Minggu, 30 Oktober 2011

Info Post

Oleh: Kevin Perrotta

Paulus menulis surat-suratnya dalam bahasa Yunani dan para ahli telah menerjemahkan kata-kata Paulus ke dalam beberapa versi bahasa Inggris dan bahasa lainnya. Menerjemahkan kata-kata Paulus hanya merupakan jenjang pertama dalam memahami kata-kata Paulus. Jenjang kedua adalah menerapkan nasihat-nasihat Paulus ke dalam kehidupan kita sekarang. Seharusnya setiap orang dari kita dapat melibatkan diri dalam jenjang kedua ini.

Surat kedua kepada Gereja di Korintus menyajikan satu hal penting, yaitu kerasulan. Dalam 2 Korintus, Paulus sangat prihatin tentang hal ini. Paruh pertama dari suratnya (2:14 – 7:4) dipenuhi dengan penjelasan tentang pelayanan seorang rasul. Bab-bab terakhir (bab 10-12) merupakan serangan balik terhadap orang-orang yang menyangkalnya sebagai seorang rasul.

Secara sederhana, kita sekarang tidak mempunyai rasul-rasul, tetapi kita mempunyai uskup-uskup yang mewarisi kedudukan pastoral rasul-rasul itu melalui Suksesi Apostolik. Pada zaman ini sudah tidak ditemukan lagi misionaris-misionaris yang berkelana dari satu kota ke kota lain di mana umat Kristen setempat harus membedakan mana misionaris yang dapat mereka terima dan mana yang harus mereka tolak. Bagi saya sekarang, seorang imam yang telah ditahbiskan secara sah dan berkarya di bawah wewenang seorang uskup setempat telah menjawab pertanyaan-pertanyaan umat Korintus yang kala itu harus membedakan mana pemimpin-pemimpin yang benar dan mana yang tidak benar.

Di samping itu, kita tidak perlu diyakinkan lagi bahwa Paulus adalah rasul. Tetapi apakah Paulus seorang rasul atau tidak merupakan persoalan yang hangat di Korintus pada tahun 56. Lalu apa gunanya bagi kita membaca petunjuk-petunjuk Paulus dalam membedakan rasul yang benar atau tidak dan yang membela bahwa ia adalah seorang rasul?

Salah satu jawaban adalah keyakinan Paulus bahwa seorang rasul sejati membawa kematian dan hidup Yesus dalam dirinya. Para Rasul tidak hanya mewartakan Injil yang otentik tentang kematian dan kebangkitan Yesus. Mereka juga mengambil bagian dalam kematian Yesus dan menghayati hidup-Nya sedemikian rupa sehingga jika kita berhadapan dengan mereka, kita seakan-akan berhadapan dengan-Nya (lihat 2 Kor 14-16; 4-6,10,11). Itulah sebabnya Paulus mendesak mereka untuk meneladan diri-Nya (1 Kor 11:1). Paulus menjadi semacam cermin, umat Korintus dapat melihat Yesus dengan mata mereka, tetapi hanya melihat Yesus yang dicerminkan dalam diri Paulus.

Dalam pandangan Paulus, sangatlah penting bagi seorang rasul untuk mengambil bagian dalam kematian dan kebangkita Yesus, dan iniah yang merupakan kesulitan utama dengan orang-orang tertentu yang ingin menjadi misionaris karena mereka tidak memahami hal ini. “Rasul-rasul super” yang dicela Paulus dalam 2 Korintus 11:5 kelihatannya tidak menyelewengkan ajaran-ajaran Kristus. Paling tidak Paulus tidak menuduh mereka demikian dan celaan Paulus terhadap mereka tidak mengandung pembetulan doktrin-doktrin yang diajarkan. Paulus justru menekankan kelemahan-kelemahan dan penderitaan-penderitaannya dalam menjadi pelayan Kristus (2 Kor 11:16-33) yang berlawanan dengan sikap mereka yang tidak mengabarkan sikap Yesus yang melayani dengan lemah-lembut dan rendah hati.

Penghayatan Rasul Paulus akan wafat dan kebangkitan Yesus sangat berarti bagi kita karena kita juga dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam wafat dan kebangkitan Yesus. Yesus bersabda kepada semua orang yang percaya: “Mari, ikutlah Aku.” Injil-injil merupakan sumber utama kita dalam melakukan semua hal ini karena dalam Injil-injil itu kita melihat Yesus. Tetapi kita juga harus melihat bagaimana caranya mengikuti Dia, dan itu dapat kita ketahui dengan melihat orang-orang yang telah mengikuti-Nya. Kita mendapatkan gambaran tentang mengambil bagian dalam wafat dan kebangkitan Yesus dengan melihat kehidupan orang-orang yang telah melakukannya. Dan Para Rasul merupakan teladan-teladan pertama.

Jika kita membaca kata-kata Paulus tentang kerasulan dengan pandangan yang ditujukan pada apa yang diajarkannya kepada kita mengenai persatuan dengan Yesus, mungkin kita akan terkejut melihat beberapa fakta; misalnya tentang apa yang disebut oleh Paulus sebagai kuasa.

Kelihatannya masuk akal jika seorang pengikut Yesus, Sang Pembuat Mukjizat, juga mengalami kuasa yang luar biasa. Sekiranya demikianlah pendapat umat Korintus – itulah yang menjadi alasan mengapa mereka meragukan Paulus sebagai rasul yang otentik dan mengapa mereka tertarik pada misionaris-misionaris lain, yang memamerkan mukjizar-mukjizat dan pernyataan-pernyataan Allah yang diberikan kepada mereka. Sedangkan Paulus kelihatannya hanya mempunyai sedikit pewahyuan dan karunia-karunia roh.

Cara Paulus menangani persoalan-persoalan ini sangat baik. Jelas bahwa ia pun melakukan mukjizat-mukjizat dan menerima pernyataan-pernyataan Allah, tetapi ia cenderung tidak mengembar-gemborkannya. Tetapi ia mengatakan bahwa ia dapat berkata-kata dengan bahasa roh melebihi orang lain (1 Kor 14:18). Secara samar-samar ia menyebut mujizat-mujizat yang pernah terjadi dalam pelayanannya ( 2 Kor 12:12 ). Tetapi kelihatannya ketika ia mewartakan Injil di Korintus, ia tidak pernah menyebut satupun dari pengalaman spiritualnya itu (2 Kor 12:2-7).

Paulus menganggap perhatian umat Korintus terhadap hal-hal seperti itu keliru. Dalam pandangannya, kuasa Yesus yang telah bangkit bekerja dengan sangat kuat dalam diri kita bukan pada saat kita mengalami karunia-karunia roh yang luar biasa, melainkan bila kita sebagai pengikut Yesus sampai pada batas kemampuan kita dan merasakan kerapuhan dan kemiskinan dan penderitaan (2 Kor 1:9 ; 4:7-11). Di situlah kematian Yesus menjadi paling nyata bagi kita, demikian pula kuasa kebangkitan-Nya paling terlihat (2 Kor 12:9-10).

Ini adalah pesan yang keras. Seperti umat Korintus, kita mungkin lebih menyukai jika persatuan dengan Yesus mengangkat kita, paling tidak di atas tingkatan kelemahan kita. Tetapi gambaran Paulus tentang hidup Kristiani juga sangat menghibur. Kita mempunyai jaminan bahwa kelemahan-kelemahan kita yang banyak itu bukan hambatan bagi karya Allah. Paulus dengan tegas mengatakan bahwa jika kita bersatu dengan Yesus maka kelemahan-kelemahan kita menjadi alat yang paling berdaya guna di tangan Allah. Jadi kita mempunyai cita-cita yang tidak terlalu tinggi untuk dicapai. Kita tidak perlu mempunyai karunia-karunia roh yang luar biasa. Kita tidak memerlukan kemampuan-kemampuan yang luar biasa ataupun kepribadian yang mengesankan (Paulus rupanya seorang tokoh yang kurang mengesankan daripada lawan-lawannya yang mempunyai keyakinan diri yang besar). Pada intinya, persatuan dengan Yesus berarti mencintai dan dengan rahmat Allah hal itu dapat dilakukan oleh kita semua.

Pasti dalam kelemahan-kelemahan para rasul itu, kita dapat menemukan banyak hal yang dapat diterjemahkan ke dalam kehidupan kita, di saat ini dan di tempat lain. Bila kita membaca kata-kata Paulus tentang kerasulan yang penuh perhatian, pasti kita dapat menemukan pokok-pokok lain untuk diterjemahkan. Marilah kita menanggapi kata-katanya supaya apa yang benar bagi Para Rasul juga menjadi benar bagi kita sehingga dalam diri kita orang juga dapat melihat gambaran Yesus.

Sumber: Sabda Allah bagi Anda - Oktober 1996

Penulis: Kevin Perrotta adalah seorang jurnalis Katolik dan sekarang adalah mantan editor dari God’s Word Today. Ia adalah penulis buku Six Weeks with the Bible, Invitation to Scripture, dan  Your One-Stop Guide to the Bible. Kevin Perrotta tinggal di Ann Arbor, Michigan.