Minggu, 22 Januari 2012

Info Post

Oleh: Ling-ling (Ibu Rumah Tangga berdomisili di Bandung)

Membawa anak-anak untuk mengikuti Misa Ekaristi di hari Minggu sungguh merupakan satu kerinduan yang besar bagi kebanyakan orang tua, tetapi sekaligus membutuhkan perhatian yang tak kenal lelah, tak kenal malu, dan tenaga ekstra karena tidak semua anak-anak bisa duduk manis dan diam selama Misa berlangsung.

Kebanyakan Misa memang dikhususkan bagi orang dewasa atau yang kita kenal dengan istilah Misa untuk umum. Anak-anak yang hadir dalam Misa untuk umum itu kadang kala dianggap sebagai gangguan. Banyak umat yang merasa terusik dengan kehadiran anak-anak kecil di tengah berlangsungnya Ekaristi. Anak-anak kecil yang mondar-mandir berlarian di dalam Gereja, menimbulkan bunyi-bunyian atau rengekan meminta mainan, makanan, minuman, dan lain-lain. 

Keberadaan mereka itu dirasa merecoki perayaan yang tengah berlangsung. Pandangan umat yang merasa terganggu kadang sudah cukup membuat para orang tua tersebut, berjingkat, dan segera mengangkat anaknya keluar dari dalam gereja dan membiarkan mereka bermain di halaman gereja atau mungkin meninggalkan anak-anak mereka di Sekolah Minggu selama Misa berlangsung. Atau cara lainnya membawa aneka permainan dan gambar sehingga anak-anak tersebut bisa disibukkan selama Misa berlangsung atau yang paling mudah dan tidak merepotkan yaitu meninggalkan anak-anak tersebut di rumah saja.

Kenyataan tersebut di atas menimbulkan pergumulan tersendiri di hati para orang tua. Di satu sisi, mereka merindukan anak-anak terbiasa berada di “rumah” Tuhannya, mengenal liturgi dan tentu saja dengan harapan nantinya si anak menghayati dan mencintai makna misteri Ekaristi tersebut. Akan tetapi, di sisi lain, harus menerima kenyataan bahwa kehadiran anak-anak memang mengusik keheningan yang seharusnya tercipta pada saat umat berusaha berdoa dan mengikuti Misa yang sedang berlangsung.

Lalu bagaimana agar anak-anak itu bisa menghayati dan mencintai Liturgi? Bagaimana mereka bisa tumbuh dalam persatuan dengan Kristus dan dengan saudara-saudara seiman, di mana tanda dan jaminan persatuan itu adalah keikutsertaan dalam Perjamuan Ekaristi, jikalau mereka tidak mendapat kesempatan untuk mengambil bagian di dalamnya?

Jawaban dari pertanyaan di atas membutuhkan kerjasama berbagai pihak, baik dari pihak gereja; paroki sebagai tempat terselenggaranya Misa anak-anak, dari pembina Sekolah Minggu dan yang paling utama dan memegang peranan penting adalah keluarga.

Peran Keluarga

Keluargalah yang memainkan peranan pertama dan terpenting dalam usaha menanamkan nilai-nilai manusiawi dan Kristen itu dalam hati anak-anak mulai sejak dini. Maka sangat perlu bahwa pendidikan Kristen yang diberikan oleh orang tua dan anggota lain dalam keluarga dibantu serta diarahkan kepada pembinaan liturgi.

Ketika anak-anak dibaptis, orang tua dengan bebas menerima tanggungjawab untuk mengajar anaknya setiap hari dan wajib pula membimbing mereka agar dapat berdoa sendiri. Selain itu, orang tua harus mengupayakan agar anak-anak berkembang sesuai dengan taraf pertumbuhannya, bukan hanya dalam menghayati hal-hal ilahi pada umumnya, melainkan juga dalam mengalami nilai-nilai manusiawi yang terdapat dalam perayaan Ekaristi.

Yang dimaksudkan dengan nilai-nilai manusiawi itu misalnya kebersamaan, memberikan salam, kemampuan untuk menyimak, kemampuan untuk minta ampun, dan mengampuni, mengungkapkan rasa terimakasih, penghayatan lambang-lambang, jamuan persahabatan, perayaan dan lain sebagainya. (PMBA 9)

Inilah tugas katekese Ekaristi, yaitu memperkenalkan nilai-nilai manusiawi tersebut kepada anak-anak, sehingga tahap demi tahap jiwa mereka terbuka untuk menangkap nilai-nilai Kristen dan untuk merayakan misteri Kristus sesuai dengan umur dan keadaan psikologis maupun sosial.

Tentu saja selain orang tua, katekese Ekaristi ini dapat diperdalam melalui pelajaran agama di sekolah, di Bina Iman Sekolah Minggu, dan juga menjelang persiapan komuni pertama (PMBA 12). Di situlah orang-orang tertentu yang cakap dan terlatih dalam pendidikan religius anak berperan besar (katekis, guru agama, wali baptis, pastor dsb).

Kalau anak-anak dari kecil dipersiapkan demikian, dan selalu diajak menghadiri Misa bersama dengan keluarga, maka mereka akan lebih mudah ikut bernyanyi dan berdoa bersama dengan umat bahkan sedikit banyak menghayati makna misteri Ekaristi.

Catatan Praktis untuk Orang Tua

Kehadiran anak dalam Misa untuk orang dewasa seperti dikatakan di atas, sering mengganggu umat yang lain. Tetapi, wahai para orang tua, janganlah itu sampai memupuskan kerinduan kita agar anak-anak tersebut mengenal Liturgi Ekaristi tersebut.

Ingatlah selalu di tangan orang tua-lah, anak-anak tersebut mengenal dan mencintai Allah. Jadi janganlah lelah dan putus asa mengusahakan sesuatu yang maksimal untuk pertumbuhan kerohanian anak-anak kita.

Beberapa saran berikut diharapkan bisa membantu para orang tua membawa kehidupan Kristus dan Gereja-Nya menjadi bagian dari kehidupan anak-anak.

*. Kehidupan doa pribadi anak dimulai dari orang tua. Keluarga yang tidak berdoa membuat anak-anaknya tidak memiliki budaya doa, budaya cinta, dan takut akan Tuhan. Maka ketika dibawa ke gereja, anak-anak mengamuk, anak-anak tidak mampu bertahan dalam suasana doa. Sebaliknya keluarga yang memiliki kebiasaan doa tidak banyak menemukan kesulitan dalam membesarkan anak-anaknya dalam kedekatan akan Tuhan, dalam doa dan ekaristi. Ada kalimat bagus yang bisa menjadi pemacu semangat untuk orang tua dalam memiliki hidup doa. “Bahwa sungguh, hai orang tua, di matamu, di tangan terkatupmu, di doamu, di bibirmu, anak-anakmu mengenal Allah, anak-anakmu mencintai doa.” Sungguh indah, bukan?

*. Mengusahakan minimal satu bulan satu kali mencari paroki yang mengadakan Misa untuk anak-anak. Dengan demikian, anak-anak dapat mengikuti Misa Kudus dari awal hingga berkat penutup bersama teman-teman sebayanya. Sedangkan di minggu-minggu lain, bisa bergabung dengan paroki yang memperbolehkan anak-anak tersebut mengikuti Misa umum dari awal dan keluar saat homili untuk bergabung dengan Sekolah Minggu dan masuk kembali untuk mendapatkan berkat. [Tambahan dari Indonesian Papist: Di Paroki saya di Bandung, Paroki St. Melania, anak-anak Sekolah Minggu masuk kembali ke Gereja saat penerimaan Komuni. Mereka kemudian mengantri menerima berkat dari imam setelah antrian penerimaan Komuni selesai.]

*. Umumnya, Anak-anak menyukai rutinitas dan persiapan. Segala yang mendadak membuat mereka tidak nyaman. Maka sejak Sabtu sore, mulailah mengingatkan anak-anak bahwa kita semua akan beribadah besok, merayakan hari Tuhan bersama-sama. Kita akan berdoa, akan menyalakan lilin di gereja. “Ayo, apa intensi atau ujud doamu besok? Pakaian mana yang hendak kamu kenakan?”. Dengan demikian mereka merindukan dan mempersiapkan diri secara rohani dan jasmani untuk Misa besok.

*. Datang lebih awal Misalnya 15 menit sebelum Misa Kudus dapat menghindari keributan dan gangguan pada ibadah yang berjalan.

*. Pastikan sebelum Misa Kudus dimulai, mereka telah diberi uang untuk kolekte.

*.  Sebelum ke gereja, ajaklah anak-anak pergi ke WC, atau minum secukupnya.

*. Miliki selalu lembaran lagu atau teks bacaan bahkan Kitab Suci dan buku lagu untuk digunakan bersama anak jika mereka telah dapat membaca.

*. Ajarkan mereka memegang buku doa atau lagu dengan baik dan benar.

*. Jika usia sudah mencukupi, anjurkanlah mereka untuk menjadi misdinar, atau mengambil peran dalam Misa Kudus. Biasakanlah anak-anak kita tumbuh dekat dengan altar Tuhan.

*. Melatih anak-anak menghafal dialog-dialog dalam Misa agar mereka terlibat mengikuti perayaan dengan baik.

*. Perhatikan dengan seksama apakah mereka bisa membuat simbol-simbol dan gerakan liturgis dengan baik, berlutut dengan benar, membuat tanda salib, dan lain-lain.

*. Sesudah Perayaan Ekaristi, tanyakanlah kepada anak-anak apa yang mereka sukai atau kurang sukai selama Misa tadi. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, mereka terbantu mengenal Perayaan Misa.

*. Sebelum Misa, ingatkan ujud pribadi, keluarga dan apa yang didoakan saat menerima Yesus.

*. Seringkali saat ibadah, mereka bertanya tentang sesuatu hal. Jangan bentak dan suruh diam. Usahakan jawab singkat atau dengan lembut katakanlah nanti sesudah Misa diterangkan secara panjang lebar. Dan tentu, jangan lupa memenuhi janji kita tersebut.

Tetaplah Berharap

Marilah para orang tua, kita tetap memiliki harapan yang besar untuk anak-anak kita. Benar memang, mungkin pada saat kita mencoba mempraktekkannya, tidak akan semudah seperti apa yang tertulis di atas. Kita akan jatuh bangun. Semua butuh waktu dan proses. Mungkin anak-anak kita akan tetap berteriak atau tak bertahan lama tinggal di dalam gereja, tetapi kembali lagi kepada kerinduan yang ada di lubuk hati terdalam dari setiap orang tua untuk pertumbuhan kerohanian anak-anaknya. Tiada anak yang serupa sama, tiap anak adalah unik adanya dengan karakter yang berbeda. Jadi, wahai para orang tua, janganlah jemu dan lelah untuk terus mencoba dengan berbagai pendekatan, nasihat dan tentu saja tak lupa segudang kasih sayang dan doa tiada henti!


Sumber Inspirasi: Rm. Terry TH Ponomban, Pr
Pedoman Misa Bersama Anak-Anak (PMBA atau Directorium de Missis cum Pueris, Roma, 1 November 1973)
Artikel ini dipublikasikan di Buletin Fraternite No. 10, April 2010.

Pax et Bonum