Senin, 17 Juni 2013

Info Post


Sekarang ini kita hidup dalam sebuah dunia yang dipenuhi banyak orang yang tidak percaya, dunia modern yang skeptis, yang meragukan segala-galanya. Kaum muda sekarang ini mempertanyakan iman, mempertanyakan prinsip-prinsip dan segala tabu yang dianut orangtuanya. Para mahasiswa mendiskusikan dan kadang-kadang menyangkal ajaran para professornya. Dunia kita semakin menjadi dunia yang menganut skeptisisme. 


Tetapi, bagaimanapun juga adalah baik untuk bersikap ragu. Ragu dalam bahasa Inggris berarti “doubt”. “Doubt” berasal dari kata Latin “duo”, yang artinya: dua. Ragu adalah suatu keadaan di mana budi kita mengambang antara dua pendapat yang saling bertentangan, dan budi kita tidak memilih salah satu di antara keduanya. Ragu adalah keadaan budi yang bimbang antara pendapat yang saling bertentangan, dan kita tidak sanggup mempercayai salah satu di antaranya sebagai hal yang benar. 


Bersikap ragu-ragu untuk sementara waktu sebenarnya bisa mejadi sangat berguna, kalau kita dengan hati yang jujur mau mencari kebenaran. Karena Columbus meragukan teori lama yang mengatakan bahwa dunia itu rata, akhirnya ia menemukan dunia baru, yakni Amerika. Karena ada keragu-raguan, akhirnya banyak prinsip pengetahuan yang baru akhirnya ditemukan. Karena ada keragu-raguan, kaum intellek tak henti-hentinya belajar dan belajar lagi. Karena meragukan keotentikan dan pondasi Gereja Protestan, akhirnya Kardinal Newman menjadi Katolik.  Dan karena Thomas meragukan kebangkitan Kristus, akhirnya ia mendapat keistimewaan untuk bisa menyentuh luka-luka Kristus yang kudus. 

Karena itu bersikap ragu-ragu sebenarnya adalah baik, sejauh kita dengan jujur dan dengan hati murni mencari terang. Tetapi tinggal selamanya dalam kegelapan adalah fatal dan akan membawa kita ke dalam malapetaka. Cara yang paling berhasil untuk menaklukkan seseorang ialah dengan menguasai budinya, dengan membuat dia selalu tinggal dalam keragu-raguan. Akan tetapi, cara yang terbaik untuk berjaya dan menang ialah dengan memiliki budi yang kritis, budi  yang haus mencari kebenaran. 

Kalau kita mau menerapkan prinsip keraguan tadi terhadap iman kristiani kita, akan sangat menolonglah sebenarnya bila kita meragukan iman kita, dengan maksud untuk lebih beriman atau sekurang-kurangnya menjadi beriman. Kadang-kadang dalam Sakramen Pengakuan Dosa ada orang mengatakan kepada saya: “Pastor, saya ragu-ragu apakah Allah itu sungguh ada” atau terkadang ada yang mengatakan: “Saya ragu apakah Gereja Katolik itu adalah Gereja yang benar.” Lalu saya berkata: “Bagus. Dan apa yang anda lakukan untuk menjernihkan keragu-raguanmu?” Dan biasanya jawaban adalah: “Tidak ada”. Keraguan seperti itu adalah salah, dan lebih buruk lagi bila akhirnya orang berkata: “Saya ragu, dan karena itu saya tidak percaya”. 

Bila kita dalam keadaan ragu, kita memang tidak mendapat kepastian untuk percaya atau tidak percaya. Maka hal pertama yang harus kita lakukan ialah mencari kebenaran. Kita harus belajar, melakukan penelitian, mengadakan survey, mencari tahu kebenaran  dari sumber-sumber yang utama dan asli. Dan kemudian, sesuai dengan apa yang kita temukan, membuat kesimpulan.

Seringkali kita adalah orang-orang yang percaya akan iman kita, tetapi pada saat yang bersamaan, kita adalah orang-orang yang tidak mengetahui iman kita dengan baik. Dan karena tidak mengetahuinya dengan baik, kadang-kadang kita  bersikap fanatik atau bertakhyul terhadap iman kita itu. Yang kita butuhkan adalah mempelajari iman kristiani kita secara mendalam. Kita harus mempelajari iman kita agar bisa menghidupinya dengan cara yang murni. Tidak apa-apa, kalau seandainya sikap ragu-ragu menjadi awal untuk itu. Sering terjadi, bahwa hanyalah bila kita meragukan sesuatu, kita lalu mencari kebenaran dengan tulus. Karena itu, tidaklah salah untuk ragu-ragu, sejauh hal itu tidak membuat kita lupa untuk keluar dari keragu-raguan itu dengan mencari dan mempelajari kebenaran dengan hati yang jujur.

Seringlah kita tidak menyukai Rasul Thomas karena sikapnya yang tidak percaya. Namun di pihak lain marilah kita meniru dan meneladan Thomas yang secara mendalam menyatakan imannya ketika ia berkata: “Ya Tuhanku dan Allahku”. Sejak pernyataan iman itu Thomas mengabdikan hidupnya untuk melayani Kristus, Tuhan dan Allahnya. Kita seharusnya belajar dari Rasul Thomas, menyatakan hal yang sama “Ya Tuhanku dan Allahku” dan mengabdikan hidup kita untuk melayani Kristus. ----

renungan oleh Pater Leo Sipahutar, OFM.Cap.
dipublikasi oleh Indonesian Papist
pax et bonum