Minggu, 19 Januari 2014

Info Post
"Yang penting hatinya" adalah sebuah klausul seringkali diucapkan oleh kita saat kita dihadapkan pada fakta bahwa kita atau sesama kita sebenarnya sedang melakukan pelanggaran entah itu dalam konteks ajaran iman dan moral atau dalam Liturgi Suci. Tentang hal ini, saya menemukan sebuah artikel yang membahas tentang imanentisme di mana "yang penting hatinya" merupakan salah satu bentuk nyata dari imanentisme ini. Berikut ini terjemahannya:

Bangunan Gereja yang agung, Liturgi yang sakral sebenarnya menunjukkan penghormatan Gereja atas transendensi Allah sekaligus penegasan akan hal tersebut.

Imanentisme: Katolisisme dan Pengalaman Religius


Apa itu imanentisme? Tampaknya tidak salah untuk berkata bahwa banyak umat Katolik yang baik tidak pernah mendengar istilah ini. Teolog Prancis, Romo Louis Bouyer mendefinisikan imanentisme sebagai berikut: “Sebuah kecenderungan untuk memahami imanensi Allah atau tindakan-Nya sedemikian rupa sehingga mengesampingkan realitas transendensi-Nya.” Bagaimana imanensi Allah dipahami dengan benar? Imanensi Allah merujuk pada fakta bahwa Dia hadir dalam sebuah cara yang spesial dalam semua orang yang berada dalam kondisi rahmat pengudusan (state of sanctifying grace). Dalam hal ini, kita mungkin diingatkan tentang Beata Elizabeth dari Trinitas yang berusaha untuk membentuk seluruh hidup religiusnya seturut kebenaran luhur dari “saling mendiami” (indwelling) Tritunggal Mahakudus.  

Imanensi adalah sesuatu yang sangat baik. Di sisi lain, imanentisme bukanlah sesuatu yang baik sama sekali karena dengan menolak transendensi Allah, imanentisme tentu saja telah benar-benar memalsukan kodrat ilahi. Menolak transendensi Allah berarti menolak mengakui fakta bahwa Dia secara absolut berbeda dari dan superior dari ciptaan-Nya dan hasil dari penolakan tersebut berakhir dengan sebuah pemahaman bahwa apapun yang dikatakan tentang hal itu bukanlah merupakan pengetahuan dari Allah yang benar. Lebih jauh lagi, menolak transendensi Allah berarti merendahkan penalaran imanentisme itu sendiri karena “imanensi” menjadi tidak berarti / tanpa makna bila merujuk kepada hal-hal apapun yang lain daripada transendensi Allah yang tinggal di antara kita melalui rahmat-Nya.

Romo John Hardon, dalam menulis mengenai subjek apologetika imanentis, menyebutkan imanentisme sebagai “sebuah metode untuk membangun kredibilitas iman Kristiani dengan mengacu kepada pemuasan subyektif (subjective satisfaction) yang iman berikan kepada orang yang percaya.” Selain dengan penekanan atas sesuatu yang subjektif, ada juga pengerdilan terhadap kriteria objektif dari iman kita, bahkan sampai menolak mujizat dan nubuat. Motif-motif yang murni personal untuk iman, motif-motif yang terutama berkaitan langsung dengan perasaan-perasaan diberikan tempat yang utama. Romo Bouyer menyatakan, “pada akhirnya, agama secara keseluruhan akan tersusun dari perasaan religius itu sendiri.” Akal budi dipinggirkan, dan gagasan iman yang secara esensial merupakan persetujuan yang intelek telah kehilangan nilainya.

Dapat disimpulkan bahwa imanentisme merupakan sikap subjektivisme sembrono berkaitan dengan iman. Imanentisme secara angkuh mengabaikan fondasi-fondasi obyektif agama Katolik sebagaimana yang diwahyukan kepada kita oleh Allah sendiri dan yang digabungkan ke dalam deposit iman. Imanentisme memposisikan hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak penting atau setidaknya hanya merupakan “kepentingan yang kedua”.

Pada tahun 1907, Paus Santo Pius X menerbitkan ensikliknya yang berjudul Pascendi Dominici Gregis yang tujuannya adalah untuk membunyikan alarm melawan Modernisme yang Bapa Suci sebut sebagai “sintesis semua ajaran sesat”. Bapa Suci Santo Pius X menggambarkan kaum modernis sebagai “yang paling merusak dari semua musuh Gereja”. Dalam analisa terhadap fenomena ini, Paus Santo Pius X mengidentifikasikan dua bagian besar dari modernisme; yang pertama adalah agnotisisme dan yang kedua adalah imanentisme. Modernisme Agnostik menolak bahwa manusia memiliki kemampuan akal budi untuk mendapatkan pengetahuan akan Allah. Dengan demikian, agnostisisme secara efektif menyingkirkan teologi natural yaitu disiplin filosofi yang tugas utamanya adalah menunjukkan bahwa kita dapat sampai kepada pengetahuan tentang keberadaan/eksistensi Allah melalui akal budi alamiah. Sekarang ajaran tentang “kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan akan Allah” itu secara aktual merupakan materi iman bagi orang Katolik sebagaimana yang diajarkan oleh Konsili Vatikan Pertama.

Setelah membuang teologi natural, modernisme kemudian mengajukan imanentisme untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan pengalaman religius. Modernis berpendapat manusia dibekali dengan “cita rasa religius” (religious sense) yang berasal dari alam bawah sadar dan menciptakan kebutuhan akan yang ilahi dalam diri kita. Dalam respon atas kebutuhan ini, kita secara positif menanggapi gagasan mengenai realitas dan kodrat Allah yang begitu nyaman selaras dengan perasaan-perasaan kita. Dalam istilah praktis, apa yang menjadi maksud dari hal ini adalah bahwa “Allah” yang kepadanya manusia berikan  kesetiaan tidak lain adalah sebuah fiksi dari karangan sendiri, makhluk semu yang tidak lain berasal dari tuntutan emosi yang mendalam. Di sinilah modernisme dapat dikatakan  mencerminkan pemikiran filsuf ateis abad ke-19, Ludwig Feurbach yang berargumen bahwa apa yang kita sebut “Allah” tidak lebih dari produk imajinasi keinginan dan kerinduan manusia.

Jenis sikap yang diwakili oleh imanentisme merupakan bagian yang sangat besar dari kesadaran religius pada zaman kita hidup sekarang ini. Imanentisme, yang dibawa kepada titik ekstrim, merupakan penolakan iman Kristiani secara keseluruhan karena imanentisme menggantikan iman Kristiani dengan sekularisme yang hambar dan anemik dengan mencoba menyamarkan diri sendirinya di bawah lapisan tipis dari agama. Karena imanentisme menempatkan “perasaan” di atas “akal budi”; imanentisme menyangkal realitas obyektif dari iman Katolik yang terwujud dalam ajaran-ajarannya, ajaran yang berasal dari wahyu ilahi. Untuk menyatakan dengan jelas: Bertentangan dengan imanentisme, kita memberikan persetujuan kita atas ajaran iman karena kita percaya ajaran iman tersebut adalah benar bukan karena ajaran iman tersebut selaras atau sejalan dengan perasaan kita.

Secara spesifik, dalam cara apa semangat imanentisme dapat dikatakan muncul dalam Gereja masa sekarang? Secara umum, imanentisme muncul dalam apa yang kita sebut “Katolisisme yang mengambil dan memilih – pick and choose Catholicism” (atau singkatnya disebut Katolik Kafetaria) di mana masing-masing individu memutuskan apa yang mereka terima atau mereka tolak sebagaimana yang ditentukan oleh perasaan-perasaan mereka, bukan oleh akal budi mereka. Perasaan itu selalu berubah-ubah, tetapi penggunaan akal budi yang benar sebagaimana yang diterapkan pada perkara-perkara religius tidak akan mengecewakan kita dan itu terjadi karena kita tahu bahwa tidak  ada konflik antara iman dan akal budi.

Berapa banyak umat Katolik sekarang ini yang memperlakukan ajaran Gereja yang jelas dan tak dapat diubah mengenai kontrasepsi seolah-olah merupakan masalah kecil yang bisa ditepis dengan lambaian tangan? Dan jelas sekali bahwa ada hubungan dekat antara sikap seperti itu dengan cara banyak umat Katolik memandang perkawinan sekarang ini yang tidak jauh berbeda dengan bagaimana budaya sekular kita memandangnya. Perkawinan Suci (Holy Matrimony) tampaknya telah kehilangan kesuciannya. Selain itu, kebutuhan vital untuk mengakui status perkawinan sebagai sebuah sakramen – yang berarti menerima kesucian dan keutuhannya – seringkali dibuat menjadi sulit oleh dominasi legalisme yang mementingkan diri sendiri dan kabur.

Kita semua adalah imanentis sejauh kita ingin menempatkan kehendak kita di atas kehendak Allah yang dengan jelas telah diberitahukan kepada kita melalui pewahyuan dan yang telah diberikan perwujudan konkretnya dalam Gereja. Tergoda oleh imanentisme pada dasarnya berarti membuat sebuah perjanjian tanpa kenyataan/realita, untuk menyerah kepada subjektivisme, untuk lebih memilih “jalan saya” ketimbang jalan yang benar sekalipun “jalan saya” itu keluar jalur dari jalan yang membawa kita secara pasti lepas dari kekacauan.


Ditulis oleh Dr. Dennis Q. McInerny, Ph.D., dimuat di situs resmi Persaudaraan Imam-imam Santo Petrus (FSSP), diterjemahkan bebas oleh Indonesian Papist.



Definisi tentang imanensi dan transendensi dapat dibaca di bawah ini (dalam bahasa Inggris) mengacu kepada Kamus Istilah Katolik oleh Romo John Hardon, SJ:

IMMANENCE. Presence or operation within someone or something. Total "within-ness." As an operation, an immanent act begins within and remains within the person whom it perfects in the process. Thus acts of reflection and love are immanent acts of a human being. They may, of course, have effects outside the mind and will, but essentially they arise within and stay within the faculties by which they are produced. (Etym. Latin immanere, to remain in, hold to.)


TRANSCENDENCE. Supassing excellence, which may be either relative or absolute. It is relative when the excellence surpasses some objects below it, as human nature transcends the irrational creation. It is absolute when the excellence surpasses in being and activity all other beings. Only God is absolutely transcendent; in being because he alone is infinite and perfect Being who cannot change; in activity because he alone has existence of himself as uncreated First Cause on whom all creatures depend for their least operation.