Sabtu, 14 Juli 2012

Info Post



Suatu tengah malam pada waktu retret, saya masuk ke kapel. Ketika saya mencari tombol untuk menyalakan lampu di bagian belakang ruangan, secara tidak sengaja saya melihat salib yang besar tergantung di dinding. Karena alasan yang aneh saya berjalan mendekati salib dan memandang wajah Kristus secara langsung. Saya tidak tahu pasti apa yang saya harapkan, tetapi saya terkejut oleh apa yang saya temukan. Mata patung Kristus mempunyai bulu mata yang terbuat dari rambut manusia. Tatapan ke wajah Kristus pada malam itu sangat mengesankan – tidak ada yang lebih mengesankan saya, yaitu kemanusiaan Yesus yang sederhana dan dapat disakiti. Ia menyelesaikan misi-Nya dengan mengalami bermacam rasa sakit seperti misalnya merasakan lapar, tidak bisa tidur, lelah dan sakit.


Dampak langsung dari penemuan saya itu ialah kesadaran yang tak akan pernah hilang bahwa Kristus juga menangis karena sukacita dan bahagia. Seperti kita, Ia juga mencium wanginya bebungaan, menikmati keindahan mentari terbenam. Ia mengenal nyamannya pelukan hangat serta pandangan yang tidak berperasaaan dan menolak-Nya. Ketik saya membaca dua bab pertama dari Injil Lukas sebagai tugas yang diberikan oleh pembimbing retret, penjelasan Lukas tentang hal-hal khusus seperti waktu dan tempat mempunyai makna baru. Yesus dilahirkan “pada zaman Herodes, raja Yudea” (Luk 1:5). “Dalam bulan keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret” (Luk 1:26). Maria, bergegas berangkat berjalan “ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda” (Luk 1:39). Dan Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah “menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia” (Luk 2:1). Di masa lalu detil-detil ini tidak banyak berarti, bukankah penulis Injil lain tidak seteliti itu mengenai hal-hal ini. Tetapi dengan kesadaran yang lebih tinggi tentang kemanusiaan Kristus, keterangan Lukas tentang tempat-tempat dan waktu-waktu bersejarah ini membuat saya menjumpai Yesus dengan cara yang baru. Penyelamat kita, sama seperti kita, dihubungkan dengan waktu dan ruang. Ia membangun jalan keselamatan di tengah-tengah suatu tempat tertentu, dan dalam sebuah keluarga dan rutinitas. Ia tidak dibebaskan dari kehidupan sehari-hari.

Misalnya, dalam Lukas 5, Yesus melihat “dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya sedang turun dan membasuh jalanya” (Luk 5:2), itu adalah pemandangan yang biasa, tidak ada yang ilahi ataupun luar biasa. Orang-orang ini bisa saja sedang mengisi bensin ke mobil, atau bekerja di ladang, atau sibuk dengan komputer mereka. Hidup-Nya sehari-hari sangat biasa, normal. Karena bagian yang terberat dalam perjalanan hidup ini adalah menghayati kehidupan yang begitu-begitu dan biasa saja, maka perlulah kita mengingat bahwa Yesus juga mengalami rutinitas yang membosankan itu.

Karya klasik Thornton Wilder “Our Town” mengagungkan sifat universal, cinta dan kematian. Untuk melakukan hal itu sang penulis drama mendasarkan dramanya pada suatu tempat tertentu. Maka kita diberi tahu bahwa “Nama kota itu adalah Grover’s Corners, New Hampshire – dekat perbatasan Massachusetts; garis lintang 42 derajat 40 menit, garis bujur 70 derajat 32 menit.  Babak pertama memperlihatkan kegiatan sehari-hari di kota kami. Hari ini adalah tanggal 7 Mei 1901.” Kisahnya mempunyai implikasi universal tentang kehidupan dan kematian, tetapi kotanya sudah tertentu dan waktunya tertentu. Hidup bagi kita semua, termasuk bagi Yesus, harus dijalani secara khusus.

Tetapi memikirkan tentang Yesus yang merasakan ketegangan otot-otot serta merasakan lapar, dan bahkan mempunyai akar-akar geografis-Nya, hanya menghantar kita sampai di situ saja. Yang penting adalah perubahan-perubahan yang terjadi karena digerakkan oleh inkarnasi. Yesus sebagai manusia yang mempunyai bulu mata, dapat melihat kemungkinan-kemungkinan yang ilahi. Ia tidak terikat oleh realita-realita hidup yang sesaat dan tertentu. Ia dapat melihat melampaui batas-batas duniawi itu.

Kisah Yohanes tentang perkawinan di Kana mengabadikan bagi kita saat transformasi semacam itu. “ Di situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung”. (Yoh 2:6). Tempayan-tempayan ini digunakan untuk pembasuhan, tetapi Yesus melihat kemungkinan lain. Ia mengetahui bahwa tempayan-tempayan itu dapat diisi dengan anggur. Ciri itu, kemampuan untuk melihat adanya kemungkinan luar biasa dalam situasi yang rutin, merupakan ciri khas Yesus. Perkawinan merupakan norma umum dalam kehidupan Yahudi; Yesus dan Ibu-Nya pasti telah menghadiri banyak pesta kawin. Ia mengambil saat, dengan dorongan ibu-Nya, untuk membuat mujizat. Dalam semua Injil dilukiskan kemampuan Kristus tanpa batas untuk melihat kemungkinan-kemungkinan, untuk melihat pertobatan hati setiap orang berdosa, untuk membayangkan kesehatan meskipun yang dihadapi adalah penyakit.

Karena pengertian saya tentang kemanusiaan Yesus menjaid pusat perhatian dalam retret saya, maka saya masih meneruskan berdoa dan membaca bacaan-bacaan yang serupa setelah retret berakhir. Saya mulai membaca Injil dengan membuka peta Palestina. Seperti nama-nama tempat dalam awal Injil Lukas, petunjuk-petunjuk geografis lain yang sudah sangat kita kenal mungkin kita abaikan. Membaca Injil sambil melihat peta Palestina mengajarkan hal yang penting tentang daya tahan Yesus. Perjalanan kaki bermil-mil melalui daerah berbukit-bukit - ditambah dengan pekerjaan-Nya sebagai tukang kayu dan tukang batu di bengkel Yosef – membuat Yesus menjadi seorang yang kuat perkasa. Dalam Injil Lukas banyak disebut tentang perjalanan Yesus. “Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum” (Luk 4:31). “Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi” (4:42). “Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa” (Luk 6:12). “Ketika Yesus pergi ke suatu kota yang bernama Naim” (Luk 7:11). Ia selalu dalam perjalanan – dan melalui daerah yang berbatu-batu dan berbukit-bukit. Pasti Ia sangat sehat.

Gambar-gambar dari negeri yang didiami Yesus meskipun melukiskan keindahan juga menunjukkan daerah perbukitan batu. Orang yang tersandung batu di daerah perbukitan Yudea dapat mati karena terjatuh. Hanya dengan daya tahan yang tinggi Yesus dapat berjalan pulang balik melalui daerah yang keras ini.

Sebagaimana realita eksternal dari bulu mata Yesus membuat saya memahami penglihatan-Nya ke dalam batin manusia, demikian pula pemahaman tentang kekuatan fisik-Nya membuat saya menyadari kedisiplinan-Nya, kekerasan-Nya. Ada beberapa contoh dari tuntutan Yesus mengenai hal-hal rohani yang tidak dapat ditawar, suatu ketetapan hati yang sepadan dengan kekuatan fisik-Nya.

Misalnya di dalam Lukas kita membaca tentang seorang perempuan yang bertobat, mengurapi kaki Yesus dengan minyak ketika Ia sedang makan di rumah seorang Farisi (Luk 7:36:50). Orang Farisi itu tidak mengatakan apa-apa tetapi berpikir, “Jika Ia nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan apakah perempuan yang menjamah-Nya ini, bahwa ia adalah seorang berdosa.” Meskipun si Farisi tidak mengatakan apa-apa, Yesus berkisah untuk menjawab “apa yang dipikirkan orang itu”. Injil menganjurkan agar pikiran-pikiran kita yang berlawanan dengan ajaran Yesus tidak dibiarkan. Yesus berkata kepada tuan rumah-Nya, “Engkau tidak memberikan Aku air untuk memasih kaki-Ku. “Engkau tidak mencium Aku.” “Engkau tidak mengurapi kepala-Ku dengan minyak.” Ia kemudian menunjukkan kemurahan hati yang dimiliki oleh perempuan yang bertobat itu. Meskipun orang Farisi itu menjadi tuan rumah serta menjamu Yesus, tetapi itu saja belumlah cukup. Yesus menegurnya karena ia tidak melakukan lebih banyak. Pesan yang dikatakan Yesus, seorang laki-laki yang mempunyai kekuatan jasmani dan rohani, merupakan pesan yang keras.

Lalu, ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya, Ia berpesan, “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju.” (Luk 9:3). Tugas yang dihadapi Para Rasul itu berat, mungkin merupakan tugas yang paling menakutkan dan membutuhkan keberanian yang luar biasa yang pernah mereka lakukan. Tetapi Yesus mengatakan, “Tegarlah. Jangan melindungi diri dengan membawa terlalu banyak barang-barang.” Dan tentu saja dengan mengikuti nasihat-Nya, Para Rasul mampu menyebarkan kabar baik.

Dan bagaimana dengan nasihat yang keras dalam Markus 9:38-50? Daripada menyesatkan seseorang “lebih baik jika sebuah batu kilangan diikatkan” pada leher kita “lalu dibuang ke dalam laut”. Jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah”. “Jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah”. “Jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah”. Betapa keras kata-kata itu. Kita tidak dapat menghindar dari pesan yang disampaikan: mengikuti kehendak Allah menuntut segala yang kita miliki; mungkin kita tidak kuatir tentang mata atau tangan atau kaki kita. Tetapi barangkali sifat kita, kekerasan kepala, kerasukan atau keserakahan kitalah yang mengganggu kita. Apa pun halangan bagi keselamatan kita harus “dipenggal”.

Setelah  beberapa bulan bertumbuh dalam permahaman tentang Yesus Kristus, manusia yang dapat disakiti dan kuat ini, saya ingin melihat negeri di mana Yesus pernah hidup. Saya ingin berjalan di daerah yang telah saya lihat dalam peta. Saya ingin melihat apa yang dilhat oleh mata-Nya. Maka saya berziarah ke tanah suci.

Gurun Yudea meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Dengan melihat tebing-tebing batu, gua-gua kosong, dan gunung-gunung batu, membuat saya memahami secara baru betapa kuat dan berdisiplinnya Yesus. Ketika iblis mencobai-Nya di padang gurun, seperti yang kita baca dalam Lukas 4:1, Yesus “dipenuhi Roh Kudus” setelah dibaptis. Tetapi hidup dalam Roh tidak membebaskan-Nya dari cobaan. Saat saya berdiri di tengah padang gurun, saya mencoba membayangkan Yesus berjuang melawan iblis. Seorang diri di padang gurun, jauh dari pekerjaan dan sahabat-sahabat, Yesus dapat dengan mudah menyerah pada dorongan-dorongan mental dari raja kegelapan yang licik: “Jika Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti” (Luk 4:3). “Segala kuasa itu serta kemuliaannya akan kuberikan kepada-Mu” (Luk 4:6). “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini ke bawah” (Luk 4:9). Dalam keadaan lapar di daerah berbatu-batu dan gersang itu, roti dapat menjadi godaan yang nyata. Istana Herodes yang terletak di sebelah selatan, tampak dari bukit batu, dan menjadi godaan yang kuat untuk memiliki kekuasaan duniawi. Dan tebing-tebing batu yang tak berkesudahan, penuh dengan bahaya, dapat menjadi dorongan untuk berspekulasi tentang janji Allah mengirim malaikat-malaikat penolong. Sebelum saya mengunjungi padang gurun, jawaban Yesus kepada Iblis terdengar terus terang, “Jangan engkau mencobai Tuhan Allahmu!” (Luk 4:12). Yesus dengan jelas mengatakan kepada Iblis bahwa mencobai Tuhan itu merupakan perbuatan yang tidak dapat diterima.

Ketika saya berdiri di padang gurun dan menyadari betapa kuat Yesus menghadapi godaan-godaan, saya teringat pada penemuan saya waktu retret, yaitu bulu mata dan kemanusiaan-Nya yang dapat disakiti. Dengan semakin menyadari kemanusiaan-Nya saya semakin bersyukur atas karunia iman Kristiani yang saya dapatkan. Dan rasa syukur itu menambah keinginan saya untuk meneladan Dia, yang keilahian-Nya memancar terang melalui kemanusiaan-Nya.

ditulis oleh Anne Marie Drew dalam Sabda Allah Bagi Anda ed. April 1997