Langsung ke konten utama

Respon Indonesian Papist Terhadap Peristiwa Berubahnya Hosti menjadi Darah di Yogyakarta


Ekaristi (sumber gambar: olivyaz.blogspot.com)

Belakangan ini, dunia per-facebook-an diramaikan oleh berita berubahnya Roti yang sudah dikonsekrasi menjadi Darah di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Yogyakarta. Salah satu beritanya dapat ditemukan di sini: Sesawi.Net.

Sebagai seorang Katolik, bagaimana Indonesian Papist menyikapi hal ini? Yang pasti saya tidak akan terikut arus euforia yang ada sekarang dengan menggembar-gemborkan ke sana sini atau menanggapi berita ini secara berlebihan. Tidaklah salah untuk menceritakan kepada orang sekadar sebagai informasi adanya kejadian seperti ini terlepas diakui atau tidak peristiwa ini sebagai mujizat oleh Gereja tetapi euforia terhadap suatu peristiwa yang diduga mujizat bukanlah sikap yang tepat. Bagaimana seandainya Gereja menemukan cacat pada peristiwa ini di kemudian waktu sehingga akhirnya peristiwa ini tidak diakui sebagai mujizat? Bukankah akan memalukan diri kita sendiri ketika kita saking senangnya akan hal ini lalu menggembar-gemborkan ke sana ke mari dengan berkata “ini mujizat” dan ternyata di kemudian waktu peristiwa ini tidak diakui oleh Gereja sebagai mujizat? Ingat, St. Paulus pernah mengingatkan kita bahwa iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat terang dan membuat mujizat.


Melihat informasi yang ada sekarang per tanggal 18 April 2012, peristiwa ini masih dalam proses penyelidikan gerejawi dan sekarang sikap yang harusnya kita ambil adalah MENUNGGU dan BERHARAP. Menunggu keputusan final Gereja sembari berharap peristiwa ini benar-benar mujizat yang diakui oleh Gereja. Inilah sikap yang saya pikir tepat untuk menanggapi peristiwa ini. Tentu saya berharap peristiwa ini benar-benar mujizat karena akan ada banyak efek positif yang bisa didapat dari hal ini. Bagi mereka yang sudah memiliki tradisi menerima Komuni di lidah sambil berlutut, maka peristiwa ini adalah peneguhan bagi mereka supaya mereka tetap melanjutkan tradisi universal ini. Bagi mereka yang awalnya menganggap Ekaristi hanyalah lambang, sekarang mengoreksi pandangan mereka dan meyakini bahwa Ekaristi adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Itulah efek positif yang saya pikir bisa didapatkan dari peristiwa ini.

Dalam sebuah kisah mengenai St. Louis IX (saya lupa linknya di mana ^_^ ), disebutkan bahwa St. Louis IX, Raja Prancis, ketika berada di ruang kerjanya menerima kabar dari pelayannya bahwa Kanak-kanak Yesus menampakkan diri dalam Hosti di altar saat pentahtaan Sakramen Ekaristi. Bagaimana respon St. Louis IX? Dia berkata kira-kira seperti ini “Keyakinanku akan kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi tidak akan menjadi lebih bertambah seandainya aku melihat suatu mujizat Ekaristi. Mujizat itu tidak diperlukan lagi oleh mereka yang sudah percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi.” St. Louis IX pun akhirnya tetap melanjutkan kegiatannya pada saat itu. Demikian pula Indonesian Papist. Studi Katolisisme yang saya lakukan selama hidup saya membuat saya sudah sangat yakin bahwa kehadiran Yesus Kristus dalam rupa Roti dan Anggur pada Ekaristi adalah sebuah kebenaran yang absolut, tidak dapat ditolak lagi. Bagi saya, setiap kali Imam mengkonsekrasikan roti altar dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi, pada saat itulah mujizat-mujizat Ekaristi yang tak kelihatan terjadi. Dan saya berpikir lagi, setiap hari (atau malah setiap jam) mujizat-mujizat tak kelihatan ini terjadi terus-menerus pada Misa Harian dan Misa hari Minggu di seluruh dunia. Jadi, peristiwa ini entah diakui benar atau tidak oleh Gereja tidak akan mempengaruhi keyakinan saya akan kehadiran nyata Kristus dalam Sakramen Ekaristi.

Peristiwa ini, terlepas kelak benar atau tidaknya menurut Gereja, hendaklah membantu kita untuk merenungkan dan menyadari sikap kita dalam Perayaan Ekaristi.
1. Apakah kita selama ini menyadari dan percaya bahwa yang setiap hari Minggu kita sambut dalam perayaan Ekaristi adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Tuhan kita Yesus Kristus? Atau kita masih menganggap sekadar lambang saja?
2. Apakah kita sudah mempersiapkan jiwa dan raga kita semaksimal mungkin untuk menyambut Dia yang hadir dalam Ekaristi? Atau kita hanya sekadar mempersiapkan seadanya?
3. Apakah kita, dalam menyambut Tubuh dan Darah Kristus pada saat Perayaan Ekaristi, menggunakan pakaian yang sopan dan pantas? Atau kita masih memilih secara asal-asalan pakaian yang hendak digunakan dalam menyambut-Nya, Sang Raja kita?
4. Dalam 1 Korintus 11:27, Paulus mengajarkan, “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.” Apakah kita telah memeriksa batin, merenung dan menyadari apakah kita sedang berada dalam keadaan berdosa berat atau tidak? Sebab, jikalau kita berada dalam berdosa berat, kita tidak boleh dan tidak layak menyambut Tubuh dan Darah-Nya. [7]
5. Apakah kita mengikuti Perayaan Ekaristi dengan khusuk dan fokus? Atau, karena merasa bosan,  kita memilih untuk bermain handphone, facebook-an, sms-an, berbicara dengan teman di sebelah, lirik-lirik tidak jelas dan sebagainya?
6. Apakah kita mengucapkan teks-teks dalam Perayaan Ekaristi dengan penuh penghayatan dan tenang? Atau kita sekadar mengucapkannya secara asal-asalan?
7. Apakah kita menghadiri Perayaan Ekaristi karena kita memang membutuhkan makanan rohani kita? Atau sekadar memenuhi kewajiban dan rutinitas?

Semoga artikel ini bermanfaat. Pax et Bonum


Creative Commons License
Respon Indonesian Papist Terhadap Peristiwa Berubahnya Hosti menjadi Darah di Yogyakarta by Robby Kristian Sitohang is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported License. Based on a work at indonesian-papist.blogspot.com.

Renungan Hari Ini

Postingan Populer

Doa-doa Dasar dalam Bahasa Latin

Bahasa Latin telah lama menjadi bahasa resmi Gereja Katolik. Berbagai dokumen resmi Gereja ditulis dalam bahasa Latin lalu diterjemahkan ke bahasa lainnya. Bahasa Latin berfungsi sebagai ikatan untuk ibadah/ penyembahan Katolik, menyatukan orang-orang dari setiap bangsa dalam perayaan Liturgi Suci, yang memungkinkan mereka untuk menyanyi dan merespon dalam ibadah umum.[1] Pada zaman kuno, Latin adalah bahasa umum hukum dan bisnis, seperti bahasa Inggris yang digunakan masa kini. Pada abad ke-5, karena Kekaisaran Romawi runtuh, Gereja muncul sebagai kekuatan budaya penyeimbang, mempertahankan penggunaan bahasa Latin sebagai sarana untuk persatuan. Bahasa Latin, sebagai bahasa mati di masa kini, bukanlah milik suatu negara. Karena Gereja adalah untuk “semua bangsa, suku dan bangsa,” (Wahyu 11:09) maka sangatlah tepat bahwa Gereja menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa resminya. [2] Signum Crucis / Tanda Salib In nómine Pátris et Fílii et Spíritus Sáncti. ...

Perisai Lambang Kepausan (Coat of Arms) Paus Leo XIV

  Lambang Paus Leo XIV terdiri dari perisai yang dibagi menjadi dua sektor, yang masing-masing membawa pesan yang mendalam. Di sisi kiri, dengan latar belakang biru, terdapat bunga lili putih bergaya, simbol tradisional kemurnian dan kepolosan. Bunga ini, yang sering dikaitkan dengan Perawan Maria, langsung membangkitkan dimensi Maria dalam spiritualitas Paus. Ini bukan sekadar seruan pengabdian, tetapi indikasi yang tepat tentang sentralitas yang ditempati Perawan Maria yang Terberkati dalam cara Gereja: model mendengarkan, kerendahan hati, dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Di sisi kanan perisai, dengan latar belakang putih, digambarkan Hati Kudus Yesus, tertusuk anak panah dan terletak di atas buku yang tertutup. Gambar ini, yang intens dan penuh makna, merujuk pada misteri pengorbanan penebusan Kristus, hati yang terluka karena cinta kepada manusia, tetapi juga pada Sabda Tuhan, yang diwakili oleh buku yang tertutup. Buku yang tertutup ini menunjukkan bahwa kebenaran ...

Kata "KATOLIK" Ada Dalam Kitab Suci

Bapa Gereja awal yang pertama kali menggunakan istilah GEREJA KATOLIK adalah St. Ignatius dari Antiokia. Beliau menurut tradisi Kristen adalah murid St. Yohanes Rasul dan beliau juga seorang anak yang pernah dipangku oleh Tuhan Yesus dalam Markus 9:36. Santo Ignasius dari Antiokia Kutipan dari tulisan St. Ignatius dari Antiokia kepada Jemaat di Smirna: Wherever the bishop appears, let the people be there; just as wherever Jesus Christ is, there is the Catholic Church " (Letter to the Smyrneans 8:2 [A.D. 110]). "Di mana ada uskup, hendaknya umat hadir di situ, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, Gereja Katolik hadir di situ." Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebelum masa St. Ignatius , istilah "Gereja Katolik" telah digunakan sebagai nama Gereja yang didirikan oleh Tuhan Yesus di ayat berikut. Mat 16:18 Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan GEREJA -Ku da...