Kamis, 29 Agustus 2013

Info Post
Indonesian Papist kali ini membagikan terjemahan tulisan Dietrich von Hildebrand dari bukunya berjudul “The Devastated Vineyard” bab 1 yang ia beri judul “Kelesuan Para Penjaga”. Bab ini berisi keprihatinan besar Hildebrand mengenai kondisi Gereja setelah Konsili Vatikan II dan kekurangan yang nyata dari kepemimpinan gerejawi para uskup yang memiliki kewajiban untuk mendukung dan membela iman yang benar. Indonesian Papist turut mengambil keprihatinan yang sama dengan menerjemahkan tulisan Hildebrand. Dietrich von Hildebrand adalah seorang awam, baru menjadi Katolik pada usia 25 tahun, penulis banyak buku mengenai filosofi dan kekristenan. Ia dijuluki “Doktor Gereja era modern” oleh Paus Ven. Pius XII dan disebut sebagai seorang filsuf utama abad ke-20 oleh Paus Benediktus XVI. Pemikiran Hildebrand memberikan pengaruh dari beberapa karya terbaik Konsili Vatikan II termasuk mengenai apresiasi yang mendalam akan misteri perkawinan dan seksualitas. Paus Beato Yohanes Paulus II juga adalah salah seorang yang dipengaruhi oleh pemikiran Hildebrand mengenai perkawinan dan seksualitas. Dietrich von Hildebrand memiliki seorang istri bernama Alice von Hildebrand yang juga adalah teolog, professor dan filsuf terkemuka. Dietrich von Hildebrand meninggal pada 26 Januari 1977. Berikut ini terjemahannya:

Dietrich dan Alice von Hildebrand
Salah satu dari penyakit yang paling mengerikan dan menyebar luas dalam Gereja saat ini adalah kelesuan para penjaga Iman Gereja (lethargy of the guardians of the Faith of the Church). Di sini saya sedang tidak berpikir tentang para uskup yang adalah anggota “kolom kelima” yang ingin menghancurkan Gereja dari dalam, atau mengubah Gereja menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Saya sedang berpikir mengenai lebih banyak para uskup yang tidak punya niat seperti itu (niat seperti itu = menghancurkan Gereja atau mengubah Gereja menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda), tapi tidak menggunakan apapun dari otoritas mereka ketika datang untuk melakukan intervensi melawan para imam atau teolog sesat (heretical theologians or priests) atau melawan penampilan-penampilan menghujat dalam ibadah publik (liturgi). Mereka juga menutup mata dan mencoba ostrich-style (gaya burung unta) untuk mengabaikan pelanggaran-pelanggaran pedih yang meminta kewajiban mereka untuk campur tangan; dan mereka takut diserang oleh pers atau media massa dan [takut] difitnah sebagai reaksioner, berpikiran sempit atau orang abad pertengahan. Mereka lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah. Kata-kata St. Yohanes Bosco diterapkan kepada mereka: “Kekuatan yang jahat dari manusia berada pada kepengecutan (cowardice) akan yang baik.”

Memang benar bahwa kelesuan mereka yang berada pada posisi berwenang (position of authority) adalah penyakit zaman kita yang menyebar luas di luar Gereja. Penyakit itu ditemukan di antara para orang tua, rektor-rektor perguruan tinggi dan universitas, kepala-kepala berbagai organisasi lainnya, para hakim, para kepala negara, dan lain-lain. Tetapi fakta bahwa penyakit ini bahkan telah masuk ke dalam Gereja adalah sebuah indikasi jelas bahwa perjuangan melawan semangat duniawi telah digantikan dengan berenang bersama semangat zaman dalam nama “aggiornamento”. Seseorang akan terpaksa untuk berpikir mengenai orang-orang upahan yang meninggalkan domba-dombanya kepada serigala-serigala ketika berefleksi mengenai kelesuan dari begitu banyak uskup dan superior yang, meskipun mereka sendiri masih ortodoks {1}, [tetapi] tidak memiliki keberanian untuk campur tangan melawan ajaran-ajaran sesat yang paling mencolok dan segala macam pelanggaran-pelanggaran dalam keuskupan mereka atau tarekat (ordo) mereka.

Tetapi hal yang terutama paling menyebalkan adalah ketika uskup-uskup tertentu, yang diri mereka sendiri menunjukkan kelesuan terhadap kaum sesat (bidat), [tetapi] mengambil sikap otoriter yang keras kepada kaum beriman yang berjuang untuk ortodoksi (kelurusan ajaran) dan mereka yang sedang melakukan apa yang seharusnya uskup-uskup itu sendiri lakukan. Saya pernah diizinkan membaca sebuah surat yang ditulis oleh seorang pria di posisi yang tinggi dalam Gereja, [surat itu] ditujukan kepada sebuah kelompok yang telah secara heroik berjuang untuk iman yang benar, iman yang murni, ajaran Gereja yang sejati dan Paus. Kelompok ini telah mengatasi “kepengecutan dari orang baik” (cowardice of good men) yang St. Yohanes Bosco katakan, dan dengan demikan seharusnya menjadi sukacita terbesar para uskup. [Tetapi] surat itu berkata: “Sebagai Katolik yang baik, kalian hanya perlu melakukan satu hal; cukuplah menjadi taat kepada semua ketetapan uskup kalian.”

Konsepsi mengenai Katolik “yang baik” secara khusus mengejutkan pada masa di mana kedatangan era orang-orang awam modern secara terus-menerus ditekankan. Tetapi [konsepsi Katolik “yang baik”] adalah sepenuhnya salah untuk alasan ini:  apa yang sesuai dengan masa di mana tidak ada ajaran-ajaran sesat terjadi dalam Gereja yang tidak secara langsung dikutuk oleh Roma, menjadi tidak sesuai dan tidak terjadi pada masa ketika ajaran-ajaran sesat yang belum dikutuk menjadi malapetaka dalam Gereja, bahkan menginfeksi beberapa uskup tertentu yang tetap berada pada jabatannya [sebagai uskup]. Sebagai contoh, haruskah kaum beriman pada masa ajaran sesat Arianisme - di mana mayoritas uskup adalah penganut Arianisme – membatasi diri mereka untuk menjadi baik dan taat kepada ketetapan-ketetapan para uskup [arian] ini ketimbang melawan ajaran sesat tersebut? Bukankah kesetiaan kepada ajaran Gereja yang benar diberikan prioritas di atas ketaatan kepada uskup? Bukankah justru berdasarkan kebajikan ketaatan mereka kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan yang mereka terima dari Magisterium Gereja sehingga kaum beriman memberikan perlawanan? Apakah kaum beriman tidak seharusnya khawatir ketika hal-hal yang diwartakan dari mimbar adalah sepenuhnya tidak sesuai dengan ajaran Gereja? Atau ketika teolog-teolog tetap sebagai guru yang mengklaim bahwa Gereja harus menerima pluralisme dalam filosofi dan teologi {2}, atau bahwa tidak ada kehidupan seseorang setelah kematian, atau mereka yang menolak percabulan sebagai sebuah dosa, atau bahkan menoleransi tampilan-tampilan immoralitas di publik, sehingga menyingkapkan kekurangpahaman yang menyedihkan akan dalamnya kebajikan Kristiani mengenai kemurnian.

Omong kosong dari para kaum sesat, baik para imam maupun awam, ditoleransi; [dengan demikian] para uskup dengan diam-diam menyetujui pemberian racun kepada kaum beriman. Tetapi para uskup ingin membungkam kaum beriman yang berjuang demi ortodoksi, orang-orang yang seharusnya dengan segala hak menjadi sukacita hati para uskup, penghiburan mereka, sumber kekuatan untuk mengatasi kelesuan mereka sendiri. Sebaliknya, orang-orang ini dianggap sebagai pengganggu perdamaian. Dan kemudian terjadi bahwa kaum beriman yang terbawa dalam semangat mereka dan mengekspresikan diri mereka sendiri bahkan ditangguhkan [oleh para uskupnya] dengan cara yang kurang bijaksana atau dibesar-besarkan. Hal ini dengan jelas menunjukkan kepengecutan yang tersembunyi di balik kegagalan para uskup untuk menggunakan otoritas mereka. Oleh karena mereka (para uskup) tidak memiliki apapun untuk ditakutkan dari orang-orang yang ortodoks; oleh karena orang-orang ortodoks tidak mengontrol media massa atau pers; maka orang-orang ortodoks ini bukan representasi opini publik. Dan karena ketaatan mereka kepada otoritas gerejawi, para pejuang untuk ortodoksi ini tidak akan pernah seagresif orang-orang yang disebut progresif. Oleh karena itulah, bila mereka (para pejuang ortodoksi ini) yang diperingatkan atau didisiplinkan, maka para uskup mereka tidak diserang oleh pers liberal dan difitnah sebagai reaksioner.

Kegagalan para uskup untuk menggunakan otoritas mereka yang diberikan Allah mungkin adalah, dalam konsekuensi praktis, kekacauan terburuk dalam Gereja saat ini. Karena kegagalan ini tidak hanya tidak menghentikan penyakit-penyakit spiritual, ajaran-ajaran sesat dan kehancuran kebun anggur Tuhan yang nyata dan berbahaya; kegagalan ini bahkan memberikan kendali kebebasan bagi kejahatan-kejahatan ini. Kegagalan menggunakan otoritas suci untuk melindungi iman yang kudus secara jelas membawa kepada disintegrasi Gereja.

Di sini, sebagaimana dengan kemunculan seluruh bahaya, kita harus berkata. “principiis obsta” (“hentikan kejahatan pada sumbernya”). Semakin lama seseorang membiarkan sebuah kejahatan berkembang, akan semakin sulit kejahatan itu dicabut lagi. Hal ini berlaku untuk membesarkan anak-anak, untuk kehidupan bernegara dan dalam sebuah cara yang spesial untuk kehidupan moral individu. Tapi adalah sungguh benar dalam cara yang sama sekali baru untuk intervensi dari otoritas gerejawi demi kebaikan umat beriman. Sebagaimana Plato katakan, “ketika kejahatan telah maju jauh, ... tidak pernah menyenangkan untuk menghilangkannya.”{3}

Tidak ada yang lebih salah daripada membayangkan bahwa banyak hal harus dibiarkan membabi buta dan melakukan yang paling buruk, dan bahwa seseorang harus menunggu dengan sabar sampai hal-hal itu mereda dengan sendirinya.  Teori ini terkadang mungkin benar berkaitan dengan pemuda yang sedang melalui masa pubertas, tetapi teori ini sepenuhnya salah dalam pertanyaan-pertanyaan mengenai bonum commune (kebaikan bersama). Teori palsu ini terutama berbahaya ketika diterapkan kepada bonum commune Gereja yang kudus, melibatkan hujatan-hujatan dalam ibadah umum (Liturgi) dan ajaran-ajaran sesat yang bila tidak dikutuk akan meracuni jiwa-jiwa yang tak terhitung jumlahnya. Di sini,  adalah keliru untuk menerapkan perumpamaan tentang gandum dan ilalang.

Catatan:

1. Istilah “ortodoks” berarti keyakinan pada ajaran resmi Gereja Katolik yang kudus yang menyatakan kebenaran yang otentik dan diwahyukan serta dijamin dan dibimbing oleh Roh Kudus. Ekspresi “ortodoks” tidak merujuk kepada keanggotaan dalam Gereja Ortodoks yang belum bersatu dengan Katolik.

2. Istilah “pluralisme” adalah paham bahwa seseorang dapat memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda terkait dengan kebenaran iman yang sudah didefinisikan dan dideklarasikan secara tak dapat salah atau bahwa setiap filosofi memiliki tempat dalam Gereja yang kudus – menjadi sebuah relativisme yang absolut. Tentu saja selama tidak ada pendefinisian dan pendeklarasian ajaran yang diberikan mengenai pertanyaan akan iman, pendapat berbeda boleh diajukan oleh umat yang ortodoks. Sebagai contoh, mengenai Dogma Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda, Santo Thomas Aquinas dan Beato Duns Scotus memiliki pandangan yang berbeda. Ini terjadi pada abad pertengahan. Tetapi setelah pendeklarasian dogma ini secara definitif pada tahun 1854, umat Katolik tidak lagi dapat memegang pandangan yang berbeda atau kontra dogma ini.

3. Plato, Laws, no. 660.

pax et bonum