Jumat, 22 Maret 2013

Info Post

Dalam berbagai diskusi internal Gereja Katolik yang saya alami, seringkali saat berbicara mengenai Liturgi atau ajaran-ajaran Gereja, orang-orang Katolik dengan mudah memotong: “Ah, itu kan cuma buatan manusia!” “Aturan Gereja itu kan cuma buatan manusia!”. Apa yang hendak mereka sampaikan adalah bahwa  karena itu semua adalah buatan manusia, maka mereka berhak mengubahnya menyesuaikan dengan kebutuhan mereka atau bahkan lebih parah lagi, menyesuaikan dengan selera mereka. Liturgi yang sudah baku telah ditambah dan dikreativisasi sana sini sehingga malah kelihatan sebagai ibadat saudara terpisah Protestan, malah lebih parah lagi seperti konser dalam Gereja. Sedangkan dalam hal hukum atau ajaran-ajaran Gereja, sejumlah poin ditolak karena tidak sesuai dengan yang mereka inginkan dan yang lain direduksi, dikurang-kurangi  sehingga bisa mereka terima.


Tentu saja, gagasan ”Liturgi dan ajaran Gereja adalah buatan manusia sehingga boleh diubah sesuka hati kita” adalah gagasan yang salah. Sebagai perbandingan, bolehkah kita seenaknya mempreteli pintu rumah orang lain atau mengganti pintu rumah orang tersebut? Tentu saja kita akan berkata itu tidak boleh. Tapi pertanyaannya muncul: mengapa tidak boleh? Itu kan buatan manusia juga.

Mengenai pintu rumah ini, kita bisa melihat beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Hak Mengubah. Apakah kita memiliki hak untuk mengubah pintu rumah orang sesuai keinginan kita?

2. Estetika. Apakah perubahan pada pintu yang kita lakukan itu matching dengan bentuk rumah? Apakah perubahan tersebut tidak malah menjadikan rumah itu terlihat aneh? Apakah perubahan itu tidak merusak keindahan rumah tersebut?

3. Identitas. Apakah perubahan yang kita lakukan itu tidak merusak identitas rumah tersebut? Bukankah ketika mengganti pintu rumah dengan ukiran salib menjadi pintu rumah dengan ukiran kaligrafi Islam telah mengubah identitas rumah tersebut di mata orang luar?
Poin pertama adalah poin yang paling fundamental. Bila kita tidak memiliki hak, maka kita tidak bisa mempreteli pintu rumah orang lain tersebut. Akan tetapi, sekalipun memiliki hak, kita juga tidak bisa seenaknya mempreteli pintu rumah orang tersebut. Ada hal-hal lain yang harus diperhatikan dan ada juga batasan-batasan atas hak tersebut.

Kembali ke Liturgi dan Ajaran Gereja, kita dapat menerapkan hal yang sama yaitu:
1. Hak Mengubah.  Pada dasarnya, sebagai umat kita tidak memiliki hak-hak apapun untuk mengubah Liturgi selain mengikuti pakemnya. Imam dan Uskup sendiri memiliki wewenang yang terbatas untuk menyesuaikan Liturgi. Sedangkan mengenai ajaran Gereja, seorang Paus dan bahkan sebuah konsili besar pun tidak berhak mengubah ajaran iman dan moral yang sudah dideklarasikan, sementara ajaran sosial Gereja masih mungkin untuk disesuaikan tetapi tetap harus sejalan selaras dengan ajaran iman dan moral Gereja.

2. Estetika. Perubahan, improvisasi dan kreativisasi yang dilakukan justru sering tidak matching dengan Liturgi itu sendiri. Seringkali malah merusak dan melecehkan Liturgi itu sendiri. Pada akhirnya, kita tidak dapat melihat keindahan Liturgi kita yang berasal dari tradisi apostolik karena perubahan, improvisasi dan kreativisasi telah menutupinya. Hal yang sama terjadi terhadap ajaran iman dan moral Gereja yang keindahannya tertutupi oleh modernisme. Modernisme menganggap ajaran iman dan moral Gereja sebagai ajaran usang dan harus diganti mengikuti perkembangan zaman. Modernisme ini menjadi prinsip bagi orang-orang Katolik yang ingin mengubah atau menyesuaikan ajaran iman dan moral Gereja seturut kondisi zaman dan kehendak mereka sendiri.

3. Identitas. Perubahan, improvisasi dan kreativisasi dalam Liturgi seperti menambah drama dan mengganti lagu-lagu liturgis dengan lagu populer, menampilkan tari-tarian non-peribadatan jelas dapat merusak identitas Liturgi. Masuknya band ke dalam Misa menjadikan Misa terlihat sebagai ibadat Protestan Pentakostal.  “Kita sedang berada dalam Ekaristi atau dalam sebuah konser bertajuk ‘Ekaristi’?” Apa yang terlihat pada akhirnya adalah sebuah konser atau pentas seni rohani dan bukan lagi sebuah Misa. Sementara itu, sikap orang-orang Katolik yang mereduksi ajaran iman dan moral Katolik membuat identitas Katolik itu tergambarkan secara berbeda. Kita lihat Amerika Serikat; wakil Presiden Joe Biden adalah seorang Katolik tetapi ia mendukung aborsi dan kontrasepsi buatan. Tidak sedikit orang Katolik yang menolak ajaran Katolik yang anti-aborsi dan anti-kontrasepsi sehingga menggantikannya dengan pandangan mereka sendiri yang pro-aborsi dan pro-kontrasepsi. Apa yang terlihat akhirnya sebuah kekacauan identitas, sebenarnya Katolik itu anti-aborsi atau pro-aborsi? Katolik itu anti-kontrasepsi atau pro-kontrasepsi? Jelas Gereja anti-aborsi dan anti-kontrasepsi tetapi identitas ini tertutupi oleh pengajaran sejumlah Katolik yang pro-aborsi dan pro-kontrasepsi.
Memang benar bahwa ekspresi lahiriah berupa rumusan ajaran iman dan moral serta peribadatan melibatkan dan memuat unsur-unsur budaya, pola pikir dan harapan manusiawi. Tetapi apakah bisa disimpulkan "Kalau begitu boleh seenaknya diubah"? Jawabannya pasti: “TIDAK” sama seperti kita tidak bisa mempreteli pintu rumah orang seenaknya.

Marilah kita sekarang membentuk pola pikir yang benar mengenai rumusan ajaran iman dan moral serta peribadatan Gereja supaya kita tidak menyesatkan diri sendiri dan tidak menyesatkan orang lain. Ini adalah ajakan pertobatan untuk berpaling dari sebuah pandangan yang salah ke pandangan yang benar untuk kebaikan bersama.

Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter