Senin, 23 Juli 2012

Info Post


Pada 20 September 2000, Paus Yohanes Paulus II berbicara kepada 40.000 orang yang berkumpul untuk mendengar audiensi umumnya: “Melalui Roh Kudus, umat Kristen dibawa ke dalam hubungan pribadi dengan Allah.” Kardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI), berbicara kepada sekelompok guru agama dan katekis di Vatikan secara lebih eksplisit. Beliau berkata: “Katekese tidak hanya sebatas persoalan meneruskan pengetahuan melainkan persoalan bagaimana membawa orang-orang kepada hubungan dengan Yesus.”


Kristianitas lebih dari sekadar sebuah koleksi fakta-fakta. Allah pengasih yang menciptakan kita ingin menjalin hubungan dengan kita. Ketika ditanya apa hukum yang terutama, Yesus berkata: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat 22:37). Pikirkanlah mengenai ini! Apakah kamu sungguh-sungguh percaya bahwa kamu dapat mencintai siapapun begitu besar tanpa mengetahui dan mengenal mereka?

Pada 2 Korintus 11:2, Paulus menyebut Gereja sebagai “Mempelai Kristus”. Analogi pernikahan yang dinyatakan Paulus ini sangatlah bagus karena mengillustrasikan bentuk hubungan yang seharusnya eksis/ada antara Allah dengan kita. Kamu dapat membaca sebuah biografi seseorang dan mempelajari apapun yang ada dalam buku itu untuk mengenal orang tersebut, tetapi kamu tetap tidak memiliki relasi apapun dengan orang itu. Begitu pula, kamu dapat membaca dan memahami Kitab Suci tetapi tidak serta merta kamu memiliki relasi dengan Allah. Pernikahan yang sejati adalah sebuah Perjanjian (Covenant). Sebuah Perjanjian melibatkan pemberian diri sendiri kepada yang lain. Yesus memberikan diri-Nya secara total kepada kita di kayu salib. Kita membalas cinta itu dengan rendah hati menyerahkan hidup kita kepada-Nya.


Beberapa orang Katolik yang mengakui perlunya sebuah relasi pribadi dengan Allah merasa bahwa dogma dan doktrin Gereja sebagai penghalang bagi relasi tersebut. Mereka mengabaikan dan meremehkan intelektualitas dan pengetahuan ajaran iman. Pada akhirnya, mereka secara total dituntun dan dibimbing semata-mata oleh perasaan mereka saja. Jika mereka merasa sangat yakin akan sesuatu, mereka akan mengatributkan itu kepada dorongan Roh Kudus, mereka menganggap Roh Kudus-lah yang mendorong mereka untuk yakin pada sesuatu tersebut. Meskipun diakui bahwa Roh Kudus sungguh dapat mendorong dan membimbing kita secara pribadi, tetapi dogma dan doktrin Gereja-lah yang meneguhkan bahwa suatu dorongan dan bimbingan sungguh berasal dari Roh Kudus dan bukan berasal dari dia (iblis) yang hendak menipu dan memanipulasi kita. Paulus dengan tepat memperingati Titus untuk mengajarkan “apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat.” (Tit 2:1). Ketika kita lebih mementingkan perasaan kita daripada dogma dan doktrin Gereja, kita akan berakhir pada (a)llah yang kita ciptakan sendiri, yaitu allah yang tunduk pada (subject to) apa yang kita yakini. Kita kehilangan Allah yang memberitahu kita apa yang harus kita imani. Pada akhirnya, kita hanya akan memiliki dua pilihan: Kita mengimani Allah atau kita menolak Allah, tetapi kita tidak akan pernah bisa memberitahu-Nya bagaimana caranya Ia menjadi Allah.

Dalam Mazmur 42:1, Daud mengekspresikan kebutuhannya akan Allah, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” Adalah sungguh alami bagi seseorang yang memiliki relasi pribadi dengan Allah untuk memiliki kerinduan yang begitu mendalam kepada Allah. Tetapi darimana kerinduan itu berasal? Paulus memberitahu kita jawabannya dalam Filipi 4:13 di mana ia berkata: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” Segala kebaikan dapat kita lakukan tentu karena rahmat Allah yang bekerja dalam diri kita. Kita tidak melakukan segala kebaikan semata-mata karena kemampuan diri kita sendiri. Yesus sendiri berkata: Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:5)

Rahmat Allah diberikan kepada siapapun yang memintanya: “Oleh karena itu Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya."

Sekarang, adalah sungguh benar bahwa kita menerima karunia dari Roh Kudus pada saat Pembaptisan. Tetapi, seperti sebuah kado hadiah (gift), karunia itu akan tidak berguna bila tetap berada dalam kotaknya. Banyak orang mengklaim memiliki iman sebagai karunia dari Allah, tetapi tampaknya iman itu hanya memiliki sedikit pengaruh atau bahkan tidak ada pengaruh sama sekali pada hidup mereka. Rahmat dari Allah membutuhkan sebuah tanggapan dari kita. Lalu, bagaimana cara kita menanggapi rahmat Allah? Kita dapat meminta Yesus hadir dalam hidup dengan sebuah doa komitmen sederhana seperti yang tertulis di bawah ini. Harap diperhatikan bahwa kata-kata berikut bukanlah mantra. Bila kita benar-benar menginginkan Allah, kita akan menemukan Dia. Dan ketika kita menemukan dia, kita akan tahu bahwa Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus (bdk Fil 4:7).

Yesus Yang Tersayang, terimakasih karena mengasihiku. Aku menyadari bahwa aku adalah seorang pendosa. Yesus, ampunilah aku atas segala kesalahan yang telah kuperbuat. Aku menyadari bahwa aku tidak dapat menghidupi hidupku tanpa diri-Mu. Hadirlah dalam hidupku dan bantulah aku untuk menjadi pribadi seturut yang Engkau kehendaki. Amin

Pax et bonum