Kamis, 11 April 2013

Info Post
St. Vincentius Lerins
Seorang Diakon Ortodoks Rusia Di Luar Rusia (ROCOR) membuat tulisan mengenai Uskup Roma pada 6 abad pertama di mana ia mencoba untuk menunjukkan bahwa Petrus dan Para Paus Roma tidak memiliki otoritas yang unik, tidak memiliki primasi dan tidak pula memiliki infallibilitas. Tetapi, sayang sekali kutipan-kutipan yang diambil sering keluar konteks dan kadang tidak ada hubungannya dengan primasi dan infallibilitas Paus. Kali ini saya akan menuliskan tanggapan untuk kutipan 3 abad pertama dari artikel tersebut yang bisa diakses di page Diakon Ortodoks Rusia Di Luar Rusia tersebut. Tulisan Diakon tersebut dalam warna merah sementara respon saya dalam warna hitam.
Kesetaraan Petrus dengan para Rasul lainnya menjadi dasar bagi iman Gereja Orthodox menolak dogma papacy yang diberlakukan oleh Gereja Roma.

Perlulah diketahui bahwa Petrus selalu dipandang sebagai pemimpin sekaligus pelayan bagi para rasul lainnya. Dalam posisinya sebagai seorang pemimpin, Petrus memiliki sejumlah otoritas tertentu dan unik dalam Gereja.

Para Bapa telah berkali-kali dalam surat mereka menyatakan bahwa posisi Petrus tidak lebih tinggi dari para rasul lainnya sekalipun dia yang pertama kali menerima kuasa mengikat dan melepaskan dari Tuhan kita Yesus Kristus.
Lebih tepatnya Para Bapa Gereja telah berkali-kali bahkan sudah menjadi konsensus bahwa Petrus dan Para Paus memiliki otoritas yang unik yang tidak dimiliki para uskup lain sebab kunci Kerajaan Surga pertama-tama diberikan kepada Petrus.
"Jadi Petrus adalah yang pertama menerima kekuasaan untuk mengikat danmelepaskan, dan ia pulalah yang pertama kali membuat banyak orang menjadiberiman dengan kekuatan khotbahnya. Namun, para Rasul lainnya telah dijadikansetara dengan Petrus dalam persekutuan martabat dan kekuasaan. Mereka jugatelah dikirim ke seluruh dunia, memberitakan Injil. Setelah kuasa ini turun keatas para rasul, para uskup (penilik jemaat) telah menjadi penerus bagi mereka,dan ke seluruh dunia mereka telah mendirikan tahta-tahta para rasul." - St. Isidorus Seville (560 - 636M), De Sirakh (tambahan: kadang juga ditulis "De Ecclesiasticus", II.5, MPL, Vol. 83, Kol 781-782
Perlu dilihat konteks pernyataan tersebut, sebab jika maksudnya sederajat dalam artian berada dalam satu golongan yang dihormati dan berkuasa, itu memang benar. Sebab memang semua uskup (penerus Rasul) itu berada dalam suatu golongan yang dihormati dan berkuasa memimpin di daerahnya masing- masing; dalam hal ini mereka ‘setara’. Namun kesetaraan ini tidak serta merta menghapus kepemimpinan di kalangan para uskup itu, dan peran ini dilakukan oleh Paus.

Mereka setara dalam yurisdiksi lokal masing-masing yang sepertinya tidak dimengerti oleh Diakon tsb. Petrus memiliki yurisdiksi lokal sendiri, Yakobus dan Para rasul lain juga tetapi mereka tidak memberontak melawan primasi Petrus. Kutipan di atas tidak berkata apa-apa tentang yurisdiksi universal melainkan – bila dibaca lengkap – berbicara perihal imamat. Kita perlu melihat bahwa seorang paus dan uskup pasti memiliki otoritas yang sama dalam hal imamat bagi yurisdiksinya masing-masing, contohnya dalam hal sakramen-sakramen di mana setiap Paus dan Para Uskup lainnya memiliki otoritas yang sama untuk memberikan tujuh sakramen yang sama pula di wilayah gerejawi mereka sendiri. Lihat di bab V buku De Ecclesiasticis Officis halaman 71-72 dan baca kutipan lebih awal dari yang dikutipkan oleh Diakon tersebut:
Pada Perjanjian Baru, bagaimanapun juga, setelah Kristus urutan imamat dimulai dengan Petrus. Karena kepadanya pontifikat Gereja Kristus diberikan pertama kali. Demikianlah Tuhan berkata kepadanya: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan gerbang Hades tidak akan menguasainya.”  
Perlu diketahui bahwa St. Isidorus Sevilla (dalam Etymologiae hlm 168 ) juga mengajarkan bahwa Petrus adalah Kepala Para Rasul:
He was called Cephas because he was established was the head (caput) of the apostles, for safhk [ie. cephas] in Greek means 'head,' and Cephas is the Syrian name for Peter.
Dan dalam Patrologia Latin, St. Isidorus menulis:
“Keputusan Pontiff Roma, berdiri di atas supremasi Tahta Apostolik, adalah tidak dipertanyakan.” (ante A.D. 636) in PL:84
Dan dalam Ep. Ad Claud. Ducem, St. Isidorus menyatakan:
“Kami tahu siapa yang bertanggungjawab dalam Gereja Kristus kepada keberlanjutan yang kita akui dengan hormat dan rendah hati dan dengan devosi lebih terutama untuk memberikan ketaataan dalam segala hal kepada Pontiff Roma sebagai Vikar Allah. Barangsiapa yang dengan bangga menolak prinsip ini, kami putuskan, sama sekali berada di luar persekutuan umat beriman sebagai heretik (sesat).” (Isidore, Ep. ad Claud. ducem)
Diakon Ortodoks Rusia Di Luar Rusia tersebut lalu melanjutkan:
Demikian pula Gereja mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada satu pun rasul, penggantinya atau pribadi manapun baik di surga maupun di bumi kecuali Allah sendiri yang kebal salah (Infalibil) dalam pengajaran.
Well, benih-benih infallibilitas Paus telah ada sejak abad-abad pertama Gereja berdiri dan para Bapa Gereja mendukungnya.
"Mengapa Rasul Paulus mengatakan "Sekalipunkami"? (Gal 1 : 8) mengapa tidak mengatakan "meskipun aku"? Dia menyatakan bahwa, "Sekalipun itu Petrus, meskipun Andreas, meskipun Yohanes, meskipun itu adalah seluruh rasul, mereka dinyatakan salah dalam pengajaran mereka jika memberitakan kepadamu Pengajaran lain daripada yang kami telah berikan kepadamu, dan maka terkutuklah dia." Dia tidak berkata,"Jika ada orang yang menyampaikan pengajaran lain kepadamu maka terimalah dia, biarkan dia diberkati dan dipuji, sambutlah orang itu,"sekali-kali tidak, tetapi "terkutuklah dia," laknat dia yaitu pisahkan hingga jadi terpisah, kucilkan, jangan sampai penyakit menular yang mengerikan dari domba yang satu mencemari kawanan Kristus dengan percampuran beracun dari mereka... Jika ada orang yang mengkhotbahkan doktrin apapun yang baru,terkutuklah dia." - St. Vinsensius Lerins, Commonitory 22
Marduk, seorang Katolik Koptik eks-Ortodoks, memberikan tanggapan atas kutipan ini kepada orang yang menggunakannya untuk menyerang Katolik:
Kutipan yang indah saudara. Tetapi tidak menyanggah posisi Katolik karena kutipan tidak lebih dan tidak kurang dari posisi Gereja Katolik. Dalam keadaan normatif, SEMUA uskup adalah wakil Kristus dan adalah gembala yang sejati bagi kawanannya. Inilah yang St. Paulus (St. Vinsensius Lerins dengan tafsirkan) sedang katakan. Apakah St. Paulus akan menyampaikan isu mengenai apa yang harus dilakukan ketika ada konflik di Gereja atau ketika ia merasa membutuhkan peneguhan akan imannya? Faktanya, ia melakukannya. Dalam contoh berikut, Paulus mengunjungi Petrus, bukan karena dia tidak mengetahui, tetapi untuk memastikan, sebagaimana Kitab Suci katakan, bahwa ia tidak berjalan sia-sia – yaitu untuk meneguhkan pengetahuan ilahi yang baru saja ia miliki. Dan contoh sebelumnya, kita melihat ia mengajukan banding ke otoritas yang lebih tinggi dari dirinya sendiri – konsili Yerusalem di mana suara seseorang (yaitu Petrus) memberikan keputusan otoritatif dengan konsensus semuanya.
Commonitorium St. Vinsensius Lerins pernah dibahas panjang lebar di Called to Communion dan ternyata bisa dilihat bahwa dalam Commonitorium ini juga  St. Vinsensius Lerins pun mendukung primasi Paus Roma termasuk dalam hal memutuskan ajaran iman. Ini adalah kasus di mana Gereja-gereja Afrika pada saat itu jatuh pada ajaran baru (novelty) yang tidak sesuai Tradisi Apostolik untuk membaptis ulang kaum sesat yang dulu sudah pernah dibaptis dengan valid secara Katolik. Firmillian Uskup Caesarea dan St. Siprianus Uskup Kartago sekali waktu pernah jatuh pada ajaran ini dan menentang Paus St. Stefanus. Dalam hal ini, St. Vinsensius Lerins membela St. Stefanus, menegaskan kebenaran ajaran Paus St. Stefanus terhadap Agripinnus, St. Firmillian dan St. Siprianus. St. Siprianus di kemudian waktu berdamai dengan Paus St. Stefanus.
“... kami akan mengambil satu [contoh], dan yang - dalam preferensi untuk orang lain - berasal dari Tahta Apostolik, sehingga dapat menjadi lebih jelas dari siang kepada setiap orang bahwa dengan betapa energi yang besar, dengan betapa penuh semangat, dengan betapa kesungguhan yang besar, penerus terberkati (Para Paus) dari rasul yang terberkati (yaitu Petrus) telah terus-menerus membela integritas agama yang mereka telah pernah mereka terima.” (Commonitorium 15)

Sekali waktu, Agripinnus, Uskup Kartago (ia adalah pendahulu St. Siprianus di Kartago), mengajarkan ajaran – dia adalah yang pertama mengajarkan ajaran tersebut – bahwa Pembaptisan [terhadap yang sesat] haruslah diulang, bertentangan dengan kanon ilahi, bertentangan dengan aturan Gereja universal, bertentangan dengan kebiasaan dan penetapan dari leluhur kita. Inovasi ini menarik sejumlah kejahatan, yang tidak hanya memberikan contoh sakrilegi kepada segala macam heretik, tetapi juga membuktikan kesalahan kepada umat Katolik tertentu.
Ketika kemudian orang-orang protes melawan hal yang baru [yang diajarkan oleh Agripinnus) dan imamat di mana-mana, masing-masing dengan penuh semangat, - melawannya. Paus Stefanus yang terberkati, Prelatur Tahta Apostolik, dalam hubungannya dengan rekan-rekannya tetapi dialah yang terutama, melawan hal baru tersebut, berpikir perlawanan tersebut benar; saya (St. Vinsensius Lerins) tidak ragu bahwa dia melampaui semua yang lain dalam otoritas tahtanya, sehingga ia juga berada dalam pengabdian akan imannya. Dalam sebuah surat yang dikirim pada saat itu ke Afrika, Paus St. Stefanus menuliskan aturan ini: Hendaknya tidak ada inovasi – tidak ada inovasi tetapi apa telah diteruskan. Karena orang suci dan bijaksana tahu dengan baik bahwa kesalehan sejati mengakui tidak ada aturan lain daripada segala sesuatu yang telah diterima dengan setia dari para bapa kita yang sama dengan yang kita teruskan kepada anak-anak kita dengan setia; dan inilah tugas kita, bukan untuk memimpin agama berdasarkan apa yang kita kehendaki tetapi untuk mengikuti ke mana agama tersebut menuntun. Adalah bagian dari Christian modesty and gravity untuk tidak meneruskan keyakinan atau penemuan kita sendiri kepada mereka yang datang setelah kita tetapi untuk menjaga dan memelihara apa yang kita terima dari mereka yang telah pergi sebelum kita. (Commonitorium 16)
St. Vinsensius Lerins dengan jelas di atas mengajarkan bahwa Paus Roma memiliki otoritas gerejawi melampaui semua uskup lainnya, bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Diakon Ortodoks Rusia Di Luar Rusia  tersebut.

Masih dalam Commonitorium, St. Vinsensius Lerins menunjukkan primasi otoritatif Paus Roma. Berbicara mengenai otoritas yang berkumpul dalam Konsili Efesus, St. Vinsensius Lerins menyatakan:
“And lest Greece or the East should seem to stand alone, to prove that the Western and Latin world also have always held the same belief, there were read in the Council certain Epistles of St. Felix, martyr, and St. Julius, both bishops of Rome. And that not only the Head, but the other parts, of the world also might bear witness to the judgment of the council, there was added from the South the most blessed Cyprian, bishop of Carthage and martyr, and from the North St. Ambrose, bishop of Milan.” (Commonitorium 79)
Perhatikan di sini bahwa St. Vinsensius Lerins menyatakan bahwa Paus St. Feliks I (269-274) dan Paus St. Julius I (337-352) adalah “the Head” – “Kepala” kepada para uskup dari Timur, Afrika dan Italia Utara.

Masih sekali lagi dalam Commonitorium, St. Vinsensius Lerins merujuk kepada otoritas Paus Roma untuk menolak novelty (ajaran baru). Kali ini ia menjelaskan Paus St. Sikstus III dan Paus St. Selestinus.
The foregoing would be enough and very much more than enough, to crush and annihilate every profane novelty. But yet that nothing might be wanting to such completeness of proof, we added, at the close, the twofold authority of the Apostolic See, first, that of holy Pope Sixtus, the venerable prelate who now adorns the Roman Church; and secondly that of his predecessor, Pope Celestine of blessed memory, which same we think it necessary to insert here also. (Commonitorium 84)
Pada Commonitorium 84, St. Vinsensius Lerins menjelaskan pernyataan otoritatif Paus St. Sikstus III terhadap Uskup Antiokia mengenai perkara ajaran sesat Nestorianisme. Sementara pada Commonitorium 85, St. Vinsensius Lerins menjelaskan  Paus St. Selestinus menuliskan keputusan otoritatif atas error dari para imam di wilayah Gaul, Prancis.  Tampaknya Sang Diakon harus membaca keseluruhan tulisan St. Vinsensius Lerins sebelum asal mengutipnya untuk menyerang primasi Paus Roma termasuk juga mempelajari lagi infallibilitas Paus dengan benar.
Ini adalah beberapa realita posisi Paus Roma pada abad ke-dua hingga abad ke-enam, yaitu tidaklah memiliki superioritas dan pula dapat melakukan kesalahan.
Kutipan-kutipannya memang real, tetapi pemaknaannya adalah imajinasi Sang Diakon dan tampak sekali ketidaktahuannya mengenai infallibilitas Paus.
Realita Posisi Paus Roma pada abad ke dua
Kita belajar dari abad ke-2, ketika Paus Victor menyatakan ekskomunikasi bagi Gereja-gereja di Asia yang merayakan Paskah pada tanggal yang berbeda dari apa yang sudah ditetapkan: "Namun, ini tidak menyenangkan semua uskup ... kata-kata mereka yang dengan sangat tajam menegur Victor. Di antaranya adalah Irenaeus, yang,mengirim surat atas nama saudara-saudara di Gaul yang dia pimpin, ... pantas memberi peringatan bagi Victor bahwa ia tidak harus memecah-belah seluruh Gereja Tuhan yang mengikuti suatu tradisi lebih awal... Jadi Irenaeus, yang benar-benar bernama baik, menjadi pembawa damai dalam hal ini, mendesak dan bernegosiasi dengan cara ini atas nama perdamaian gereja. Dan dia yang telahmemberikan surat ini menjadi pertentangan tidak hanya bagi Victor, tetapi juga bagi sebagian besar otoritas Gereja lainnya. "
Sumber : Eusebius, Church History,Bk. 5, Ch.24
Mengenai kutipan ini, saya tampilkan pembanding dari situs Early Christian Writings yang mencantumkan juga tulisan Yunani dari kutipan tersebut. Sedikit koreksi, hendaknya Sang Diakon berhati-hati menerjemahkan sebab Paus St. Viktor, dalam kasus ini, tidak memecah belah, tetapi mengekskomunikasi Gereja-gereja yang tidak mengikuti penetapan Paskah yang ia buat. Dan kalimat “Dan dia yang telah hmemberikan surat ini menjadi pertentangan tidak hanya bagi Victor, tetapi juga bagi sebagian besar otoritas Gereja lainnya. " adalah bias. Tepatnya, St. Ireneus mengirimkan surat yang berbicara tentang permasalahan yang diperdebatkan ini kepada Paus St. Viktor dan otoritas Gereja lainnya. Maknanya berbeda, kalimat pertama menunjukkan bahwa surat itu yang menjadi pertentangan, sementara yang kedua menjelaskan bahwa surat itu berbicara mengenai hal yang diperdebatkan. Lalu "Namun, ini tidak menyenangkan semua uskup ... kata-kata mereka yang dengan sangat tajam menegur Victor.” sayang sekali tidak diterjemahkan lengkap. “But this did not please all the bishops. And they besought him to consider the things of peace, and of neighborly unity and love. Words of theirs are extant, sharply rebuking Victor.”

Perlu diketahui sekali lagi bahwa tulisan ini has nothing to do, tidak ada kaitannya, dengan Infallibilitas Paus atau pun primasi Paus. Kasus ini adalah kasus praksis liturgi sementara Infallibilitas Paus berbicara mengenai ajaran iman dan moral. Sang Diakon ROCOR harus melakukan eksplorasi lebih jauh mengenai maksud dari Infallibiltas Paus supaya tidak salah menduga.

Apa yang dilakukan oleh St. Ireneus adalah menampilkan bukti menguatkan perayaan Paskah sebagian besar Gereja Timur kepada Paus St. Viktor  dan menegur Paus St. Viktor I untuk tidak mengekskomunikasi Gereja-gereja tersebut. Melihat hal ini, sebenarnya kita bisa mengetahui bahwa St. Ireneus menyadari bahwa St. Viktor I memiliki hak untuk mengekskomunikasi Gereja-gereja lain. Dan melihat bahwa para uskup berusaha meminta Paus St. Viktor untuk mempertimbangkan keputusan ini, kita melihat bahwa mereka tidak mempertanyakan otoritas St. Viktor I.

Apakah St. Ireneus menolak primasi dan otoritas Paus? Faktanya TIDAK. St. Ireneus menuliskan:
“Karena … adalah terlalu panjang untuk dibahas di buku ini, untuk menuliskan suksesi dari semua Gereja- gereja, kami menyalahkan mereka semua yang, dengan cara apapun, entah karena kesenangan diri sendiri yang jahat, karena mencari kemuliaan diri sendiri, atau karena ketidaktahuan dan pendapat yang keliru, bergabung dengan pertemuan- pertemuan yang tidak sah(maksudnya komunitas di luar Katolik); [aku melakukan ini] dengan menunjukkan bahwa tradisi diperoleh dari para rasul, dari Gereja yang sangat besar, sangat tua, sangat luas dikenal sebagai Gereja yang didirikan dan dipimpin di Roma oleh kedua Rasul yang mulia, Petrus dan Paulus; sebagai iman yang dikhotbahkan kepada manusia, yang sampai kepada jaman kita oleh karena suksesi para uskup. Sebab adalah suatu kepastian bahwa setiap Gereja harus setuju dengan Gereja ini [Gereja Roma], oleh karena otoritasnya yang utama (pre-eminent authority), yaitu atas semua umat beriman di manapun berada, sepanjang tradisi apostolik telah dipertahankan oleh mereka [para uskup] yang ada di mana- mana.”
Kutipan ini dapat ditemukan dalam Adversus Haereses Buku III, Chapter III (silahkan klik). Melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa St. Ireneus tidak menolak primasi dan otoritas Paus Roma malah menyatakan bahwa Gereja lain harus setuju dengan Gereja Roma dan Gereja memiliki preeminent authority
Realita Posisi Paus Roma pada abad ke tiga

Kembali kita belajar pada abad ke-3 bahwa seorang Paus Roma dapat menjadi seorang yang skismatik dan terekskomunikasi dari Gereja Kristus, yaitu ketika Paus Stephen memutuskan bahwa para bidah tidak bisa dibaptis sekalipun mereka beralih keyakinan dalam Gereja yang benar, dan para uskup di Afrika (yang dipimpin oleh St Siprianus) dan di tempat lain menolak keputusan ini, karena bagi mereka hanya ada satu baptisan-satu Gereja -, Paus Stephen menyatakan mereka yang menentang dikucilkan. Namun St. Firmillian Kaisarea dari Cappodocia menulis tentang ini untuk St Siprianus dari Kartago dan para uskup di Afrika:

"Kami (para uskup dari Asia) menerima hal-hal yang telah Anda tulis seolah-olah milik kami sendiri."namun disisi lain, mereka yang berada di Roma tidak mengamati hal-hal dalam semua kasus yang diteladankan sejak awal, dan dalam kesia-siaan berpura-pura memakai otoritas para rasul." "Tapi kami mengikuti Tradisi yang benar, dan menentang Tradisi Gereja Roma, kami mengikuti Tradisi yang benar, memegang dari awal apa yang telah disampaikan oleh Kristus dan para rasul."

Dia kemudian melanjutkan untuk komentarnya yang sangat anti dengan gaya Kepausan Stephen yang memutuskan untuk mengucilkan mereka yang tidak setuju dengannya.

"Tidakkah Stephen merasa malu untuk memberikan patronase sedemikian(yaitu bidah dan penentang Tuhan) bertentangan dengan Gereja, dan demi mengurus para bidat malah memecah-belah persaudaraan dan di samping itu, untuk memanggil Siprianus 'Kristus palsu, rasul palsu, dan pekerja curang.' Dan dia, sadar bahwa semua karakter ini dalam dirinya, telah menganggap palsu keberatan dengan hal-hal lain yang ia sendiri harusnya patut mendengarkannya. "

St Firmillian melanjutkan tulisannya mengenai Paus Stephen:

"Pertimbangkan dengan apa yang ingin anda hakimi (Stephen), anda berani menyalahkan mereka yang berusaha untuk jujur melawan kepalsuan. Seharusnya anda lebih adil untuk menjadi marah terhadap yang lain?-Apakah dia yang mendukung musuh-musuh Allah, ataukah dia yang bertentangan dengan orang yang mendukung musuh-musuh Allah, bersatu dengan kami atas nama kebenaran Gereja? ... Anda telah membangkitkan percekcokan dan perselisihan di seluruh Gereja di dunia ini! Selain itu, betapa besar dosa yang telah anda tumpuk untuk diri anda sendiri, ketika Anda memecah-belah dari begitu banyak domba! Anda sendirilah yang telah memecah belahnya. Janganlah menipu diri anda sendiri, karena sebenarnya dialah skismatik yang telah membuat dirinya sendiri murtad dari persekutuan kesatuan gerejawi. Untuk sementara Anda berpikir bahwa semua bisa dikucilkan (ekskomunikasi) oleh Anda, Anda telah dikucilkan diri anda sendiri melalui semua, dan bahkan bukankah ajaran rasul yang telah membentuk Anda untuk aturan kebenaran dan perdamaian, meskipun ia memperingatkan, dan berkata,

"Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh,sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua." (Ef 4: 1 - 6)

Gereja kemudian menyetujui tindakan St Siprianus dan St Firmillian (dapat kitalihat kanon 1 dari St. Basil Kaisarea, kanon 1 dari Carthage, kanon 2 dari Konsili Ekumenis Keenam, kanon 1 dari Konsili Ekumenis Ketujuh).

Sumber :
 Firmilian, Bishop of Cæsarea in Cappadocia, to Cyprian, Against the Letter of Stephen.  a.d. 256. (http://www.ccel.org/ccel/schaff/anf05.iv.iv.lxxiv.html)
Berdasarkan kutipan St. Vinsensius Lerins sebelumnya, sebenarnya Agripinnus bersama Firmilian dari Caesarea dan St. Siprianus berada dalam posisi yang keliru mengenai pembaptisan ulang atau rebaptism. Kasus ini berawal dari posisi St. Stefanus yang menyatakan bahwa ada baptisan heretik atau skismatik (dalam hal ini baptisan kelompok skismatik Novatian) yang valid sehingga ketika mereka bersatu lagi ke dalam Gereja, mereka tidak perlu dibaptis ulang. Kelompok Novatian membaptis dalam Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus dan menggunakan materia air sebagaimana yang dilakukan oleh Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Sementara posisi Agripinnus yang diadopsi oleh Firmilian dan St. Siprianus menyatakan bahwa SEMUA heretik dan skismatik harus dibaptis ulang agar bisa masuk ke dalam Gereja. Adalah kebiasaan di sejumlah Gereja non-barat untuk membaptis ulang kaum heretik dan ada pula Gereja non-barat yang tidak membaptis ulang heretik. Sementara di Gereja Barat, membaptis ulang heretik yang baptisannya valid dipandang sebagai hal yang menyimpang.

Tampaknya Sang Diakon juga harus menganalisis kondisi Gereja-gereja di Timur yang kerapkali mendapatkan serangan bidaah terhadap ajaran Trinitas di mana kaum heretik tersebut tidak mempercayai Trinitas dan tidak dibaptis dalam forma dan materia yang benar sehingga mereka perlu dibaptis ulang. Telah menjadi tradisi di Kapadokia (termasuk di Caesarea) untuk membaptis ulang kaum montanist, sebuah bidaah terhadap Trinitas. Hal ini berbeda dengan kondisi Gereja Barat yang jarang mendapatkan serangan bidaah terhadap Trinitas. Tampaknya Firmilian dan St. Siprianus terlalu men-stretch up tradisi di wilayahnya agar dipandang sebagai kebiasaan universal.

However, posisi Agripinnus, Firmilian dan St. Siprianus keliru mengenai pembaptisan ulang seluruh kaum heretik ini karena ada baptisan dari kaum heretik atau skismatik yang valid selama dalam forma dan materia yang benar. Beberapa waktu kemudian; St. Siprianus, St. Agustinus, St. Hieronimus dan St. Vinsensius Lerins satu suara dengan Paus St. Stefanus dan memuji keteguhannya. St. Siprianus sendiri pada akhirnya berada dalam persatuan dengan Paus Roma. St. Agustinus dari Hippo menjelaskan bahwa pada akhirnya St. Siprianus percaya pada pengajaran Paus St. Stefanus meski sebelumnya menentang ia.
Seek counsel from the blessed Cyprian himself. See how much he considered to depend upon the blessing of unity, from which he did not sever himself to avoid the communion of those who disagreed with him; how, though he considered that those who were baptized outside the communion of the Church had no true baptism, he was yet willing to believe that, by simple admission into the Church, they might, merely in virtue of the bond of unity, be admitted to a share in pardon. For thus he solved the question which he proposed to himself in writing as follows to Jubaianus: "But some will say, 'What then will become of those who, in times past, coming to the Church from heresy, were admitted without baptism?' The Lord is able of His mercy to grant pardon, and not to sever from the gifts of His Church those who, being out of simplicity admitted to the Church, have in the Church fallen asleep." (Augustine, On Baptism, II.18)
Sementara itu, tidaklah jelas bagaimana posisi Firmilian selanjutnya setelah Paus St. Stefanus mengekskomunikasinya. Penerus Paus St. Stefanus sendiri mengambil kebijakan yang lebih lembut terhadap Firmilian.

Kutipan-kutipan Firmilian di atas sebenarnya tidak dapat digunakan acuan untuk menolak primasi dan infallibilitas Paus sebab ia berada dalam posisi yang keliru. Menggunakannya pernyataan Firmilian sama saja dengan menggunakan pernyataan kelompok Arian (kelompok sesat yang menolak keilahian Kristus) untuk menolak primasi dan infallibilitas Paus. Perlu dicatat saya tidak memandang Firmilian heretik tetapi yang ditekankan di sini adalah tidaklah tepat menggunakan pernyataan seseorang yang berada dalam posisi yang salah untuk menolak primasi dan infallibilitas Paus.

Sang Diakon menjelaskan bahwa St. Basilius Agung menyetujui tindakan St. Siprianus dan Firmilian tetapi apakah Sang Diakon sudah menganalisis apa yang sebenarnya disetujui oleh St. Basilius mengenai pandangan St. Siprianus dan Firmilian?
As for the baptism of schismatics, on the other hand, it appeared to the Synod of Cyprian and of my own Firmilian that it too ought to be disregarded and rejected, seeing that the schismatics—the Novatians, I mean, the Encratites, the Sarcophores, the Aquarians, and others—have separated in principle form the Church, and after separating have not had the grace of the Holy Spirit in them any longer, as the impartation of it has ceased; hence as having become laymen they have had neither the spiritual gift nor the authority to baptize or to ordain, and consequently those who are baptized by them, as being baptized by laymen, have been ordered to be baptized with the true Baptism of the Catholic Church. – St. Basil
St. Basil menjelaskan bahwa St. Siprianus dan Firmilian mengajarkan baptisan semua heretik dan skismatik itu tidak valid. St. Basil juga menjelaskan bahwa St. Siprianus dan Firmilian mengajarkan bahwa skismatik berada di luar Gereja. Tetapi St. Basil mengajarkan hal yang berbeda dari St. Siprianus dan Firmilian mengenai skismatik. Hal ini bisa ditemukan dalam kanon 1 St. Basilius
“So it seemed good to the ancient authorities to reject the baptism of heretics altogether, but to admit that of schismatics, on the ground that they still belonged to the Church.” 
Dari sini kita lihat bahwa St. Basilius berbeda dari St. Siprianus dan Firmilian mengenai kelompok skismatik. St. Siprianus dan Firmilian mengajarkan bahwa skismatik terpisah dari Gereja sementara St. Basilius menyatakan kelompok skismatik tetap berada dalam Gereja.

Sementara itu Konsili Nicea 325 M dan Konsili Kartago Empat 419 M selaras dengan Paus St. Stefanus dan namun bertentangan dengan  St. Siprianus dan Firmilian. Konsili Nicea 325 M kanon 8 menyatakan bahwa kelompok skismatik Cathari yang hendak menjadi Katolik tidak perlu dibaptis tetapi cukup dengan penumpangan tangan. Sementara Konsili Kartago Empat 419 M kanon 55 menyatakan bahwa bayi-bayi yang dibaptis oleh kelompok Donatist tidak perlu dibaptis lagi bila ingin menjadi Katolik. Ini berarti bahwa St. Siprianus dan Firmilian keliru mengenai seorang skismatik harus dibaptis ulang untuk masuk ke dalam Gereja sementara Paus St. Stefanus memiliki posisi yang tepat.

Konsili ekumenis ke-6 yang dimaksud Sang Diakon adalah Konsili Trullo (Ortodoks memandangnya ekumenis, sementara Gereja Katolik tidak) tetapi apa yang diterima oleh konsili ini adalah kanon St. Siprianus hanya memiliki efek atau pengaruh di wilayahnya sendiri bukan terhadap seluruh Gereja Katolik. Di samping itu, saya masih belum menemukan kanon yang dimaksud oleh Diakon ROCOR tersebut dalam Konsili Nicaea II yang adalah konsili ekumenis ke-7 yang diakui baik oleh Katolik maupun Ortodoks.

Pax et Bonum