Selasa, 23 Oktober 2012

Info Post


Gereja St. Nikolaus di Essen-Stoppenberg, Jerman

Di salah satu grup facebook khusus untuk orang Katolik, seorang anggota grup itu membagikan link dari media Kompas mengenai Dekrit Konferensi Para Uskup Jerman terkait umat Katolik yang menyangkal iman Katolik-nya untuk menghindari Pajak Gereja di Jerman. Sebelumnya, Indonesian Papist sudah membahas mengenai Isu Pajak Gereja di Jerman dalam artikel ini (silahkan klik).

Dalam topik di grup, saya akhirnya memutuskan untuk berpartisipasi dalam diskusi tersebut di kala diskusi itu sudah [hampir] berakhir. Diskusi ini berjalan alot di mana ada beberapa orang Katolik terlibat dalam diskusi ini. Karena tidak ingin hasil diskusi itu hilang sia-sia, saya memutuskan untuk mengarsipkan diskusi tersebut. Yang saya arsipkan adalah diskusi yang benar-benar berkaitan dengan Pajak Gereja sementara yang tidak berkaitan langsung dengan isu ini tidak saya arsipkan. Hingga artikel ini dibuat, diskusi masih belum berhenti. ^_^ .

Komentar saya dalam warna tulisan HITAM dengan nama Papist, komentar dengan warna tulisan BIRU oleh pembuat topik (yang mengepost artikel Kompas tersebut) dengan Starter, komentar lain dengan warna tulisan COKLAT dengan nama Komentator 1,2,3 dst. Diskusi ini lumayan panjang. Namun, saya harap para pembaca bisa mendapatkan manfaat dari diskusi ini. Berikut ini isi diskusinya:

Starter: coba kita ulas baik-baik berita ini http://internasional.kompas.com/read/2012/09/26/09181823/Ancaman.Kematian.Terkait.Pajak. Apakah Abad kegelapan akan coba dimulai lagi?

Starter: (beberapa komentar awal) ini lah alasan saya dulu posting bagaimana jika katholik jadi mayoritas. dan kalo ini terjadi di indonesia, saya akan keluar dari katholik. denger berita ini saja saya jadi kecewa. Benar2 tidak belajar dari pengalaman masa lalu yang juga terjadi di Jerman oleh luther.

Papist: (Setelah beberapa lama diskusi). Ternyata sudah pernah dibahas ya. Ini artikel tentang Pajak Gereja.

Starter: Pak Klement, hal itulah yang coba saya diskusikan kemaren, aturan memang sudah lama, tetapi dilihat perkembangan jamannya berikut ini petikannya Setiap tahun, ada sekitar 150rb-180rb umat Katolik menyatakan kepada negara bahwa mereka tidak lagi seorang Katolik (hal yang sama terjadi pula kepada Protestan walau dalam jumlah yang berbeda). Sedangkan ada 25 juta umat Katolik di Jerman yang tetap Katolik sekalipun harus membayar Pajak Gereja. Bila dibandingkan, maka ada sekitar 0,6% umat Katolik meninggalkan Gereja Katolik terkait masalah Pajak Gereja dan secara presentasi ini adalah jumlah yang kecil. Gembala yang baik itu akan mencari 1 domba yang hilang ( 1 sudah terlalu banyak) jumlah diatas 180 ribu orang yang menyatakan keluar dari Katholik.

Papist: Bukannya mereka udah dicari? Deklarasi atau surat pernyataan dari mereka yang mengaku bukan Katolik diserahkan oleh negara/pemerintah kepada pastor paroki tempat mereka berdomisili. Dekrit terbaru Konferensi Para Uskup Jerman (KPUJ) justru membuat terobosan baru. Bila dulu KPUJ cenderung pasif menanggapi penyangkalan iman besar-besaran, sekarang dekrit terbaru ini mewajibkan pastor paroki mengunjungi mereka-mereka yang mengaku bukan Katolik ini dan memberikan penjelasan dan konsekuensi dari keputusan mereka sambil mencoba membujuk mereka kembali. Tinggal merekanya mau atau tidak kembali lagi.

Starter: Pak Klemens, yang bapak jelaskan itu sudah akibat dari aturan tersebut, yang perlu diperbaiki aturannya, bukan akibat dari aturan itu. berapa persen yang mau kembali itu masih terlalu banyak. akar permasalahan kenapa aturan tersebut diberlakukanlah yang harus dilihat lagi.

Papist: Kalo soal aturannya, silahkan gugat konstitusi Jerman-nya. jangan gugat dekrit Gereja untuk menolak pelayanan sakramen, pemakaman dsb kepada mereka yang SECARA SADAR menghindari pajak dengan menyatakan bahwa mereka bukan Katolik.

Starter: Kasihan juga Orang jerman Ya, udah pajak penghasilan Tinggi, ditambah pajak Gereja, Katolik disana 25jt katanya berarti tinggal 24 juta 820 ribu, masih banyak, karena 180 ribu dibilang kecil. Berarti tinggal menunggu sekitar.......masih lama 137 tahun lagi untuk membuat semua orang jerman pindah agama atau jadi atheis.

Papist: Bapak tidak coba cari tahu kemudahan dan keringanan apa saja yang didapat di Jerman sekalipun pajak penghasilan tinggi? Sekalipun berdasarkan persentase tinggi, tapi dilihat dari jumlah, pendapat per kapita Jerman di atas rata-rata kok. maaf, terlalu berlebihan tanggapan anda ini.

Starter: Loh saya kan melihat hitungan matematis saja, kan sesederhana itu saja hitungannya. pertanyaannya kalo memang tinggi kenapa menolak pajak tersebut apa sebabnya mereka menolak itu jika pendapatannya tinggi?

Papist: hitungan matematis anda mengabaikan aspek pertumbuhan penduduk juga toh dan jumlah konversi ke Katolik di sana, makanya saya bilang terlalu berlebihan.
alasannya krisis ekonomi sekarang, mereka menyangkal iman Katoliknya karena ingin menghindari pajak. Gereja Katolik di sana itu sedang berusaha juga untuk menjelaskan bahwa krisis ekonomi tidak perlu sampai membuat mereka menyangkal iman katoliknya untuk menghindari pajak.
Satu lagi, Bapak mempertimbangkan gak kalo dari ratusan ribu yang ya keluar itu, ada sejumlah orang yang hanya Katolik secara KTP tapi tidak aktif dalam kehidupan menggereja? Kalo sudah begini, mereka lebih memilih menyatakan diri tidak Katolik daripada membayar pajak untuk sesuatu yang tidak mereka imani lagi atau hidupi lagi.
secara itungan matematis, pajak Gereja itu setidaknya mencapai maksimal 5 % dari total penghasilan.

Starter: saran saya sih, tinggal otoritas gereja teringgi Jerman terus terang saja jika tidak dapat membiayai operasionalnya, laporkan ke vatikan kemudian vatikan menyerukan agar setiap minggu ke 2 tiap bulan ada kolekte ke 2 untuk membantu gereja di Jerman yang sedang kesusahan. ini lebih baik daripada mereka menarik pajak dari umat. dan saya bangga dengan umat katolik di Indonesia bisa swadaya membiayai gerejanya, tanpa adanya pemaksaan melalui pajak tersebut, bahkan melalui group ini dapat sukarela mengumpulkan uang 10 ribu perbulan walaupun baru mulai. inti permasalahannya apakah otoritas Gereja katholik jerman bisa atau tidak menggalakan peran serta umat dalam membangun gerejanya. ini yang jadi PR bagi mereka.

Papist: Bapak mencoba menyamakan kultur Jerman dengan kultur di Indonesia? Saya coba mencari tentang hal ini, dan tiga sumber berkata: Pajak Gereja dianggap sebagai bagian integral dari profession of faith bagi orang-orang Jerman, Orang-orang Jerman itu Lazy Donator, dan ada juga yang mengaku menjadi Katolik untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan tertentu. Di sisi lain, memang ada juga yang kontra tentang Pajak Gereja.
kalau mau saya gugat balik kebanggaan Bapak , mengapa mesti ada iuran wajib untuk penerimaan Sakramen-sakramen di banyak paroki? mengapa saya harus membayarkan sekian puluh ribu untuk Sakramen Krisma?

Starter: Kalo saya gak bayar iuran wajib apa saya gak boleh ikut sakramen, kemudian pas meninggal dak diberikan misa. kalo saya gak membayar puluhan ribu untuk krisma apa gak boleh krisma juga, banyak yang bantu pak, itu yang bikin saya bangga.

Komentator 1: lhoo mereka tidak di beri pelayanan sakramen kan karena mereka tidak mengakui dirinya Katolik lagi, bukan berarti karena tidak membayar pajak.

Starter: lah iya kalo gak mau bayar pajak kan harus tidak mengakui jadi katholik.

Papist: jadi, mengapa mesti ada iuran wajib??

Starter: wajib itu istilah saja tidak ada sangsi, coba aja gereja bilang wajib harus bayar kalo gak gak boleh ikut misa dan pengakuan dosa, lihat efeknyalah kadang iuran wajib sama iuran sukarelanya aja gedean sukarelanya, itu menandakan adanya rasa perduli dari umat untuk gerejanya.

Papist: saya cuma tau tanya ke Bapak,mengapa mesti ada iuran wajib di paroki-paroki untuk mendapatkan sakramen? tambahan ya: Orang Katolik miskin di Jerman tidak atau hanya dikenai sedikit pajak Gereja saja, malah uang-uang pajak dipakai untuk membantu mereka yang homeless dsb.

Starter: kan ada biaya operasionalnya pak, tapi toh umat sukarela memberikannya karena tidak ada paksaan. emang ada gitu yang gak mau bayar trus gak boleh ikut sakrament tersebutsaya tau pa severius, yang jadi permaslaahn itu sangsinya itu, untuk yang homeless sepertinya pemerintah udah urus itu dari pajak penghasilan yang besar di jerman.

Papist: lha sama dengan Gereja di Jerman, butuh biaya operasional. di Jerman juga ada yang ngasih secara sukarela kok sekalipun udah dibebani pajak Gereja (sekitar 70% pendapatan Gereja didapat dari pajak Gereja, sisanya karya dan donasi). Di Indonesia, cara untuk tidak terkena iuran itu banyak dan tidak harus mendeklarasikan diri bukan Katolik. Di Jerman, cara untuk tidak terkena iuran itu satu-satunya adalah menyangkal iman Katoliknya dan konsekuensinya jelas toh. Gereja Jerman udah benar dong tidak memberikan sakramen kepada mereka yang bukan Katolik.

Gereja Indonesia juga udah banyak yang membebankan umat kok dengan iuran wajib dan semacamnya untuk kegiatan operasionalnya. Apa bedanya dengan di Jerman? Di Jerman juga orang-orang Katoliknya ada yang memberikan donasi sukarela kepada Gereja, apa bedanya dengan orang-orang di Indonesia?

Yang menjadi beda adalah pada cara menghindarkan diri dari pajak (di jerman) atau iuran (di indonesia). Di Indonesia, ada begitu banyak cara untuk menghindarkan diri dari membayar iuran wajib dan hal ini tidak diatur negara; sedangkan di Jerman satu-satunya cara menghindarkan diri dari membayar pajak menurut aturan negara yang berlaku adalah dengan menyangkal iman Katoliknya di hadapan negara dan Gereja.

Starter: lah iya butuh tapi kan gak perlu pake pemaksaan yang dituangkan dalam pajak yang ada sangsinya pak, lah memang gak perlu dideklarasikan, saya gak perlu mendeklarasikan untuk gak bayar iuran wajib 10 ribu per bulan trus saya keluar dari katholik wong gak ada sangsinya. kalo gitu sekalian saja bapak kardinal minta ke pemerintah indonesia sesuai dengan kanonik 1263, untuk menarik pajak ke umat katholik karena untuk pembiayaan operasional gereja, dan mendesak. gak masalah kalo gitu, tinggal diliat aja efeknya nanti dan kalo gak mau bayar keluar dari katholik.

Papist: Pemerintah Indonesia mengakui KHK sebagai salah satu hukum yang berlaku secara umum di Indonesia? di Indonesia belum ada wacana seperti itu dan belum ada urgensinya juga. Kalau ada, ya saya taat aja. Kalo efeknya ditinggalin umat, berarti iman umatnya lemah.

Starter: wahhh lemah sekali iman saya kalo begitu, itulah salah satu alasan saya ikut group ini, oh ya coba diliat di kanonik 1263 dibahas gak sangsinya.

Papist: tidak dibahas sanksinya dan tidak disebutkan sanksinya. Lalu hubungannya dengan kasus di Jerman??

Starter: kanonik itu juga berlaku di Jerman kan ya?

Papist: iyalah, jelas. Tapi dekrit di Jerman itu tidak berbicara mengenai bayar pajaknya atau gak, melainkan penyangkalan iman dan konsekuensinya. Kan. 1265 § 2 Konferensi para Uskup dapat menetapkan norma-norma untuk mencari dana, yang harus ditaati oleh semua saja, tak terkecuali mereka yang dari kelembagaannya disebut dan adalah mendikan.
KWI-nya punya hak menetapkan norma-norma tuh dan dalam norma bisa didapatkan ketentuan sanksinya juga.

Starter: lah mendingan minta bantuan kita atau gereja negara lain dari pada memaksa umatnya bayar pajak dengan sangsi yang seperti itu, kita pasti iklas membantu kok. Paling juga timbul pertanyaan loh kok Gereja jerman Minta bantuan operasional sama kita, apa yang salah dengan mereka.

Papist: ini solusi Bapak sudah memperhatikan soal kultur Jerman dan semacamnya atau asal muncul saja ya? Terasa enteng banget ngomongnya.

Starter: Pak, penyangkalan iman itu akibat dari gak mau bayar pajak kan. bukan menyangkal iman trus gak mau bayar pajak.

Papist: dua-duanya pak, makanya jangan digeneralisasi dong.
Kondisi 1: menghindari pajak makanya menyangkal iman Katoliknya.
Kondisi 2: Sudah menyangkal iman Katolik, makanya tidak mau bayar pajak atas keanggotaannya di Gereja Katolik padahal ia sudah tidak meyakini iman Katolik lagi.

Starter: solusinya saya dah berikan diatas saya pikir itu bisa diterapkan. Masa mau nunggu kayak peristiwa Luther lagi. mumpung masih 180 ribu yang keluar hehehehhee

Papist: Gini saya coba uraikan mekanismenya:
Saya seorang Katolik, mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. Dalam form pendaftaran ada kolom afiliasi religius dan saya isi "Katolik". dan dengan ini saya mendapat tambahan pajak Gereja terhadap pajak penghasilan saya. (Bila penghasilan saya 1000, kena pajak penghasilan 100, maka pajak Gereja itu 9% kali 100 = 9 ).
jadi total pajak yang saya bayar itu 109.
Nah, pengumpulannya dilakukan oleh negara/pemerintah, bukan oleh gereja. Setelah negara kumpulkan, lalu didistribusikan ke Keuskupan-keuskupan. Di sini, gimana saya mau menghindar pajaknya? Bila mengisi kolom afiliasi religius, otomatis uang saya sudah ditarik negara untuk pajak Gereja. Saya gak bisa datang ke Gereja dan berkata: "saya gak mau bayar pajak." Gereja gak bisa berbuat suatu hal agar saya terhindar dari Pajak Gereja yang dikumpulkan oleh pemerintah.
Yang saya lakukan untuk menghindar pajak adalah mau tidak mau (berdasarkan aturan Jerman), menyatakan diri bukan Katolik dan kemudian mengosongkan kolom religius afiliasi saya. Nah, ini berarti saya secara resmi menyatakan diri bukan Katolik. Konsekuensinya saya tidak bisa mendapatkan sakramen, pemakaman Katolik dsb. Konsekuensi ini yang ditegaskan oleh KPUJ atas penyangkalan iman secara massal ini.

Di sana itu, konsep pemisahan Gereja dan negara jelas. Uang dari umat Gereja langsung untuk Gereja. Beda nih dengan sistem pajak Indonesia, biaya untuk support kegiatan agamanya berasal juga dari uang negara yang berasal dari pajak umum.

Papist: saya yakin solusinya adalah pembenahan mekanisme atau aturan pemerintah soal pengumpulan pajak. Harusnya Gereja sendiri yang mengumpulkan pajak Gereja (atau kita katakan saja iuran wajib) dan Gereja juga otonom dalam menerapkan mekanisme untuk menghindari pajaknya (menyediakan alternatif lain jadi tidak perlu sampai menyangkal iman) bagi yang tidak mau atau pelit membayar pajak. Akibat mekanisme pengumpulan seperti sekarang ini, satu-satunya cara menghindari pajak adalah menyangkal iman dan ini memang mengesalkan. Biarkan Gereja mengumpulkan sendiri apa yang menjadi milik Gereja. Bukan Dekrit KPUJ yang harus diprotes tapi aturan hukum di Jerman soal Pajak Gereja yang harus digugat.

Starter: pagi Pak Severus, Jika pendapat saya pribadi, Pajak itu adalah bentuk komitment dari warga negara untuk membiayai penyelenggaraan negara, dan komitment tersebut disertai oleh sangsi yang mengikat, dan jadi aneh jika Gereja melakukan hal tersebut kepada umatnya, bukan masalah pelit ato tidak pelit tapi sangsinya yang menggelikan itu.

Papist: Sanksi Pajak Gereja di Jerman itu setahu saya gak ada wong uangnya udah langsung ditarik sama pemerintah. Sudah tahu kan kalo Protestan dan Yahudi juga bayar Pajak atas keanggotaan religiusnya? Tapi sanksi menyangkal iman itu yang ada dan itu yang diberikan oleh Gereja. Mengapa hal seperti ini tidak bisa dipahami juga?

Starter: mungkin ini bisa membantu : Para Wajib Pajak yang ingin berhenti membayar Pajak Gereja harus mendeklarasikan dalam tulisan atau surat di pengadilan setempat atau kantor pendaftaran bahwa mereka telah meninggalkan gereja atau komunitas religius mereka. Dengan kata lain, seorang Katolik yang ingin berhenti membayar Pajak Gereja harus menyangkal iman Katolik-nya di hadapan negara. Deklarasi para Wajib Pajak - yang menyatakan bahwa mereka bukan lagi Katolik - diteruskan oleh negara kepada paroki tempat mereka terdaftar dan dicatat di dalam surat baptis mereka masing-masing. Berdasarkan dekrit Konferensi Para Uskup Jerman yang dikeluarkan 20 September 2012, pastor paroki kemudian akan mengunjungi orang Katolik yang menyangkal iman Katolik-nya ini dan menjelaskan kepadanya konsekuensi dari tindakannya tersebut dan menyarankannya untuk mempertimbangkan keputusannya.
Keterangan ; Kalo misalnya saya gak mau membayar pajak gereja, tetapi tetap mau ikut misa, apakah langsung diusir. atau gimana? karena saya gak setuju dengan pajaknya saja.

Papist: ikut Misa ya jelas bisa, sama seperti Protestan boleh ikut Misa. Tapi tidak boleh menerima Komuni Kudus sama seperti Protestan tidak boleh menerima Komuni Kudus.

Starter: kalo dianalisa ya pak Severius asal muasal pajak itu akibat Independensi dari Gereja yang tadinya dikuasai oleh para bangsawan, nah di Indonesia Kayaknya juga Independen deh, gak ada bantuan dari Negara, Bener gak, jadi apa bedanya. Zaman Terus berkembang, cara pandang manusia juga berkembang, otoreitas gereja harusnya dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman tersebut

Papist: Sudah saya katakan di atas kalau orang-orang Jerman (seperti kebanyakan orang-orang Eropa) adalah lazy donator. Inilah kultur yang membedakan Jerman dari AS dan Indonesia.
Btw, ada tuh bantuan dari pemerintah Indonesia untuk sekolah-sekolah Katolik dan aktivitas-aktivitas Gereja melalui Bimas Katolik atau Departemen Pendidikan, dan itu asalnya dari pajak umum juga. Hubungan antara Gereja Jerman dengan Pemerintah Jerman rasanya tidak bisa disamakan antara hubungan Gereja Indonesia dengan Pemerintah Indonesia. Wong sistem perundang-undangannya aja beda.

Starter: solusi yang saya sampaikan yang disebut terlalu enteng oleh pak Severius, direvisi ulang atau dicabut pajak gereja itu, kalo memang gereja tidak dapat beroperasi karena pajak itu dihapus, minta bantuan gereja Semesta, termasuk di Indonesia, kita akan dengan senang hati membantu saudara kita yang di Jerman itu. karena saya lebih baik kesulitan keuangan tapi umat tetap solid, dan itu pasti bisa diatasi.

Papist: iya, solusinya terlalu enteng karena menyederhanakan masalah yang kompleks. 70% pemasukan yang diterima Gereja Jerman berasal dari Pajak Gereja. Uang ini untuk keperluan mengurus sekolah Katolik, RS Katolik, aktivitas-aktivitas sosial Katolik bahkan membantu restorasi Gereja-gereja Katolik seperti di Georgia (sebuah Gereja dan biara di sana berhasil direstorasi dan Keuskupan-keuskupan Jerman memiliki andil dana dalam membantu hal ini). Matinya Pajak Gereja akan sangat mungkin mengakibatkan pengambilalihan RS Katolik, Sekolah KAtolik dll oleh negara atau organisasi/komunitas religius lain, matinya bantuan bagi Gereja di negara-negara yang Katolik mengalami kesulitan dsb. Dalam kondisi krisis ekonomi di Eropa sekarang, matinya Pajak Gereja akan membuat karya Gereja tersendat dan kolaps. Sampai anda bisa mengubah kultur Jerman yang lazy donator dan adanya kecenderungan untuk tidak menghidupi iman katoliknya, maka solusi enteng anda itu justru akan menghancurkan.
Indonesia mau bantu? Jangan dulu deh, urusin aja nih Gereja-gereja yang berdiri aja susah karena sulit dapat izin atau urusin gereja-gereja di pelosok yang mau rubuh. Terus kalau bisa turunin deh biaya pendidikan Sekolah Katolik dan RS Katolik.

Komentator 2: Menurut saya harus diulas lagi knapa greja tsb getol bgt soal pajak, saya kira greja harusnya fokus ke pelayanan dan penginjilan. Lebih baik kembalikan smua ke nilai2 Alkitab, cari tau Tuhan mau apa, jangan cuma doktrin greja. Salam damai.

Papist: Gereja Jerman juga sudah fokus dalam pelayanan dan penginjilan dan pajak Gereja itulah salah satu pendukung utama Gereja Jerman dalam melaksanakan pelayanan dan penginjilan. Realistis aja lah. Uang memang bukan tujuan dari Pajak Gereja, tapi Pajak Gereja itu penting bagi keberlangsungan karya pelayanan dan penginjilan Gereja di Jerman. Btw, kita sebagai Katolik tidak cuma berpegang pada Kitab Suci doang, tapi juga pada Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Perlu diperhatikan bahwa Dekrit Konferensi Para Uskup Jerman itu adalah reaksi atas sikap orang-orang yang menyangkal imannya di hadapan negara karena ingin menghindari pajak. Jadi poinnya: Siapa yang menyangkal iman katoliknya, tidak berhak untuk menerima Komuni Kudus, pemakaman Katolik dsb seperti hak-hak yang dimiliki oleh orang-orang Katolik.

Komentator 3: pemakaman secara katolik merupakan hak setiap umat. Karena umat adalah komunitas atau gereja itu sendiri. Jika berita Kompas itu benar, maka kebijakan keuskupan di jerman dan persetujuan paus itu harus ditinjau ulang dan gereja katolik dinilai telah mengalami kemunduran atau kembali kepada kegagalan-kegagalan gereja di masa lalu.

Papist: betul, pemakaman secara Katolik merupakan hak setiap umat. nah, berarti yang bukan Katolik tidak berhak mendapatkan hak pemakaman secara Katolik dong, bukan begitu?. Nah, inilah isi dekritnya: mereka yang menyangkal iman Katoliknya, tidak berhak untuk mendapatkan pemakaman Katolik. Berita di kompas itu gak jelas, tidak mengenal konteks berita dan saya pikir terlalu melebih-lebihkan dan mendiskreditkan Gereja.
Dekrit Keuskupan Jerman dan persetujuan Paus atas dekrit tersebut adalah tepat dan sesuai hukum Gereja, tidak ada yang perlu ditinjau ulang: jelas orang yang menyangkal iman Katoliknya tidak berhak mendapatkan apa yang menjadi hak seorang Katolik.
Dekrit ini reaksi, bukan sebab/cause, atas orang-orang yang menyangkal imannya hanya demi menghindari pajak.

Starter: Pak Severus, Jadi solusi itu tidak dapat diterapkan karena masalah kultur, dan pertimbangan Bapa Paus untuk menyetujui juga terkait masalah kultur. Ya mudah2an tidak terjadi di Indonesia, jadi banggalah jadi umat katholik di Indonesia yang mempunyai kultur bagus sehingga Gereja katholik Roma tidak perlu menerapkan Pajak dengan sangsi yang seperti itu di sini.

Papist: Tidak membayar Pajak Gereja itu tidak dikenai sanksi oleh Gereja. Tapi yang menyangkal iman Katolik secara sukarela di hadapan negara itu yang dikenai sanksi tidak boleh menerima sakramen, pemakaman Katolik dsb. Lucu banget menyatakan bahwa sanksi tidak membayar Pajak Gereja adalah ekskomunikasi atau pelarangan pemakaman Katolik dsb. Berarti sudah tergiring oleh media yang memberitakan secara keliru.
Pertimbangan Paus menyetujui karena memang seperti itu hukumnya: yang menyangkal iman Katolik tidak berhak mendapatkan apa yang menjadi hak seorang Katolik.

Papist: Pernyataan yang SALAH: Yang tidak membayar Pajak Gereja, tidak berhak mendapatkan apa yang menjadi hak seorang Katolik.
Mengapa salah? Sebab secara aktual ada juga orang-orang yang tidak membayar Pajak Gereja (yaitu yang penghasilannya kecil dan orang-orang miskin lainnya) tapi tetap mendapatkan hak-haknya sebagai anggota Gereja Katolik.

Starter: Gini aja sepertinya, tidak akan bisa sama karena persepsi berbeda, saya berpandangan dari aturan diatas bahwa gereja melalui negara menerapkan aturan mengenai Pajak Gereja dengan sangsi dicabut hak2nya sebagai umat katholik, yang menyebabkan 180 ribu orang menyangkal. itu pandangan saya, Menurut anda sekalian, bagaimana jika hal tersebut terjadi di Indonesia?

Papist: saya mesti mengoreksi beberapa bagian dari kalimat ini.
1. tidak ada sanksi kepada mereka yang tidak membayar pajak Gereja dari Gereja Jerman. Tolong jangan menggiring opini publik ke arah yang salah ini. Aturan Pajak Gereja itu aturan negara, tercantum dalam konstitusi Jerman.
2. Bukan Pajak Gereja yang menyebabkan 180rb orang itu menyangkal imannya; tetapi (berdasarkan pernyataan seorang warga Jerman dan warga Belanda yang tinggal di Jerman), 180rb orang ini kebanyakan adalah mereka yang SUDAH TIDAK menghidupi atau mempraktekkan iman Katoliknya. Jadi mereka berpikir daripada dibebani pajak Gereja untuk sesuatu yang tidak mereka hidupi lagi, mereka berpikir lebih baik menghindari pajak dengan menyatakan diri bukan Katolik.

Ket: saya gak ngerti mengapa setelah penjelasan panjang lebar dari saya, anda masih berusaha memaparkan penjelasan keliru yang sudah dikoreksi berulang-ulang.

Papist: saya mengutip pernyataan seorang rekan di luar negeri – “alasan orang-orang itu ditolak dari penerimaan sakramen tidak sebatas karena mereka tidak membayar pajak; tetapi karena mereka secara sukarela menyangkal iman mereka. Ketika seseorang tidak peduli mengenai penyangkalan iman mereka, hanya untuk menghindari membayar pajak yang kecil, iman mereka itu berarti sangat dangkal. Mengapa orang-orang itu masih mau menerima sakramen-sakramen ketika iman mereka sudah tidak bermakna lagi bagi mereka?”

Starter: saya mengutip pernyataan Prof Zapp' Zapp beragumentasi, menurut doktrin Katolik, keanggotaan dalam gereja ditetapkan berdasarkan keyakinan seseorang, dan bukan karena hubungan finansial seseorang dengan organisasi gereja. ini saya setuju

Papist: memang betul, tetapi Keanggotaan Gereja Katolik otomatis hilang ketika ia menyangkal imannya. Masalahnya di sini, Zapp menyangkal imannya di hadapan negara dan Gereja tapi masih memaksakan diri untuk menerima Sakramen Gereja, ini kan namanya munafik. Saya mengutip Markus Nolte, teolog dan editor surat kabar Katolik, Kirche+Leben: orang-orang Katolik di Jerman yang menghidupi imannya tidak memiliki masalah dengan hal ini. Dia melihat debat sekarang utamanya adalah antara sejumlah teolog dan pengacara tetapi tidak di antara mayoritas practicing Catholic.

Starter: jangankan untuk 8% untuk 50 persen aja akan diberikan secara sukarela tapi jangan disebut Pajak dengan sangsi yang menggelikan pak. itu naman prinsip bukan munafik. dan karena menghidupi imannya zab menolak itu semua.

Papist: tuh kan, tidak membayar pajak tidak dikenai sanksi oleh Gereja. Hallo, mau sampai kapan terjebak sama pemikiran kayak gitu? Bila tidak membayar pajak Gereja, tidak dikenai sanksi oleh Gereja . Tapi yang mereka yang secara sukarela menyangkal iman mereka tidak berhak mendapatkan apa yang menjadi hak seorang Katolik.
Saya pribadi tidak melihat sumber permasalahannya ada di Pajak Gereja, tapi sumber permasalahannya ada di mekanisme pengumpulan Pajak Gereja berdasarkan aturan negara Jerman yang mengakibatkan hanya ada satu alternatif untuk menghindari Pajak Gereja yaitu menyangkal iman.


Sampai komentar di atas, belum ada penambahan komentar lagi yang berkaitan langsung dengan Pajak Gereja dari thread starter. Secara umum, kesimpulan yang bisa diambil adalah: 

Dekrit Gereja Jerman tidak menyatakan bahwa orang Katolik di Jerman harus membayar Pajak Gereja untuk mendapatkan sakramen-sakramen dan pelayanan gerejawi. Gereja Jerman juga tidak menyatakan bahwa orang-orang yang tidak membayar Pajak Gereja dikenai sanksi ekskomunikasi dan semacamnya. Apa yang dinyatakan Gereja Jerman dalam dekritnya adalah penegasan bahwa mereka yang secara sadar dan sukarela menyangkal iman Katolik-nya di hadapan Gereja dan negara, tidak berhak mendapatkan hak-hak yang dimiliki oleh seorang Katolik. Kondisi Perpajakan di Jerman itu kompleks. Dengan aturan perpajakan Jerman sekarang, satu-satunya mekanisme bagi orang-orang religius (Katolik, Protestan dan Yahudi) menghindari pajak keanggotaan agama mereka adalah dengan menyangkal iman mereka sendiri di hadapan negara dan agama mereka. Kita patut prihatin melihat kondisi. Satu hal, saya mengharapkan anda, umat Katolik sekalian, untuk tidak menyerang dekrit Gereja (yang menurut saya menawarkan terobosan yang baik) sebab dekrit ini mau tidak mau harus dikeluarkan untuk menanggapi mereka yang menyangkal iman Katolik mereka. Juga saya harap tidak menyerang Pajak Gereja di Jerman yang telah banyak berkontribusi kepada Gereja-gereja Katolik di luar Jerman dan karya pelayanan lain; seperti restorasi/pendirian kembali satu gereja dan satu biara di Georgia di mana Keuskupan-keuskupan Jerman ikut membantu secara finansial. Solusi yang dapat ditawarkan adalah Gereja Katolik di Jerman harus berani untuk meminta Negara Jerman berhenti mengumpulkan Pajak Gereja bagi Gereja Katolik. Harus Gereja Katolik Jerman sendiri yang mengumpulkan apa yang menjadi milik Gereja dan Gereja-lah yang mengatur mengenai dispensasi atau mekanisme pembebasan Pajak Gereja (konsepnya sama seperti iuran wajib di banyak paroki di Indonesia yang fleksibel) sehingga orang-orang Katolik tidak perlu sampai menyangkal imannya untuk menghindari beban pajak.


Pax et Bonum