Minggu, 05 Mei 2013

Info Post


Fratres,
Kemudahan akses dan tersedianya alat2 kontrasepsi (yang dikutuk oleh Gereja Katolik sejak dulu sampai sekarang) maka pada masa2 jaman sekarang ini malahan meng-encourage (baca: MEMFASILITASI) para remaja untuk melakukan sex bebas karena KETIDAK-KUATIRAN mereka akan masalah kehamilan.



Di negara Amerika Serikat, jamak terjadi kalau sudah melakukan 'dating' atau kencan beberapa bulan, maka biasanya "sudah saatnya" berhubungan seks.


Dari cerita dari seorang perwira militer (yang kini mungkin sudah pensiun) dan menjadi Katekis di sebuah daerah suburban di mana penghuninya adalah bekas immigran Jerman pada saat mengajar kepada para katekumenat remajanya bahwa hubungan seks pra-nikah itu adalah Dosa Berat, mereka kaget dan bertanya-tanya apakah memang begitu.


Timbul tanggapan seperti, "kalau kita tidak berhubungan seks saat kencan, lalu mau ngapain?"

Di akhir kelas, para katekumen wanita, yang awalnya agak diam, mendekati suster dan bertanya secara lebih detail mengenai apa yang diajarkan sang Katekis.


Di Indonesia kecenderungan ini belum separah di Barat, tapi jauh lebih parah dari jaman dulu.
Suatu masa tempo dulu sekali, sering di koran-koran di beritakan kasus perkosaan atau perzinahan di mana kita bisa membaca, "pria itu merenggut miliknya yang paling berharga," atau "di kamar itulah, berkat bujuk rayu Slamet, Fitri menyerahkan miliknya yang paling berharga."

Bahasa seperti itu bukan saja langka bahkan hampir tiada lagi di artikel-artikel berita Indonesia pada jaman sekarang.


Kalau ada penulis artikel yang nekad menulis berita, "Susi kehilangan miliknya yang paling berharga" bisa jadi persepsi orang adalah si Susi ini kehilangan IPad-nya atau IPhone-nya atau Blackberry-nya. Ini karena apa yang dulunya "berharga" sekarang sudah mulai "di-diskon".


Nah, marilah kita belajar dari tulisan di bawah ini yang menunjukkan kondisi barat di mana yang "berharga" itu tidak hanya di-diskon besar-besaran tapi diberikan gratis bahkan sampai maksa.

==============


Berikut adalah terjemahan bebas dari artikel ilmiah berjudul:


'Economy of sex: It’s Cheap These Days'



Kamu pikir kamu belum pernah mendengar tentang ilmu ekonomi hubungan seksual?

Dengarkan saja apa yang diserukan budaya pop [modern].


"Money can’t buy me love," seru the Beatles.


"My love don't cost a thing," yang di-ikrar-kan Jennifer Lopez.


Artis2 MTV memperoleh "uang tanpa berusaha dan cewek-cewek secara gratis," omel Dire Straits.


Bahkan Adele, di hit no.1-nya, "Rolling in the Deep," memperingatkan bekas kekasihnya, "Go ahead and sell me out, and I’ll lay your ship bare. jika kamu mengkhianatiku/menjual diriku, dan aku akan membongkar rahasiamu/menyingkirkanmu"


Bukti-bukti akan keberadaan ilmu ekonomi seksual — campuran antara teorinya Adam Smith dan perkatan Dr. Ruth yang berusaha menjelaskan bagaimana cara kerja "pasar seksualitas" — ada di mana-mana, kata sosiolog Universitas Texas professor Mark Regnerus.


"Salah satu fakta yang tidak diakui mengenai seks adalah ilmu ekonomi yang mendasari seksualitas itu sendiri," katanya.


"Kalau dilihat-lihat, cara kerja [ilmu ekonomi seksual tersebut] memang mengagumkan. Dan sifatnya sangat mendasar pula: Kita mencantumkan harga untuk hubungan seksual.


Mungkin kamu berpikir kita tidak seharusnya melakukan itu [yaitu mencantumkan harga untuk MELAKUKAN suatu hubungan seksual] tapi SEBENARNYA kita memang melakukannya. Hubungan seksual, pada tingkat tertentu, adalah sebuah pertukaran.

Tiap-tiap orang memberikan orang lain sesuatu dari diri mereka. Tapi biasanya [JENIS yang diberikan sebagai bentuk pertukaran] adalah sesuatu yang berbeda."


Tn. Regnerus dan co-author-nya Jeremy Uecker menggunakan teori ekonomi hubungan seksual di buku mereka yang penuh data-data baru yang berjudul “Sex Pra-Nikah di Amerika: Bagaimana Muda-Mudi Amerika Bertemu, Berpasangan dan Berpikir Untuk Menikah”


Kesimpulan mereka adalah, bagi para muda-mudi remaja di negara Amerika, aturan modern hubungan romantis PADA MASA KINI itu "jelas-jelas berpihak pada para pria" dan [aturan tersebut] CENDERUNG MENGHUKUM wanita yang ingin menikah — terutamanya para wanita yang ingin menunda hubungan seksual sampai nanti di perkawinannya.


Harga hubungan seks hari ini "sangat rendah," kata Tuan Regnerus


Jadi seperti apa nilai "kurs" jaman kuno bagi hubungan seks dan bagaimana [nilai itu] sekarang menjadi berubah?


Para periset telah lama menyadari bahwa sistem berpasangan pria-wanita berkisar mengenai masalah pertukaran. Sejarahwan Evergreen State College Stephanie Coontz menulis di bukunya pada tahun 2005, "Perkawinan, sebuah Sejarah" bahwa, bahkan di jaman kuno, para pria dan wanita terikat satu sama lain karena yang satu bisa memasak, menjahit, mengurus rumah dan melahirkan anak, sementara yang satunya bisa memburu mangsa dan melindungi si wanita dan anak.


[Menurut Coontz] kurs nilai tukar biasanya berhubungan dengan uang atau barang, dalam bentuk mahar atau harga mempelai.


Sosiolog Linda Waite dan syndicated columnist Maggie Gallagher melihat pada unsur lain dari ilmu ekonomi hubungan seksual dalam buku mereka [yang terbit pada] tahun 2000, "[Alasan] bagi Pernikahan: Mengapa Orang-Orang yang Menikah Lebih Bahagia, Lebih Sehat dan Lebih Baik Secara Finansial."


Nona Waite dan Nona. Gallagher menuliskan bahwa orang-orang yang telah menikah, kalau dibandingkan dengan orang dewasa lain dalam siatuasi yang sama, menikmati pendapatan rumah tangga yang paling tinggi, pendapatan untuk pria yang paling tinggi dan nilai bersih pensiun yang paling tinggi.


[Lanjut mereka], yang termasuk dalam alasan-alasan bagi kemakmuran ini adalah sebuah "premi upah" yang nyata tapi tidak tertulis yang sering didapatkan dari para suami dan juga kemampuan mengagumkan para istri untuk menghemat dengan mencari dan membeli barang2 kebutuhan dengan haraga obralan/diskon.

Di suatu forum baru-baru ini di Heritage Foundation Tn. Regnerus menyampaikan bahwa Pil KB menulis balik aturan-aturan mengenai hubungan seks dan berpasangan. Sebelum adanya Pil KB, pasar seks punya kaitan yang kuat dengan "pasar perkawinan."

Tn. Regnerus mengungkapkan bahwa seorang pria yang mencari hubungan seks dengan seorang wanita tertentu harus memberi si wanita nilai yang sangat tinggi untuk penukarnya — yaitu pernikahan atau paling tidak sebuah lamaran. Menurutnya, sambil mengutip karya tulis berpengaruh dari sosiolog Florida State University Roy Baumeister dan psikolog Konsumen Kathleen Vohs, ini karena SEKSUALITAS WANITA ITU MEMILIKI NILAI YANG TINGGI bagi para pria.


Namun, pil KB memutuskan hubungan antara pasar seks dan pasar pernikahan. Sekarang baik pria atau wanita biasanya pertama-tama memasuki pasar seks TERLEBIH DAHULU [!!!].


Pasar seks pada umumnya mempunyai lebih banyak pria daripada wanita, dan di sini hukum penawaran dan permintaan berlaku. Jenis kelamin yang lebih langka [yaitu kaum perempuan] mempunyai kekuatan yang lebih besar. Ini menurut Tn. Regnerus.


Tn. Regnerus melanjutkan, katakanlah seorang pria muda ingin mengenal "secara lebih" [maksudnya, hubungan seks] terhadap sang pacar [yang dikencani] selama dua bulan. Bila si pacar berkata tidak, "maka ini mengindikasikan bagi si pria bahwa 'harga si dia ebih tinggi dari yang kamu pikir' Dan [si pria] harus mencari tahu seberapa tinggi harganya: "Apakah si cewek perlu waktu lebih lama, lebih MEMENTINGKAN komitmen?"


[Namun FAKTANYA] tidak semua pasar seks dipenuhi oleh pria, kata Tn. Regnerus. Kampus-kampus dan daerah-daerah perkotaan sering didominasi para wanita, dan ini artinya para pria dapat memutuskan dan akan memutuskan seberapa besar atau — seberapa kecil — yang mereka ingin mereka pertukarkan untuk mendapatkan sebuah hubungan seks.


Aturan perilaku pria dipengaruhi oleh keinginan mereka untuk sering berhubungan seks dengan banyak pasangan dalam suatu lingkungan yang sangat mengijinkan tindakan seksual. [Dan ini] tanpa adanya suatu komitmen [dari diri mereka], menurut Tn. Regnerus.


Pastinya, kebanyakan wanita muda "tidak keberatan dengan ilmu ekonomi hubungan seksual yang baru ini. Banyak dari mereka yang ingin menghabiskan lebih banyak waktu di pasar seks sebelum berpindah ke pasar pernikahan." kata Tn. Regnerus.


Namun MASALAHNYA, lanjutnya, adalah bahwa wanita bisa jadi "MEREMEHKAN RESIKO JANGKA PANJANG dari perilaku pasar seks."


Meskipun cukup banyak wanita yang mencoba-coba di pasar seks dan kemudian menikah dengan pasangan hidup dengan sukses, namun, ungkap Tn. Regnerus, KEBANYAKAN PEREMPUAN ternyata "tidak mendapati pernikahan mereka terjadi menurut jangka waktu yang mereka lebih suka dan seperti yang mereka harapkan."


Menurut Tn. Regnerus, ini karena, sebagaimana didapati oleh ahli ekonomi Timorhy Reickert, KEKUASAAN BERPINDAH DARI diri sang wanita ketika mereka menginjak usia 30-an. Dengan kata lain, para wanita mempunyai kekuasaan ketika mereka merupakan kelompok minoritas di pasar seks, namun mereka kehilangan kekuasaan mereka saat mereka berpindah ke pasar pernikahan di mana jumlah wanita melebihi pria.


"Salah satu alasan aku melakukan riset ini adalah untuk membantu orang-orang yang ingin menikah untuk TETAP mewujudkannya," kata Tn. Regnerus.


Ilmu ekonomi hubungan seks modern ini secara khusus memberi kerugian bagi para wanita yang ingin tetap perawan sampai hari perkawinannya, lanjut Tn. Regnerus. Para wanita ini [yakni bagi mereka yang ingin tetap perawan sampai hari pernikahan] tidak pernah memasuki pasar seks, namun "bertahan untuk mendapatkan harga paling tinggi bagi sebuah hubungan seks, yaitu pernikahan."


Pada jaman ini, tindakan tersebut merupakan STRATEGI BERESIKO TINGGI, Tn. Regnerus menjelaskan. Dengan menggunakan analogi pasar jual-beli rumah:

"Kamu tidak bisa begitu saja memutuskan bahwa rumahmu bernilai $500,000 kalau orang-orang lain bisa mendapat [rumah dengan hanya] $200,000. ... kamu bisa saja mencoba memasang harga senilai itu, tapi kecil kemungkinan kamu akan mendapatkannya."
Apa yang bisa dilakukan para wanita bila mereka tidak menyukai ekonomi hubungan seksual saat ini?


Prinsip fundamental ekonomi hubungan seksual adalah "aktivitas seksual oleh para wanita punya nilai, sementara aktivitas seksual pria tidak [punya nilai]," sebagaimana ditulis Tn. Baumeister dan Nn. Vohs di karya tulis mereka tahun 2004.Karenanya, para wanita mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi norma-norma seksual kalau mereka mau menggunakannya”, kata Tn. Regnerus.


"Ketika para wanita saling berkolusi untuk membatasi akses seksual para pria [kepada mereka], semua wanita cenderung diuntungkan," katanya. Tn Regnerus lebih lanjut mengingatkan bahwa "kalau para wanita lebih berkuasa mengenai bagaimana seharusnya hubungan romantik mereka [berlanjut] ... [maka] kita akan melihat LEBIH BANYAK UPAYA DAN USAHA yang dilakukan oleh lebih banyak pria dalam suatu hubungan:
"Rayuan yang lebih berkesan, lebih sedikit kencan yang diakhiri hubungan seks, lebih sedikit partner seksual... waktu kumpul-kebo yang lebih singkat, lebih banyak pernikahan ... dan lebih banyak pernikahan pada usia yang lebih muda. Dengan kata lain, harga untuk hubungan seks akan naik. Hubungan seks akan berharga lebih bagi para pria."

Namun, katanya, "hal-hal tersebut tidak terjadi saat ini. Tidak satupun. [Pada masa kini] harga hubungan seks sangat rendah."



====================

Komentar


Fratres,
Dengan tidak me-murah-kan diri mereka sendiri maka para perempuan sudah saling menjaga diri mereka masing-masing.


Karena dengan tidak berlaku murah maka pria, yang memang punya dorongan nafsu seksual lebih besar, akan lebih "menghargai" wanita dengan membayar kepada mereka dengan sebuah perkawinan yang sangat diperlukan bagi kestabilan sang perempuan itu sendiri dan anak-anaknya.


Yang terberkati +Fulton J. Sheen, mendiang Uskup Agung New York suatu kali pernah menulis:

“When a man loves a woman, he has to become worthy of her. The higher her virtue, the more noble her character, the more devoted she is to truth, justice, goodness, the more a man has to aspire to be worthy of her. The history of civilization could actually be written in terms of the level of its women.”


Terjemahan bebasnya kira2 mau berkata, bahwa:

"Ketika seorang pria mencintai seorang wanita, ia harus berusaha keras terlebih dahulu melayakkan dirinya kepada perempuan tersebut. Para perempuan yang dengan semakin memiliki nilai-nilai keutamaan-nya yang lebih tinggi, memiliki karakternya yang lebih mulia, menyerahkan dirinya pada kebenaran, keadilan, kebaikan, maka akan menjadi semakin keras upaya dan motivasi kaum pria melayakkan dirinya kepada perempuan itu. Sejarah peradaban di dunia ini sebenarnya dapat ditulis dari seberapa dalam tingkat PENCAPAIAN NILAI-NILAI KEBAJIKAN dari para kaum perempuannya."

+++

[+In Cruce Salus, Pada Salib Ada Keselamatan. Thomas A Kempis, 'De Imitatione Christi II, 2, 2]

*Credit to DeusVult, Evangelos.