Sabtu, 30 Juli 2011

Info Post
Seorang  biarawan Fransiskan, meniru St. Fransiskus Assisi, membangun kembali Gereja Biara selama 50 tahun sendirian. Allah menghendakinya.
Lihat Videonya (dalam bahasa Italia) di sini atau di youtube berikut ini:

Cerita yang luar biasa dari Pater Pietro Lavini: Dari tahun 1954 hingga 2003, dia membangun sebuah Gereja Biara sepenuhnya sendirian, di sebuah area pegunungan yang tidak pernah dikunjungi di Appenina.
Montemonaco (kath.net). Pada musim semi 1954, Pater Pietro menghilang tanpa jejak dari biaranya untuk membangun kembali Gereja Biara di Pegunungan Appenina. Pada musim semi 2003, Uskup dari Pater Pietro menerima sebuah surat dengan kalimat “The Monastery is finished.
Andreas Englisch menceritakan kisah Imam Italia tersebut dalam bukunya “Traces of God: Miracles of The Catholic Church”. Englisch juga menceritakan kisah itu  kepada Hamburg Evening News.

Pada musim semi 1954, Abbas (Kepala Biara) dari Biara Fransiskan, melalui Ascoli Piceno di Adria, menyatakan bahwa Pater Pietro telah tiada. Setelah pencarian tanpa hasil, Pater Pietro dikeluarkan dari daftar imam, dia dilaporkan hilang.
Pada musim panas 1971, di pegunungan dekat Gola del Infernaccio, sebuah ngarai dalam di tengah-tengah pegunungan Appenina yang terkenal akan batu-batu berjatuhan dan longsor, seorang pendaki gunung menemukan sang biarawan dan memberitahu uskupnya: 
“Sang Imam sudah sangat tua, rambutnya kusut dan jenggotnya kotor. Dia hidup dalam dinginnya pegunungan yang tinggi, di dalam pondok yang terbuat dari beberapa cabang pohon dan terpal plastik yang robek. Dia mempertahankan hidupnya sendiri dengan sayuran, roti berjamur, dan kulit pohon. Dengan alat yang dibuat sendiri, ia memecah batu-batuan dari tepi tebing. Di sana hanya dia sendirian, tanpa uang atau mesin, di tempat yang dikehendaki untuk membangun kembali reruntuhan-reruntuhan Gereja Biara. Dia bahkan membuat gorong-gorong yang membawa air melintasi ngarai. Dia kolaps beberapa kali, mengalami patah tulang yang ia sendiri sembuhkan dengan herba-herba yang ada. Dia menunjukkan kepada saya luka-lukanya yang serius. Saya takut kalau orang ini sungguh gila.”
Sang Uskup kemudian mengirim seorang pemeriksa dengan misi membawa Imam tersebut ke klinik psikiater Fransiskan. Setelah ekspedisinya, pemeriksa tersebut melapor kepada Uskup setelah berbagai diskusi untuk membujuk Pater Pietro. Ia berkata: 
“Saudara itu tidaklah gila, tetapi ia seorang Kudus. Saya mengucapkan berkat dan berharap Gereja akan membiarkan dia di sana, di mana ia sepenuhnya dekat dengan Allah. ... Bagi kita, seorang teladan seperti Pater Pietro sungguh begitu jarang.” 
Segala usaha oleh petugas sosial dari Uskup untuk membawa kembali Sang Imam gagal.
Pater Pietro telah menghubungi sebuah keluarga dari desa Montemonaco, yang berada sekitar 20 km dari tempat tinggalnya. Sang ayah, Franco D’Agonsino, kemudian menulis kepada Uskup: 
"Saya tidak heran bahwa dia tidak kelaparan di sana! Pendakian adalah sulit. Saya membawakan sesuatu untuk dimakan kepada Pater Pietro. Dan setiap waktu tempat makannya kosong, dia tampaknya tidak peduli dengan itu. Ketika salju turun, dia terpisah beberapa bulan selama masa itu. Saya tidak tahu bagaimana ia bertahan.”
Pada musim panas 2003, sebuah surat tiba di Keuskupan Ascoli Piceno: Pater Pietro hanya menulis sebuah kalimat: “The Monastery is finished.” Uskup bepergian dengan helikopter ke tempat itu dan menulis laporan ke Vatikan, hanya ada satu kalimat: "What I have seen, is a wonder."
Desa Montemonaco berada di Italia tengah, memiliki penduduk sebanyak 700 jiwa dan berada dua jam perjalanan mobil dari pantai Laut Adriatic. Dan tiba-tiba, para pengunjung dari seluruh bagian dunia datang ke desa tersebut untuk bertanya jalan menuju ngarai Gola del Infernaccio untuk melihat “Sang Santo”. Gap besar di dinding tebing adalah saksi bagaimana puluhan tahun ia bekerja dengan tangannya sendiri, blok demi blok batu telah terpisah dari tebing.

Setelah empat jam mendaki, para pengunjung dengan segera tiba di sebuah Gereja Biara yang indah. Pater Pietro Lavini menerima para pengunjung dengan bahagia dan berkata: 

“Tentunya saya tidak akan pernah bisa membangun gedung-gedung ini sendirian. Hal itu berada di luar kekuasaan manusia, [tetapi] Allah menghendakinya. Allah telah memberikan saya mimpi nyata: ‘Bangunlah di sana, di tempat yang mustahil, sebuah rumah dalam kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan. Dan Aku akan menopangmu, menyembuhkan sakitmu dan memberikanmu makanan, bahkan ketika kamu berpikir kamu harus kelaparan.’

sumber berita: kath.net (situs Katolik berbahasa Jerman). Terimakasih untuk blog Eponymous Flower atas terjemahan bahasa Inggris dari artikel tersebut.

Pax et Bonum