan kecapi, aku mau membangunkan fajar!” (Cardinal Ratzinger, The Spirit of The Liturgy hlm. 136-137)


Gereja Perdana sendiri sudah mengenal musik, terutama nyanyian dan musik instrumental. Dalam Perjanjian Baru, kita bisa melihat Yesus dan Para Rasul menyanyikan kidung “Hallel” sesudah merayakan Perjamuan Paskah (bdk. Mat 26:30, Mrk 14:26). Adanya praktik musik nyanyian Gereja Perdana dapat dilihat pula pada Surat Efesus dan Kolose (Ef 5:19 dan Kol 3:16) yang menyarankan umat menyanyikan kidung puji-pujian dan nyanyian rohani dalam pertemuan jemaat. (Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi hlm. 191). Di samping itu Gereja Perdana juga mengenal sejumlah madah yang sampai sekarang masih dinyanyikan misalnya “Gloria in Excelsis Deo” pada abad ke-2 yang umumnya diatributkan kepada Paus St. Telesphorus dan“Te Deum” pada abad ke-4 yang umumnya diatributkan kepada St. Ambrosius dan St. Agustinus.

Sejak Kekaisaran Romawi mengeluarkan Edict Milan (313 M) yang memberikan kebebasan beragama bagi umat Kristen, musik-musik Gereja berkembang pesat hingga akhirnya pada abad ke-7, Paus St. Gregorius Agung (590-604) mengumpulkan dan menyusun lagu-lagu gregorian untuk keperluan Misa Kudus dan ibadat harian. Pada abad ke-8 alat musik “orgel” kemudian dipergunakan secara luas dalam Perayaan Ekaristi di berbagai wilayah di Eropa. Pada abad ke-9 berkembang nyanyian polifoni (banyak suara) di utara pegunungan Alpen di Eropa. Pada Konsili Ekumenis Trente (1545-1563), dikeluarkanlah pernyataan agar para uskup menghindari mencampurkan nyanyian dan musik Gereja dengan nyanyian dan alat musik yang tidak sesuai dengan Kekristenan. (Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi hlm. 192-193)

Pada abad ke-20, Paus St. Pius X melakukan pembaharuan Liturgi dengan mengeluarkan dokumen Tra le Sollecitudini tahun 1903 yang menjadi kitab undang-undang tentang musik Gereja. Tra le Sollecitudini menyatakan untuk pertama kalinya bahwa musik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Liturgi Gereja. (Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi hlm. 193)

Konsili Vatikan II dalam dokumen Konstitusi Sacrosanctum Concilium no. 112 menyatakan, “Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyayian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian Liturgi meriah yang penting atau integral.” Gereja melalui Konsili Vatikan II sekali lagi menggemakan apa yang dinyatakan oleh Paus St. Pius X yaitu bahwa musik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Liturgi Gereja.

Musik Liturgi dan Musik Rohani

Seringkali dalam Perayaan Ekaristi, kita melihat adanya Musik Rohani digunakan bersama-sama dengan atau malah menggantikan Musik Liturgi. Dari pengalaman saya hidup selama 20 tahun di dua keuskupan yang berbeda, saya melihat bahwa penggunaan Musik Rohani dalam Perayaan Ekaristi sekarang menjadi sesuatu yang lumrah, sesuatu yang biasa. Malah di paroki asal saya sendiri, setiap minggu selalu saja dinyanyikan lagu-lagu rohani. Biasanya lagu rohani sering digunakan pada bagian Persembahan atau untuk mengiringi Penerimaan Komuni Kudus. Bahkan, di sejumlah Perayaan Ekaristi sebut saja Ekaristi Kaum Muda dan Perayaan Ekaristi bernuansa Karismatik, porsi untuk Musik Rohani lebih besar lagi dan tidak jarang Kyriale (Tuhan Kasihanilah, Kemuliaan, dsb) juga digantikan lagu rohani.

Dari hal ini muncul pertanyaan, sebenarnya boleh atau tidak kita menggunakan Musik Rohani dalam Perayaan Ekaristi? Apa bedanya Musik Rohani dengan Musik Liturgi pada umumnya? Dan apa saja Musik Liturgi itu sendiri?

Musik dalam Gereja Katolik dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu Musik Liturgi dan Musik Rohani. Perbedaan fundamental antara Musik Liturgi dan Musik Rohani adalah tujuan, waktu dan tempat penggunaannya serta legalisasi terhadap lagu tersebut. Baik Musik Liturgi maupun Musik Rohani dapat menjadi media katekese iman.

Musik Liturgi adalah musik yang digunakan dalam berbagai Upacara Liturgi, termasuk Perayaan Ekaristi. Musik Liturgi sendiri seringkali disebut sebagai Sacred Music (Musik Suci). Musik Liturgi ini berada di bawah yurisdiksi uskup setempat. Yang termasuk dalam musik Liturgi adalah nyanyian-nyanyian Gregorian (Gregorian Chants), nyanyian Polifoni Suci dan nyanyian-nyanyian lain (misalnya nyanyian berdasarkan budaya setempat) yang telah diberi izin resmi oleh uskup setempat untuk dapat digunakan dalam Upacara Liturgi.

Nyanyian Gregorian selalu menjadi suprememodel (model tertinggi) musik Gereja Katolik (Paus St. Pius X, Tra le Sollecitudini art. 3). Nyanyian Gregorian dipandang Gereja sebagai nyanyian khas Liturgi dan hendaknya diutamakan. Oleh karena itu, Gereja selalu mendorong para uskup yang dibantu oleh komisi liturgi setempat untuk melestarikan penggunaan nyanyian Gregorian dalam berbagai Upacara Liturgi. Beato Yohanes Paulus II menegaskan: “Di antara segala bentuk ekspresi musik yang pantas dikatakan terbaik sesuai dengan kualitas yang dituntut dari syarat musik suci, terutama musik liturgi, lagu Gregorian memiliki tempat khusus didalamnya. Konsili Vatikan II mengakui bahwa lagu Gregorian adalah jenis musik "yang khusus dan cocok untuk liturgi Romawi" itu harus dihargai, dan dianggap lumrah, dan harus menjadi sebuah kebanggaan dalam pelayanan liturgi terlebih ketika dinyanyikan dalam bahasa Latin. St. Pius X menunjukkan bahwa Gereja telah "mewarisinya dari para Bapa Gereja", bahwa Gereja telah "menjaga dengan bangga [Lagu Gregorian] selama berabad-abad dalam setiap naskah kuno liturgi Gereja" dan masih tetap "mengusulkan kepada umat beriman" sebagai milik diri-Nya (Gereja,red) sendiri, mempertimbangkan ini sebagai "model tertinggi dalam musik suci". Dengan demikian, lagu Gregorian secara terus-menerus sampai juga hari ini menjadi elemen persatuan dalam Liturgi Romawi.” (Beato Yohanes Paulus II, Chirograph art. 7)

Setelah Nyanyian Gregorian, Nyanyian Polifoni Suci berada pada tempat kedua sebagai Musik Liturgi yang diutamakan. Nyanyian Polifoni Suci sedikit banyak berakar pada nyanyian Gregorian. Nyanyian Polifoni Suci adalah musik paduan suara yang dinyanyikan dalam banyak suara dan umumnya dinyanyikan tanpa iringan instrumental. Nyanyian Polifoni berkembang pada abad pertengahan sejak abad ke-9 dan mencapai puncaknya dalam karya seni musikal Giovanni Pierluigi Palestrina (1524-1594) pada paruh kedua abad ke-16.

Nyanyian-nyanyian lain terutama yang berakar dari budaya bangsa setempat dapat digunakan dalam Liturgi asalkan selaras dengan jiwa Perayaan Liturgi dan dapat menunjang partisipasi seluruh umat beriman serta mendapatkan izin resmi dari uskup setempat. (bdk. Sacrosanctum Concilium art. 39). Hal ini sendiri merupakan bentuk penghargaan Gereja Katolik terhadap budaya setempat sebagaimana yang tercantum dalam Dokumen Sacrosanctum Concilium 119, “Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya , baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka,...”

Di samping digunakan dalam konteks dan setting liturgi, Musik Liturgi dapat juga digunakan dalam kegiatan devosi seperti Doa Rosario atau Jalan Salib. Nyanyian-nyanyian Liturgi yang boleh digunakan dalam Upacara-upacara Liturgi dapat kita temukan dalam buku nyanyian Gereja Universal seperti Liber Usualis dan Jubilate Deo atau buku nyanyian Gereja yang telah dilegalisasi oleh uskup atau konferensi para uskup setempat seperti Puji Syukur. Cara paling sederhana untuk mengetahui suatu nyanyian termasuk nyanyian Liturgi adalah dengan mengecek keberadaan nyanyian tersebut di dalam buku nyanyian Gereja yang resmi.

Musik Rohani adalah musik yang dapat digunakan pada ibadat atau doa-doa yang bersifat devosi baik secara pribadi maupun dalam komunitas, tetapi tidak digunakan dalam Upacara-upacara Liturgi, termasuk di dalam Perayaan Ekaristi. Tentu musik dan lagu rohani ini haruslah memiliki syair yang seturut dengan ajaran Gereja dan tidak mempromosikan ajaran yang bertentangan dengan ajaran Gereja. Musik Rohani ini dapat membantu umat menghayati misteri Kristus lebih dalam lagi.

Musik Rohani dapat hadir di mana saja dan kapan saja (selama di luar Upacara Liturgi). Kita dapat menyanyikannya atau mendengarkannya ketika terjebak macet, sambil berbelanja, atau dalam persekutuan doa (seperti Persekutuan Doa Karismatik). Karena Musik Rohani ditujukan kepada individu atau komunitas kecil, individu atau komunitas inilah yang memiliki kontrol yang lebih besar terhadap tipe musik dan instrumen musik yang digunakan. Musik Rohani tidak memerlukan legalisasi dari uskup untuk dapat digunakan. Tetapi sekali lagi harus ditekankan bahwa Musik Rohani tidak dapat digunakan dalam Upacara-upacara Liturgi.

Musik Rohani dalam Perayaan Ekaristi?

Musik Rohani seperti yang dijelaskan di atas berbeda dari Musik Liturgi. Adalah sebuah pelanggaran Liturgi bila menyanyikan Musik Rohani dalam Upacara-upacara Liturgi. Hal ini karena Musik Rohani dipandang oleh Gereja tidak dapat digunakan untuk penyembahan publik (Public Worship) melainkan hanya untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat devosi pribadi atau komunitas. Penggunaan Musik Rohani dalam Liturgi akan mengaburkan dan perlahan menenggelamkan Musik Liturgi yang seharusnya menjadi satu-satunya musik yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi. Musik Rohani pun tidak dapat menggantikan Kyriale yang telah ditetapkan yaitu Tuhan Kasihanilah, Kemuliaan, dsb. Gereja sama sekali tidak melarang umatnya untuk menyanyikan dan mendengarkan Musik Rohani tetapi Gereja selalu mendorong agar musik yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi dan Upacara Liturgi lainnya haruslah Musik Liturgi, bukan Musik Rohani.

Pada masa sekarang, seringkali kita melihat Musik Rohani dikemas dalam bentuk yang terlalu bersemangat dan ekspresif dengan gaya dan aliran musik yang modern. Yang memprihatinkan, bentuk Musik Rohani seperti ini dihadirkan dalam Upacara Liturgi, khususnya Perayaan Ekaristi, dengan alasan untuk membuat Perayaan Ekaristi lebih hidup dan untuk menggugah umat. Menanggapi hal ini, Beato Yohanes Paulus II menekankan, perlunya untuk memurnikan ibadah dari keburukan gaya dan aliran musik, dari bentuk-bentuk ekspresi tidak menyenangkan, dan dari teks-teks musik bersemangat yang tidak layak untuk dijadikan sebagai bentuk perayaan liturgi, untuk menjamin martabat dan keunggulan dengan komposisi liturgi . (Paus Beato Yohanes Paulus II, Chirograph art. 3)

Perayaan Ekaristi dan Upacara Liturgi lainnya tidak dapat dicampuradukkan dengan kegiatan devosi atau kegiatan non-liturgi lainnya. Tetapi bila situasi dan kondisi memungkinkan, kegiatan devosi dapat dilaksanakan sebelum atau sesudah Upacara-upacara Liturgi. Nah, pada bagian kegiatan devosi inilah musik rohani dapat digunakan dengan tetap memperhatikan dan menyesuaikan dengan kondisi kegiatan devosi yang ada. Sementara itu, pada bagian Upacara-upacara Liturgi haruslah Musik Liturgi yang digunakan.

Instrumen Musik Liturgi

Musik Liturgi selalu mengutamakan penggunaan instrumen musik berupa organ biasa atau organ pipa. Dimungkinkan pula menggunakan instrumen musik tertentu yang dapat menghasilkan suara layaknya organ. Sementara itu, penggunaan alat musik tradisional setempat dapat digunakan dalam Upacara Liturgi bila mendapatkan legalisasi dari uskup setempat (bdk. Sacrosanctum Concilium art. 39). Menurut Tra le Sollecitudini art. 19-20 dan Musicam Sacram art. 63,  permainan band dan penggunaan alat-alat musik sekuler seperti  gitar, piano, drum, cymbal dan sebagainya dalam Upacara-upacara Liturgi dilarang dengan keras. Sementara itu, alat musik tiup dapat digunakan dalam jumlah yang terbatas, digunakan secara bijaksana, digunakan seturut proporsinya dan tepat menyesuaikan dengan organ. 

Salah Satu Organ Pipa milik Institut Kepausan untuk Musik Suci (sumber: vatican.va)
Penutup

Demikianlah artikel ini dibuat untuk membantu kita memahami mengenai musik dalam Gereja. Harapan penulis adalah semoga kita mampu menempatkan Musik Liturgi dan Musik Rohani sesuai porsinya masing-masing. Dalam Perayaan Ekaristi dan Upacara Liturgi lainnya hendaklah kita semakin sadar bahwa hanya Musik Liturgi-lah yang dapat digunakan, sementara Musik Rohani hendaknya tidak digunakan dalam Liturgi. Bukan hanya imam atau pelayan liturgi lainnya yang bertanggungjawab akan pelaksanaan Upacara Liturgi yang baik dan benar, tetapi juga semua anggota Gereja. Dengan menetapkan bahwa hanya Musik Liturgi yang dapat digunakan dalam Perayaan Ekaristi dan Upacara Liturgi lainnya, Gereja tidak bermaksud mengekang kreativitas seni musik umat beriman, tetapi Gereja berusaha menjalankan tugasnya agar perayaan-perayaan misteri iman tersebut dirayakan dengan baik dan benar, agar perayaan-perayaan misteri iman itu tidak kehilangan identitas Katolik-nya. Kita tetap diperbolehkan Gereja untuk mengembangkan Musik Rohani mengingat peran musik ini untuk membantu umat menghayati imannya atau mendorong umat untuk hidup lebih baik seturut ajaran Kristus dan Gereja.

Perayaan Ekaristi dan Upacara Liturgi lainnya bukanlah ajang unjuk kreativitas, bukan pula diadakan seturut selera umat; tetapi pelaksanaan tugas imamat Kristus dan tindakan Gereja. “Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; disitu pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; disitu pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.(Sacrosanctum Concilium art. 7)

Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Pace e Bene. Selamat Memasuki Bulan Maria.


Referensi:
1. Tra le Sollecitudini oleh Paus St. Pius X. Instruksi Mengenai Musik Suci. Diumumkan pada tanggal 22 November 1903.
2. De Musica Sacra et Sacra Liturgia oleh Kongregasi Suci untuk Ritus-ritus (sekarang bernama Kongregasi Suci Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen). Instruksi Mengenai Musik Suci dan Liturgi Suci. Diumumkan pada tanggal 3 September 1958.
3. Musicae Sacrae oleh Paus Pius XII. Ensiklik Mengenai Musik Suci. Diumumkan pada tanggal 25 Desember 1955.
4. Musicam Sacram oleh Paus Paulus VI. Instruksi Mengenai Musik di dalam Liturgi. Diumumkan pada tanggal 5 Maret 1967.
5. The Spirit of The Liturgy oleh Joseph Cardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI). 1999.
6. Liturgi. Emanuel Martasudjita, Pr. 2011.
7. Sacrosanctum Concilium oleh Konsili Vatikan II. Konstitusi Mengenai Liturgi Suci. Diumumkan pada tanggal 4 Desember 1963.
8. Chirograph oleh Paus Beato Yohanes Paulus II. Dokumen Gereja untuk Mengenang 100 Tahun Dokumen Tra Le Sollecitudini. Diumumkan pada tanggal 22 November 2003.

Pax et Bonum. Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist untuk dimuat di Buletin Lentera Iman milik Komsos Keuskupan Agung Makassar edisi Mei 2012.