Selasa, 01 Oktober 2013

Info Post


Sebuah hal menarik terjadi di Keuskupan Agung New York tahun lalu. Meski Keuskupan Agung New York memiliki lebih dari 400 paroki, tetapi hanya satu orang saja yang ditahbiskan menjadi imam pada tahun 2012 yaitu Pater Patric D’Arcy. Namun, sebagai satu-satunya yang ditahbiskan menjadi imam, Pater D’Arcy memilih merayakan Misa Kudus pertamanya dalam forma Misa Tridentin.

Pada bulan Juni tahun 2013, di Keuskupan Charleston (South Carolina), Renaurd West ditahbiskan menjadi imam. Sama seperti Pater D’Arcy, Pater West juga memilih merayakan Misa Tridentin sebagai Misa Kudus pertamanya.



Pada bulan yang sama tahun yang sama juga, Jason Christian ditahbiskan menjadi imam di Keuskupan Charlotte (North Carolina). Sama seperti imam-imam yang disebutkan sebelum, Pater Christian juga memilih merayakan Misa Tridentin sebagai Misa Kudus pertamanya.


Pater Jason Barone sedang merayakan Misa Tridentin (sumber: Catholic News Herald)
Tahun lalu di Keuskupan Charlotte juga, dari total 3 orang yang ditahbiskan menjadi imam, salah seorang dari mereka yaitu Pater Jason Barone merayakan Misa Kudus pertamanya dalam forma Misa Tridentin, sebuah Solemn High Mass.*



Dan terakhir, ada FSSP (Fraternitas Sacerdotalis Sancti Petri), Persaudaraan Imam-imam St. Petrus, sebuah komunitas imam Katolik yang hanya merayakan Misa Tridentin, tidak merayakan Misa Novus Ordo yang umum kita rayakan di Indonesia. Komunitas ini dibentuk pada tahun 1988 melalui Motu Proprio Ecclesia Dei yang dikeluarkan oleh Beato Yohanes Paulus II. Komunitas ini semakin berkembang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, lima orang ditahbiskan menjadi imam untuk wilayah Amerika Utara oleh Uskup Conley dari Keuskupan Lincoln (Nebraska). Dengan hampir 150 orang muda di Seminari-seminari di Amerika Serikat dan Eropa, FSSP dapat semakin kokoh dalam mempromosikan kembali Misa Tridentin lebih luas lagi.



Perkembangan Misa Tridentin di AS (sumber: Regina Magazine)
Terlihat jelas bahwa baik Motu Proprio Ecclesia Dei (1988) dan Motu Proprio Summorum Pontificum (2007) mengenai Misa Latin Tradisional (Misa Tridentin) menghasilkan banyak buah yang baik, panggilan-panggilan imam bagi Gereja. Sejalan dengan hal ini, terjadi peningkatan jumlah Perayaan Misa Latin Tradisional mingguan di Amerika Serikat. Bahkan sejak tahun 2007 saja, ketika Paus Benediktus XVI mengeluarkan Motu Proprio-nya, total Perayaan Misa Latin Tradisional mingguan bertambah hampir 2 kali lipat dari 225 Misa Tridentin tiap Hari Minggu ke angka lebih dari 400 Misa Tridentin tiap Hari Minggu.


Setelah Summorum Pontificum dikeluarkan, formasi (pembentukan) seminaris-seminaris muda memasukkan pelajaran bagaimana merayakan Misa Kudus baik dalam forma Misa Tridentin maupun forma Novus Ordo. Seperti yang kita lihat dari banyak imam yang baru saja ditahbiskan, formasi teologis dan liturgis mereka itulah yang mendorong mereka untuk merayakan Misa Kudus dalam forma Tridentin. Pater Jason Barone menjelaskan keputusannya untuk merayakan Misa Kudus pertama dalam forma Misa Tridentin. Kepada Catholic News Herald, Pater Barone menjelaskan bahwa dia ingin “bersyukur kepada Allah atas karunia panggilan yang luar biasa ini dan saya ingin bersyukur dalam cara yang paling agung dan indah yang saya bisa ... dalam cara Ia telah membimbing saya.” Setelah satu tahun menjalankan studi di Seminari St. Perawan Maria Guadalupe di Nebraska yang dikelola oleh FSSP, Pater Barone tertarik lebih dalam kepada Misa Tridentin karena Misa Kudus ini memberikan “penekanan yang lebih kuat atas kurban Kristus ... ada sesuatu di sana (Misa Tridentin) yang benar-benar menarik bagi hati untuk mempersembahkan kurban Allah.”



Sudah 6 tahun sejak Paus Benediktus XVI mengeluarkan Motu Proprio Summorum Pontificum dan masih sangat banyak keuskupan, terutama di Indonesia, masih belum mendorong umat untuk mengenal Misa Tridentin, masih belum mempromosikan Misa Tridentin lebih luas lagi, masih belum mengajarkan para seminaris dan imam untuk merayakan Misa Tridentin. Uskup Agung Alexander Sample dari Keuskupan Agung Portland dalam Sacra Liturgia 2013 memberikan pemaparan yang menarik. Uskup Agung Sample berkata bahwa Summorum Pontificum yang dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI untuk mendorong perayaan Misa Tridentin lebih umum dan luas adalah “salah satu hadiah terbesar yang dapat diberikan oleh Gereja dalam mendukung pembaharuan liturgi.” Beliau melanjutkan bahwa “Misa Tridentin adalah batu loncatan untuk bergerak maju dengan pembaharuan terhadap pembaharuan Liturgi. Mengizinkan penggunaan bentuk Tridentin lebih luas tidak hanya untuk mendamaikan individu-individu dan kelompok-kelompok yang tidak puas dengan pembaharuan Liturgi sekarang ini, tetapi juga mendamaikan seluruh Gereja dengan masa lalu Gereja. Saya hendak mendesak para uskup untuk membiasakan diri mereka sendiri dengan Misa Tridentin sebagai sarana untuk mendapatkan formasi liturgis mereka yang lebih dalam dan sebagai poin referensi yang dapat diandalkan untuk mewujudkan pembaharuan Liturgi di dalam Gereja lokal (keuskupan). Uskup juga seharusnya mendorong para seminarisnya untuk membiasakan diri mereka dengan Misa Tridentin.



Tentu kita umat Katolik di Indonesia berharap dan berdoa bahwa para uskup di Indonesia mendengarkan dan juga melaksanakan pesan dari sesama saudara uskup mereka, Uskup Agung Sample. Para uskup di Indonesia tidak dapat terus-terusan membiarkan pelanggaran Liturgi (seperti di Ekaristi Kaum Muda, Misa Komunitas Karismatik dll) dan inkulturasi kebablasan yang tidak sesuai amanat Konsili Vatikan II diberikan kepada umat dalam setiap Perayaan Liturgi. Para uskup di Indonesia perlu melihat kepada Misa Tridentin sebagai batu loncatan, salah satu kunci penting, dalam melaksanakan pembaharuan Liturgi yang otentik seturut amanat Konsili Vatikan II. Para imam pun hendaknya turut berperan melalui inisiatifnya sendiri untuk mengetahui, mengenal, mempelajari dan membiasakan dirinya sendiri dengan Misa Tridentin sehingga pada waktunya di mana mereka siap, mereka dapat mempersembahkan Misa Tridentin. Para uskup dan imam juga umat dipanggil untuk mencintai Misa Tridentin, harta kekayaan Gereja yang sangat besar.



Misa Tridentin bukan sekadar nostalgia masa lalu bagi orang-orang tua yang pernah merasakannya. Tidak sedikit orang muda Katolik ingin dapat merasakan dan ditarik lebih dalam kepada Misa Tridentin ini. Dan bagi Kardinal Ratzinger (Paus Emeritus Benediktus XVI), kehadiran Misa Tridentin merupakan benteng penghalang terhadap pelanggaran-pelanggaran Liturgi pada Misa Novus Ordo yang diakibatkan oleh kreativitas liar para uskup, imam dan umat. Mengapa? Karena dalam Perayaan Misa Tridentin ini, para tertahbis dan umat itulah yang harus menyesuaikan dirinya, mengarahkan hati dan kehendak bebasnya, menyangkal selera pribadinya di hadapan Allah. Hal yang berbeda dengan kebanyakan Misa Novus Ordo yang berisi pelanggaran Liturgi di mana justru Misa Kudus yang disesuaikan dengan selera, keinginan, perasaan, dan ego para tertahbis dan umat.





*. Jenis perayaan Misa Tridentin di mana imam menyanyikan sebagian besar doa-doa di dalam Misa. Dalam Solemn High Mass, Imam yang merayakan dibantu oleh seorang Diakon dan Sub-Diakon. Dupa juga digunakan di Solemn High Mass ini. Biasanya Solemn High Mass dirayakan pada Hari Raya Gereja seperti Natal dan Paskah, namun dapat juga untuk dirayakan pada Misa Minggu Biasa. Silahkan juga googling “Low Mass” dan “High Mass”.)



Sumber-sumber:

2. Uskup Agung Alexander King Sample - “The Bishop: governor, promoter and guardian of liturgical life of the diocese.”
pax et bonum