Sabtu, 30 November 2013

Info Post

Lanjutan dari bagian pertama. Anda juga dapat men-download seluruh artikel ini di Google Drive atau Dropbox.

Ekspresi-ekspresi Narsisme Klerikal Katolik

Lasch, Vitz, dan Bellah tidak pernah menyentuh Gereja Katolik dalam karya-karya yang dikutip di atas, tetapi poin-poin mereka diterapkan pada situasi Gereja di Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir. Dengan mengesampingkan isu-isu teologis penting yang mendasar, kita bisa melihat motif psikologis yang begitu mengakar di balik imam-imam Amerika yang “mengindividualkan” Misa-misa Kudus yang mereka rayakan, menempatkan “stempel pribadi” mereka pada Liturgi. Imam-imam ini bermain cepat dan longgar dengan rubrik-rubrik Misa, mengubah Kata Pengantar yang singkat setelah Salam Pembuka – sebagaimana yang ditetapkan oleh Pedoman Umum Misale Romawi – menjadi homili yang lain. Beberapa imam bahkan mengindividualkan doa konsekrasi dan dalam berbagai cara lainnya berusaha untuk menyesuaikan Liturgi Ilahi yang suci dengan selera dan pandangan mereka sendiri.

Seorang Imam menggunakan pistol air untuk memerciki anak-anak.
Banyak perubahan ini telah lama diatributkan kepada “Semangat Vatikan II”. Tetapi – poin kami – faktanya adalah bahwa semangat narsistik dan sekuler masa kini berada di balik kekacauan-kekacauan liturgis ini. Semangat sekuler ini, sebagaimana digambarkan oleh Lasch, adalah pemanjaan diri (self-indulgent) dan mengutamakan diri (self-aggrandizing) secara eksplisit. Dasar pemikiran dari orang-orang yang “mempersonalisasikan” Liturgi adalah jelas menolak sejarah dan tradisi Gereja – seperti masyarakat secara umum telah menolak masa lampaunya. Hal ini dengan mudah dilihat pada pengabaian yang sering terjadi bahkan peremehan secara eksplisit terhadap tradisi liturgis Gereja oleh mereka yang seharusnya paling setia kepada Gereja – para imam.

Pelanggaran-pelanggaran Liturgi ini juga mencerminkan keterputusan yang nyata dengan masa depan Kristiani. Masa depan adalah fokus utama dari Liturgi bila dipahami dengan benar. Liturgi mencerminkan kerinduan bertemu Allah yang kita harapkan dapat terwujud pada saat kematian kita. Tetapi mungkin bahkan lebih penting lagi adalah Misa memperingatkan kita tentang Penghakiman Terakhir yang akan dialami oleh seluruh umat manusia. Pada intinya, Liturgi Suci adalah ekspresi dari harapan akan masa depan dan manifestasi duniawi dari tujuan utama kita – surga. Misa Kudus membawa kita keluar dari masa kini (the present) dan memberikan kepada kita kesadaran akan tradisi-tradisi panjang Gereja yang mendahului kita. Sayangnya, umat pada kebanyakan liturgi masa sekarang meninggalkan Misa Kudus dengan sedikit kesadaran akan makna liturgi baik bagi masa lampau Gereja dan masa depan abadi umat. Misa Kudus sekarang menjadi sekadar pengalaman emosional sementara dan dengan mudah dilupakan.

Fokus umum zaman sekarang pada “menjadi relevan” adalah artikulasi langsung dari membuat fokus Misa pada “sekarang / now” dengan pengabaian serius terhadap dari mana Misa Kudus berasal dan ke mana Misa Kudus membawa kita. Untuk “menjadi” relevan” berarti terlibat pada masa sekarang, umumnya dengan mengorbankan masa lampau maupun masa depan. Faktanya, banyak inovator akan berargumen bahwa sebuah “liturgi yang relevan” adalah liturgi yang berbicara kepada orang-orang “sekarang / now” daripada liturgi yang menjadi sebuah point rujukan yang tetap di tengah dunia yang berubah dan membingungkan. “Sekarang / now” juga adalah ekspresi dari keasyikan narsistik. Memang, sulit untuk menguraikan hubungan antara narsisme dan “liturgi yang relevan”: berfokus pada “sekarang” melahirkan narsisme, dan narsisme menciptakan keasyikan terhadap “relevan” dan “sekarang”. Kita beralih sekarang kepada beberapa contoh dari tesis kami.

Pada tahun 1990, Thomas Day, dalam Why Catholic Can’t Sing, memberikan beberapa contoh jelas dari fenomena narsistik dalam Liturgi Katolik – sebuah fenomena yang ia sebut “Pembaharuan Ego”.

“Hari ini adalah Kamis Putih dan kami berada pada Misa malam yang agung di sebuah paroki di mid-western. Momen tiba kepada imam selebran Misa, Sang Pastor, untuk membasuh kaki dari 12 orang umat, sama seperti Kristus membasuh kaki Para Rasul pada Perjamuan Terakhir. Selama upacara yang mengharukan ini, paduan suara menyanyikan motet dan bergantian dengan umat yang menyanyikan himne. Akhirnya, bagian dari Liturgi ini tidak lama lagi berakhir ketika imam membasuh kaki terakhir. Musik berakhir, anda hampir dapat merasakan bahwa umat ingin menangis karena sukacita. Lalu, Romo Hank (demikian imam tersebut ingin dipanggil) berjalan menuju mikrofon, tersenyum dan berkata, “Wah, itu sangat bagus! Mari berikan tepuk tangan untuk 12 umat ini.”

Umat tertegun dan agak enggan memberikan applaus dengan pelan. Romo Hank melanjutkan aksinya ... Satu demi satu, Romo Hank turun ke baris 12 umat tadi; setiap orang mendapatkan komentar singkat dan applaus. Dengan tindakan keluar jalur tersebut, Romo Hank terlihat puas dengan dirinya sendiri, melanjutkan liturgi. Sementara itu, umat terlihat jengkel, merenungkan berbagai cara menahan diri.

Ini adalah sebuah contoh narsistik “mempersonalisasikan” Liturgi dan Thomas Day menunjukkan bahwa kelucuan Romo Hank - jauh dari sikap tidak mementingkan diri sendiri - secara fundamental dimaksudkan untuk menarik perhatian kepada dirinya sendiri. Setiap psikolog akan menyadari ketidaknyamanan yang mendasari Romo Hank dan kebutuhannya akan penegasan pribadi (personal affirmation) dan kita dapat melihat psikologi yang sama ini dalam skala yang lebih kecil ketika imam yang merayakan Misa meninggalkan panti imam untuk berjabat tangan dengan umat selama Salam Damai, atau mengangguk dan senang-tangan (glad-hands) menerobos umat selama masa hening layaknya dia seorang politisi lokal yang berjalan ke kantornya. Thomas Day menampilkan kesadaran narsisme yang akut yang mendasari banyak permasalahan liturgis, dan seperti yang dicatat, dengan tepat menyebutnya sebagai “Pembaharuan Ego”. Hal yang serupa, contohnya nyata dari mempersonalisasikan Liturgi dengan cara yang akan mengurangi makna spiritualitas yang terjadi pada Misa besar, dihadiri oleh penulis junior artikel ini (Diakon Daniel C. Vitz, IVE), yang mana selebran utama Misa Kudus memperkenalkan setiap pribadi dari 20 orang lebih konselebran pada pembukaan Misa Kudus, mengajak umat bertepuk tangan untuk setiap konselebran saat konselebran tersebut diperkenalkan.

Dengan pengecualian-pengecualian yang jarang, memasukkan applaus (tepuk tangan) ke dalam Misa Kudus adalah gambaran dari kebutuhan ego seorang atau banyak imam yang memodelkan Misa dalam pertunjukan bisnis atau dalam pertunjukan (demonstrasi) dukungan emosional yang mengorbankan Kristus dan sikap penghormatan yang pantas.

Jangan pembaca berpikir bahwa contoh yang dikutip berasal dari 1980an atau 1990an; di sini adalah sebuah contoh tahun 2006 dari keuskupan yang cukup besar yang diberitakan pada bulan Januari 2007 di First Things. Sebuah “Misa Halloween” di sebuah paroki yang tidak akan kami sebutkan namanya “menampilkan musisi berpenampilan setan dan orang-orang dalam kostum setan membagikan Ekaristi. Saya berhenti menyaksikan video Misa Kudus yang tersebar luas ini pada sebuah titik ketika pastor mendaraskan Doa Bapa Kami dengan kata-kata “As goblins and ghouls, ...” (keduanya adalah karakter setan). Dan saya melewatkan bagian di mana, sesuai yang diberitakan, pastor tersebut menampilkan dirinya sebagai dinosaurus ungu Barney saat menutup perayaan Misa.”

Poin-poin narsistik yang jelas adalah bahwa Misa Kudus ini divideokan untuk disebarluaskan dan pastor tersebut muncul dengan kostum dinosaurus yang sangat disukai oleh media. Tentu saja ada juga sebuah tema yang lebih jahat dalam “penampilan” ini – orang dapat menunjukkan hubungan antara narsisme dan bidaah (yaitu menggabungkan Misa Kudus dengan budaya Halloween yang menyesatkan).

Sebagian besar perubahan dan penambahan ke dalam Misa Kudus tidaklah panjang lebar atau jelas bagi umat yang duduk di bangku seperti contoh-contoh di atas. Namun demikian, perubahan dan penambahan tersebut dapat mengganggu dan sama-sama tidak sehat secara teologis. Pada satu kesempatan penulis junior (Diakon Daniel C. Vitz, IVE) mendengar bahwa kata-kata konsekrasi telah diubah oleh imam selama Misa harian di sebuah katedral utama. Setelah Misa Kudus, ia datang kepada imam itu dan dengan sopan bertanya tentang perubahan-perubahan tersebut dan imam itu memberitahu ia bahwa hal itu semua adalah “hanya hal kecil yang selalu saya lakukan.”

Contoh lain terjadi ketika imam yang sama itu memodifikasi kata-kata Misa Kudus sehingga umat kehilangan bagiannya dan tidak menyadari isyarat untuk mengatakan tanggapan yang sesuai. Contoh yang lain lagi dalam Misa Kudus melibatkan seorang imam yang menghafal Injil setiap minggu dan kemudian menyampaikan Injil yang ada di ingatannya ketimbang membaca Injil langsung. Kebaruan ini tentu saja menarik perhatian kepada imam dan banyak orang kehilangan pesan Injil dengan berkonsentrasi pada penampilan sang imam. Demikian juga, seorang imam dilaporkan kepada kami memantomimkan (kata dasar pantomim) homili dan sekali lagi menarik perhatian yang tidak seharusnya kepada dia dan penampilannya. Meneladani pengabaian diri dan kerendahan hati dari pribadi Kristus adalah penawar untuk kecenderungan-kecenderungan buruk ini.

Kaum awam juga direkrut untuk narsisme pada masa sekarang. Misa Kudus disajikan sebagai perayaan kaum beriman yang berkumpul ketimbang perayaan kehadiran Kristus dalam Ekaristi (Kurban Kudus Misa). Hal ini adalah bagian dari motivasi di balik keinginan kaum awam mendapat applaus atau pujian. Mungkin contoh narsisme yang paling jelas saat kaum awam mendukung perayaan Misa Kudus terjadi di ranah “pelayanan musik”. Thomas Day memberi fokus utama pada aspek ini dalam bukunya Why Catholics Can’t Sing; salah satu aspek penting dari fenomena ini adalah memindahkan koor dari loteng koor (lantai atas khusus koor yang biasanya terdapat di bagian belakang gedung Gereja) ke daerah panti imam atau bagian depan di mana mereka dapat “menampilkan / perform” dengan lebih baik kepada umat sehingga dapat dilihat dan diberi applaus. Memang, ada pandangan yang berkembang bahwa musik dalam Misa Kudus lebih merupakan sebuah penampilan / performance daripada hal yang lain.

Salah satu hasil yang tak terduga dari tindakan imam menyesuaikan Liturgi – mengubah Liturgi seturut otoritas mereka sendiri untuk disesuaikan dengan kegemaran khusus mereka – adalah bahwa kaum awam kadang-kadang atau malah sering ikut-ikutan menyesuaikan Liturgi. Mentalitas konsumer Amerika “have it your way” tersedia bagi kaum awam, bukan hanya bagi para imam. Bila setiap imam menjadi seperti Paus yang dapat menyesuaikan Liturgi, mengapa tidak setiap kaum awam menjadi seperti paus juga? Ketika imam berkata, “Tuhan sertamu.”, apa yang akan menghentikan umat di bangku berkata, “Saya tahu itu, Amin”? Kaum awam memiliki kebutuhan narsistik mereka yang dapat dengan mudah ditunjukkan sendiri dengan cara yang mengganggu dalam Misa Kudus. Beberapa narsisme kaum awam sudah muncul dalam cara mereka sering bersikeras mengendalikan Misa dan doa-doa saat pernikahan atau pemakaman (seperti meminta atau memaksa koor harus menyanyikan lagu pop dan non-liturgis dalam Misa pernikahannya). Pelayanan pernikahan dan pemakaman ini semakin disesuaikan/dikustomisasi oleh desakan kaum awam.

Penting bagi para imam untuk mengingat bahwa banyak umat Katolik datang ke Misa Kudus untuk bertemu Yesus Kristus, dan bukan datang untuk berkontak dengan psikologi khusus selebran Misa. Umat datang ke Misa Kudus untuk sesuatu yang tidak hadir (not present) dalam budaya populer – yaitu citarasa akan kesakralan dan pengakuan tentang perlunya kerendahan hati. Kita datang ke Misa Kudus ingin ditarik lebih dalam dan lebih dekat kepada Kristus dan surga.

Mengingat kecenderungan “pembaharuan ego”, pemanjaan diri dan pengutamaan diri, para imam dan seminaris harus dibuat sadar akan bahaya memasukkan personalitas/kepribadian seseorang ke dalam Liturgi. Kecenderungan ke arah narsisme perlu diatasi terutama dalam konteks Misa Kudus yang dirayakan versus populum – menghadap umat. Terlepas dari pandangan terkait kelebihan masing-masing dari perayaan Misa Kudus secara ad deum (mengarah kepada Allah) atau secara versus populum (menghadap umat), ada sedikit pertanyaan bahwa godaan untuk menampilkan diri jauh lebih besar ketika selebran Misa menghadap umat. Kardinal Arinze, dulunya Prefek Kongregasi Peribadatan Ilahi dan Disiplin Sakramen berkomentar tentang isu ini, “Bila imam tidak sungguh disiplin, ia akan segera menjadi seorang penampil/performer. Dia mungkin tidak menyadari hal itu, tapi dia akan memproyeksikan dirinya sendiri daripada memproyeksikan Kristus.”

Karena kebutuhan narsistik banyak imam berada di balik perubahan-perubahan aneh dan individual dalam Liturgi, sekarang saatnya faktor-faktor non-teologis dan dianggap tidak menarik ini diakui secara luas di seminari-seminari Katolik dan di komunitas Katolik pada umumnya. Kami akan memberikan kata-kata penutup dari Kardinal Arinze tentang masalah ini. Beliau berkata bahwa Liturgi “bukanlah milik seorang individu, oleh karena itu individu tersebut tidak boleh bermain-main dengan hal itu.”


Professor Paul C. Vitz menerima gelar Ph.D. dalam psikologi dari Universitas Stanford (1962) dan telah bertahun-tahun menjadi professor psikologi di Universitas New York di mana Beliau sekarang ada professor emeritus (pensiun). Sekarang, Beliau adalah Professor/Cendikiawan Besar di Institute for the Psychological Sciences di Arlington. Institusi ini menawarkan program yang memberikan gelar Doktor Psikologi di psikologi klinis. Program ini melatih psikolog-psikolog dalam perspektif Katolik. Dia dan istrinya tinggal di Manhattan, memiliki 6 orang anak.

Diakon Daniel C. Vitz, IVE adalah seorang seminaris sebuah tarekat baru IVE (Instituto del Verbo Encarnado) yang sedang studi imamat di seminari Amerika di Maryland. Beliau asli dari New York, mantan perwira angkatan laut dan putra tertua dari pasangan Paul dan Evelyn Vitz. Beliau ditahbiskan menjadi diakon pada 31 Mei 2013 oleh Kardinal Theodore McCarrick.

Terjemahan bebas dari:

Diterjemahkan oleh:
pax et bonum