Langsung ke konten utama

Bahaya Menyamakan Konsili Vatikan II Dengan Pembaharuan Liturgi



Oleh : Prof. Peter Kwasniewski
Diterjemahkan bebas oleh : HiFraX

Paus Yohanes Paulus II menunjukkan : “Bagi banyak orang, pesan Konsili Vatikan II dirasakan terutama melalui pembaharuan liturgi” (Vicesimus Quintus Annus, 12)




Itu baru hanya masalah kecil, bukan? Jika pembaharuan liturgi itu sendiri dirusak – dan tidak lagi merupakan suatu kejujuran intelektual untuk menganggap bahwa pembaharuan liturgi tidak dirusak, dalam beberapa hal tertentu yang sangat penting, di saat munculnya kritik-kritik pedas terhadap pembaharuan Liturgi yang buruk dari Gamber, Ratzinger, Nichols, Lang, Mosebach, Robinson, Reid dan kawan-kawan, – dan yang lebih buruk jika pelaksanaannya masih dikompromi lebih jauh lagi dengan memasukkan unsur sekularisme yang berlaku di masyarakat, kita harus bertanya: Versi apa, atau mungkin, karikatur mana dari Vatikan II yang banyak orang terima gagasannya mengenai Konsili itu dan, mungkin secara ekslusif, dari siapa revolusi liturgi itu datang?

Mereka mengambil sedikit atau bahkan tidak sama sekali ajaran Konsili yang otentik – ajaran yang menyegarkan bahwa, berdasarkan intensi Yohanes XXIII dan banyak kata-kata dari Vatikan II itu sendiri, sepenuhnya disesuaikan dengan pengajaran dari konsili-konsili ekumenikal sebelumnya, terutama konsili Trente dan Vatikan I. Tetapi bukannya roti, melainkan umat beriman malah diberikan batu. Bukannya isi yang substantif (sesungguhnya), orang-orang beriman malah diberikan sebuah hermeneutic, yaitu sebuah cara untuk melihat Gereja, pengajarannya, tradisinya, liturginya – yang secara pasti itu adalah salah satu perpecahan dan diskontinuitas. Untuk menjadi seorang Katolik di zaman yang memabukkan ini berarti menjadi berbeda, menjadi yang lain, menjadi up-to-date; hal ini tentunya tidak bermaksud untuk menjadi sama, konsisten dengan masa lalu, bergantung pada tradisi. Gereja tidak lagi merupakan Tubuh Mistik dan Mempelai Tak Bernoda dari Yesus Kristus; Gereja sudah memperbaharui diri, memperbaharui diri tanpa sebuah target, bahkan tanpa banyak rencana, memperbaharui hanya demi memperbaharui. Seperti yang dipertanyakan oleh teolog Protestan yang terkenal, Karl Barth, saat kemunculan Konsili : “Kapan Gereja akan mengetahui bahwa dirinya sudah cukup terupdate?” Saya pikir itu adalah yang Anda sebut sebagai pertanyaan retorik.

Tragisnya, generasi klerus (para kaum tertahbis) telah dilatih dalam hermeneutik akan perpecahan dan diskontinuitas yang sama (hermeneutic of rupture and discontinuity), begitu juga dengan hampir seluruh uskup di dunia. Itulah mengapa kebangkitan yang tidak terduga dari bentuk-bentuk iman dan peribadatan yang tradisional (seperti Misa Tridentin / Misa Latin Tradisional) diantara orang-orang muda Katolik, yang seiring waktu meningkat menjadi komitmen yang bersemangat dalam diri orang-orang muda Katolik tersebut, adalah sumber dari kebingungan, kekhawatiran, dan bahkan kemarahan bagi para klerus tersebut. Berdasarkan latihan dan kebiasaan berpikir mereka, klerus-klerus itu menyamakan liturgi zaman sekarang dan penyimpangannya yang beraneka ragam itu dengan Vatikan II dan kemudian menyamakan kecintaan atau pilihan akan liturgi yang tradisional dan budaya yang melingkupinya sebagai penolakan akan Vatikan II. Hal ini mungkin benar bagi sebagian orang, tetapi hal ini tidak benar secara keseluruhan, dan hal ini tidak perlu untuk menjadi benar sama sekali.

Kelihatannya tidaklah penting bahwa liturgi tradisional dan kehidupan utuh Katolik yang faktanya menopang secara teguh dalam harmoni dengan pengajaran terbaik dan terhebat dari Konsili itu – kita hanya perlu memikirkan Lumen Gentium, Dei Verbum, dan bahkan Sacrosanctum Concilium. Tidaklah penting bahwa Paus Benediktus XVI, teolog terhebat yang duduk di Tahta Petrus setelah berabad-abad, melihat keberlanjutan/kontinuitas antara ajaran dan praksis liturginya sendiri dengan yang berasal dari Konsili yang dulunya ia berikan kontribusi besar di sana. Tidak, itu tidaklah penting, karena itu tidak terlihat demikian penting bagi orang-orang Katolik yang tidak peduli pada dokumen-dokumen Konsili, tidak peduli pada warisan liturgis Gereja dan buruknya umat Katolik ini dibentuk demikian oleh hampir 50 tahun pelecehan Liturgi (liturgical abuse).

Apa yang penting saat ini adalah untuk menunjukkan - secara sabar, secara gigih, dan secara akurat, dengan kerendahan hati dan kepercayaan diri yang lahir dari pembelajaran yang hati-hati -  bahwa para Bapa Konsili Vatikan II tidak menginginkan atau meminta pembaharuan liturgi yang berasal dari Konsilium Uskup Agung Bugnini, bahwa Misa Novus Ordo tidak dalam kesesuaian penuh dengan Sacrosanctum Concilium (lihat di sini dan di sini), dan bahwa pengajaran dari 16 dokumen resmi Vatican II justru mendukung dan bukannya melucuti teologi dan ulah kesalehan Katolik yang tradisional. Bagaimanapun, hal terakhir yang dapat kita lakukan adalah tidak mengizinkan diri kita untuk terlibat dengan bacaan-bacaan yang memiliki kebenaran setengah-setengah atau bacaan yang bertendesi memperlebar perpecahan, baik bersumber dari para modernis atau tradisionalis [yang berada di luar persatuan dengan Paus].

Benar bahwa ada banyak masalah, kesulitan, dan ambiguitas di dalam dokumen-dokumen konsili. Benar bahwa tidak semua formulasi dalam Konsili Vatikan II adalah kebal terhadap kritik-kritik yang sah – bahkan Ratzinger mengeluh bahwa bagian dari Gaudium et Spes “benar-benar Pelagian”. Dan tidak diragukan lagi bahwa ada Uskup-uskup dan para ahli di dalam Konsili Vatikan II yang meminta untuk memasukkan modernisme ke dalam dokumen-dokumen Konsili dan – sampai pada batas tertentu - sukses dalam mempengaruhi formulasinya. Tapi lebih pasti lagi bahwa dokumen-dokumen final yang direview berkali-kali dan melewati wadah pengawasan dari kepausan dan konsili adalah - dengan sejumlah kecil pengecualian - sehat dalam isi dan formula;  dan inilah yang paling pasti bahwa mereka bebas dari kesalahan dalam iman dan moral, menjadi tindakan resmi dari sebuah konsili ekumenis dan secara agung dipromulgasikan oleh Paus. Kita tidak boleh pernah - seperti dulunya - menelantarkan Konsili kepada para modernis; Konsili ini hanya akan menjadi mainan bagi tangan-tangan iblis.

Bagaimanapun, bukan hanya Konsili yang paling baru ini yang memberikan bagi kita peta dan aturan untuk bergerak, tetapi juga seluruh Tradisi Katolik dan seluruh Magisterium sejak 2000 tahun ini, yang mana Konsili ini hanyalah sebuah bagian kecil dan di dalam Tradisilah dimana kita mengerti Konsili ini secara benar. Kita tahu bahwa di dalam prinsip, tidak ada bacaan dari Vatikan II yang mungkin benar bila menghasilkan pertentangan antara masa lalu dan masa kini. Tetapi kita dibimbing oleh seluruh pengajaran Gereja, tidak hanya dari yang terbaru. Memang, kita beruntung untuk memiliki sebuah “tubuh” yang walaupun ia berkembang seiring waktu tetapi dasarnya tidak dapat berubah secara esensi. Para pendukung dari perubahan abadi bisa saja memiliki liturgi-liturgi aneh mereka dan secara politis mengoreksi katekismus, tetapi mereka bukanlah lagi seorang Katolik.

Renungan Hari Ini

Postingan Populer

Doa-doa Dasar dalam Bahasa Latin

Bahasa Latin telah lama menjadi bahasa resmi Gereja Katolik. Berbagai dokumen resmi Gereja ditulis dalam bahasa Latin lalu diterjemahkan ke bahasa lainnya. Bahasa Latin berfungsi sebagai ikatan untuk ibadah/ penyembahan Katolik, menyatukan orang-orang dari setiap bangsa dalam perayaan Liturgi Suci, yang memungkinkan mereka untuk menyanyi dan merespon dalam ibadah umum.[1] Pada zaman kuno, Latin adalah bahasa umum hukum dan bisnis, seperti bahasa Inggris yang digunakan masa kini. Pada abad ke-5, karena Kekaisaran Romawi runtuh, Gereja muncul sebagai kekuatan budaya penyeimbang, mempertahankan penggunaan bahasa Latin sebagai sarana untuk persatuan. Bahasa Latin, sebagai bahasa mati di masa kini, bukanlah milik suatu negara. Karena Gereja adalah untuk “semua bangsa, suku dan bangsa,” (Wahyu 11:09) maka sangatlah tepat bahwa Gereja menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa resminya. [2] Signum Crucis / Tanda Salib In nómine Pátris et Fílii et Spíritus Sáncti. ...

Perisai Lambang Kepausan (Coat of Arms) Paus Leo XIV

  Lambang Paus Leo XIV terdiri dari perisai yang dibagi menjadi dua sektor, yang masing-masing membawa pesan yang mendalam. Di sisi kiri, dengan latar belakang biru, terdapat bunga lili putih bergaya, simbol tradisional kemurnian dan kepolosan. Bunga ini, yang sering dikaitkan dengan Perawan Maria, langsung membangkitkan dimensi Maria dalam spiritualitas Paus. Ini bukan sekadar seruan pengabdian, tetapi indikasi yang tepat tentang sentralitas yang ditempati Perawan Maria yang Terberkati dalam cara Gereja: model mendengarkan, kerendahan hati, dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Di sisi kanan perisai, dengan latar belakang putih, digambarkan Hati Kudus Yesus, tertusuk anak panah dan terletak di atas buku yang tertutup. Gambar ini, yang intens dan penuh makna, merujuk pada misteri pengorbanan penebusan Kristus, hati yang terluka karena cinta kepada manusia, tetapi juga pada Sabda Tuhan, yang diwakili oleh buku yang tertutup. Buku yang tertutup ini menunjukkan bahwa kebenaran ...

Kata "KATOLIK" Ada Dalam Kitab Suci

Bapa Gereja awal yang pertama kali menggunakan istilah GEREJA KATOLIK adalah St. Ignatius dari Antiokia. Beliau menurut tradisi Kristen adalah murid St. Yohanes Rasul dan beliau juga seorang anak yang pernah dipangku oleh Tuhan Yesus dalam Markus 9:36. Santo Ignasius dari Antiokia Kutipan dari tulisan St. Ignatius dari Antiokia kepada Jemaat di Smirna: Wherever the bishop appears, let the people be there; just as wherever Jesus Christ is, there is the Catholic Church " (Letter to the Smyrneans 8:2 [A.D. 110]). "Di mana ada uskup, hendaknya umat hadir di situ, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, Gereja Katolik hadir di situ." Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebelum masa St. Ignatius , istilah "Gereja Katolik" telah digunakan sebagai nama Gereja yang didirikan oleh Tuhan Yesus di ayat berikut. Mat 16:18 Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan GEREJA -Ku da...