Senin, 24 September 2012

Info Post


Konsili Trente berlangsung selama 18 tahun (1545-1563) di bawah lima Paus: Paulus III, Julius III, Marselus II, Paulus IV dan Pius IV. Dalam Konsili ini hadir 5 (7) kardinal utusan Tahta Suci, 3 Patriark, 33 Uskup Agung, 235 Uskup, 7 Kepala Biara, dan 160 Doctor of Divinity. Konsili ini diadakan untuk memeriksa dan menghukum kesalahan-kesalahan ajaran yang diajarkan oleh Luther (mantan Imam Katolik) dan “para reformator” lainnya sekaligus untuk memperbaharui disiplin Gereja. Konsili ini adalah konsili yang paling lama dilakukan oleh Gereja dan paling banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan dogmatis dan reformatoris selama sejarah Gereja. Scott Hahn menyebutkan Konsili Trente sebagai Konsili yang menghasilkan pernyataan yang sistematis untuk menegaskan kebenaran ajaran-ajaran Kristus dan Gereja Katolik terhadap ajaran-ajaran keliru Luther dan “Para Reformator” lainnya.

Dalam pernyataan-pernyataan yang dogmatis dari Konsili Trente, seringkali kita temukan pernyataan let him be anathema” yang diterjemahkan menjadi “Biarkanlah ia menjadi terkutuk” atau dalam Kitab Suci diterjemahkan lebih singkat “Terkutuklah ia”. Pernyataan ini dapat kita temukan dalam Surat St. Paulus ke umat di Galatia. 
Gal 1:9 As we said before, so now I say again: IF ANY ONE preach to you a gospel, besides that which you have received, LET HIM BE ANATHEMA.
Gal 1:9 Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi:
JIKALAU ADA ORANG yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, TERKUTUKLAH DIA.
Konsili Trente seringkali disebut sebagai konsili “yang bertaburan anathema” karena hampir semua kanon dan dekrit Konsili Trente mengandung deklarasi anathema tersebut. Memang bahwa konsili-konsili dogmatis (konsili yang menegaskan dan mendeklarasikan dogma) sebelum Konsili Trente juga mengandung deklarasi anathema ini, tapi dari segi jumlah Konsili Trente adalah konsili yang paling banyak memuat deklarasi anathema. Para pembaca sekalian bisa membaca keseluruhan teks Konsili Trente di situs Hanover College, Indiana (AS).

Mari kita lihat contoh kanon Konsili Trente mengenai Ekaristi, yaitu Sesi 13 Kanon 1 dan 2.
1. IF ANY ONE denieth, that, in the sacrament of the most holy Eucharist, are contained truly, really, and substantially, the body and blood together with the soul and divinity of our Lord Jesus Christ, and consequently the whole Christ; but saith that He is only therein as in a sign, or in figure, or virtue; LET HIM BE ANATHEMA.
2. IF ANY ONE saith, that, in the sacred and holy sacrament of the Eucharist, the substance of the bread and wine remains conjointly with the body and blood of our Lord Jesus Christ, and denieth that wonderful and singular conversion of the whole substance of the bread into the Body, and of the whole substance of the wine into the Blood-the species Only of the bread and wine remaining-which conversion indeed the Catholic Church most aptly calls Transubstantiation; LET HIM BE ANATHEMA.
Terjemahan Bebas:
JIKALAU ADA ORANG yang menyangkal bahwa di dalam Sakraman Ekaristi Mahakudus benar-benar, sungguh-sungguh dan secara substansial terkandung Tubuh dan Darah bersama dengan Jiwa dan Keilahian Tuhan kita Yesus Kristus, dan karenanya Kristus secara keseluruhan; namun sebaliknya berkata bahwa Dia hanya berada di dalamnya [nya = Sakramen Ekaristi] seperti di dalam sebuah simbol, atau dalam gambaran, atau dalam kebajikan; TERKUTUKLAH DIA.”
JIKALAU ADA ORANG berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada di dalam Sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal dari keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan dari keseluruhan anggur menjadi Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal, seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi; TERKUTUKLAH DIA.”
Bila kita lihat, struktur pernyataan Konsili Trente tidak bisa disangkal lagi strukturnya sama dengan pernyataan Santo Paulus: “Jikalau ada orang ... Terkutuklah Dia”. Sederhananya, pernyataan Anathema dari Gereja Katolik dalam Konsili Trente (dan konsili-konsili dogmatis lainnya) mengambil dasar dari Kitab Suci.

Penulis yakin bahwa ada atau bahkan banyak umat Katolik kaget, kecewa, bersungut-sungut, atau mungkin marah bila membaca kanon-kanon Konsili Trente yang bertaburan “Terkutuklah Dia”. Mungkin juga ada yang menganggap Gereja Katolik-lah tidak punya kasih dan mengutuk orang-orang yang mengimani ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran-ajaran yang benar dari Gereja Katolik. Sementara itu, beberapa orang Katolik kerap menggunakan kanon-kanon Konsili Trente secara keliru dengan tendensi untuk menunjukkan bahwa Gereja Katolik meng-anathema orang-orang Protestan.

Oleh karena itu, Indonesian Papist membuat artikel ini untuk mengklarifikasikan kesalahpahaman umum yang terjadi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya mengenai Konsili Trente dan Deklarasi Anathema-nya.

Dalam dua contoh kanon Konsili Trente mengenai Ekaristi yang diikuti dengan deklarasi Anathema, kita bisa menemukan Dogma Gereja bahwa Kristus sendiri hadir secara nyata dalam Sakramen Ekaristi dan bahwa terjadi perubahan substansi secara keseluruhan dari roti dan anggur menjadi keseluruhan Tubuh dan Darah Kristus pada saat konsekrasi. Ini adalah kebenaran Kristus dan Gereja-Nya, kebenaran yang berlaku universal. Dengan demikian, Gereja menolak ajaran Martin Luther yang mengajarkan Konsubstansiasi (substansi roti dan anggur hadir bersamaan dengan substansi Tubuh dan Darah Kristus) dan ajaran John Calvin serta sejumlah “reformator” lainnya yang mengajarkan bahwa Kristus hadir hanya secara simbolis, tidak secara nyata, dalam Roti dan Anggur yang sudah dikonsekrasi. Kedua ajaran ini adalah sesat, dalam artian bertentangan dengan ajaran Kristus dan Gereja.

Namun, apakah dalam Konsili Trente yang bertaburan Anathema ini, Gereja mengutuk setiap orang yang mengimani ajaran-ajaran sesat tersebut? Apakah Gereja mengutuk orangnya?

Dalam Konsili Trente, apa yang dikutuk oleh Gereja adalah ajaran-ajaran sesatnya, ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran Kristus dan Gereja. Gereja tidak mengutuk orangnya. Bukan Gereja yang mengutuk orang-orang yang mengimani  dan mengajarkan ajaran sesat tersebut melainkan orang itu sendiri yang membuat dirinya menjadi seorang yang terkutuk. Gereja, dengan otoritas dari Kristus Sang Kepala Gereja, mempromulgasikan dogma-dogma secara tak dapat sesat yang wajib diimani oleh setiap umat Katolik. Karenanya, umat yang menolak atau menyangkal dogma-dogma ini atau meyakini ajaran-ajaran yang bertentangan dengan dogma-dogma ini, telah menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang yang terkutuk.

Hal ini sama dengan yang diucapkan oleh St. Paulus dalam surat pertamanya kepada umat di Korintus. 1 Kor 16:22 “Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia.”“If any one love not our Lord Jesus Christ, let him be anathema.” Adalah sebuah kebenaran bahwa kita harus mengasih Kristus Tuhan kita. Ada yang berani menyangkal ini? Sama seperti Gereja Katolik, dalam 1 Kor 16:22 ini, St. Paulus tidak mengutuk orang yang menolak Kristus. Tetapi orang yang tidak mengasihi Kristus telah menjadikan dirinya seorang terkutuk. St. Paulus memberitahu kebenaran itu sekaligus memberitahu bahwa bila kita menolak kebenaran itu, kita menjadikan diri kita seorang yang terkutuk. Kembali kepada deklarasi dalam bahasa Inggrisnya: Let Him Be Anathema - Biarkan Dia Menjadi Seorang Terkutuk.

Hal lain yang perlu diketahui, Anathema adalah hukuman/penalti gerejawi yang sekarang masih ada namun upacara atau seremoni penjatuhan anathema oleh Gereja Katolik sudah tidak dirayakan lagi sejak promulgasi Kitab Hukum Kanonik baru tahun 1983. Anathema, hukuman gerejawi terberat tidaklah pernah jatuh secara otomatis. Orang-orang Katolik -atau dulunya pernah Katolik- yang mengimani dan mengajarkan ajaran sesat yang bertentangan dengan ajaran Kristus dan Gereja terlebih dahulu harus dilaporkan, diselidiki dan diadili oleh otoritas gerejawi setempat, dalam hal ini Uskup atau Kepala Biara atau Superior Ordo (bila yang mengajarkan ajaran sesat itu adalah anggota suatu ordo atau biara). Otoritas gerejawi inilah yang berhak mendeklarasikan Anathema.

Namun, Anathema BUKANLAH Vonis Mati, bukanlah deklarasi bahwa orang yang ter-anathema itu adalah orang yang terkutuk selamanya. Jimmy Akin, apologeter katolik senior di catholic.com menjelaskan bahwa: “Anathema merupakan suatu cara resmi untuk memberi sinyal kepada orang itu bahwa dia telah melakukan suatu kesalahan yang sungguh berat yang membahayakan jiwanya sendiri, dan karenanya dia perlu bertobat. Anathema, seperti halnya bentuk ekskomunikasi yang lain, adalah hukuman yang menyembuhkan, yang dirancang untuk mempromosikan kesembuhan rohani dan rekonsiliasi.”

Dua Bapa Gereja Perdana, St. Agustinus dan St. Siprianus, mengajarkan bahwa Allah adalah Bapa dan Gereja adalah Ibu. Gereja adalah Bunda kita yang sungguh mengasihi kita, putra-putrinya. Layaknya seorang ibu yang mengajarkan kita mana yang benar dan mana yang salah, yang memberitahukan mana yang benar dan mana yang salah; Gereja dalam Konsili Trente ini mengajarkan dan memberitahukan pula mana ajaran Kristus dan mana yang bukan.

Gereja dalam deklarasi anathema-nya memberikan sinyal-sinyal peringatan demi keselamatan jiwa kita agar tidak mengalami kebinasaan kekal; sama seperti seorang ibu memperingati anak-anaknya supaya tidak bermain di tepi jurang. Semakin anak-anaknya bermain lebih dekat dengan tepi jurang, semakin keras seorang ibu memperingati bahkan memarahi anak-anaknya tersebut supaya anak-anaknya jangan bermain di tepi jurang yang dapat membahayakan nyawa mereka. Demikian pula, semakin jiwa kita mendekati bahaya kebinasaan kekal, semakin keras sinyal peringatan yang diberikan oleh Gereja agar kita segera tersadar dan bertobat dari jalan kita yang sesat. Karena itu, berterima kasih kepada Allah yang telah memberikan Gereja kepada kita.

Lalu apakah anathema ini berlaku untuk saudara-saudara terpisah Protestan?

Memang, ada banyak umat Katolik mengutip Konsili Trente tidak tepat sasaran, yaitu dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa semua umat Protestan mendapatkan anathema dalam Konsili Trente. Ini adalah miskonsepsi/kesalahpahaman yang parah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, anathema adalah penalti gerejawi, bentuk ekskomunikasi (pengucilan) yang berat. Anathema juga disebut sebagai Ekskomunikas Mayor.  Karenanya, sebagaimana ekskomunikasi hanya ditujukan kepada orang-orang Katolik, maka demikian pula anathema hanya ditujukan kepada orang-orang Katolik yang meyakini ajaran-ajaran sesat, meski saat ini mereka sudah menyatakan diri bukan Katolik lagi. Anathema TIDAK PERNAH DITUJUKAN kepada mereka yang sejak lahir beragama non-Katolik (entah itu Protestan, Islam, Buddha, Hindu etc) yang belum pernah menerima baptisan Katolik atau yang belum pernah menjadi Katolik. Sehingga sekalipun Gereja melalui Konsili Trente menegaskan ajaran-ajaran Kristus dan Gereja serta menolak ajaran-ajaran Protestanisme melalui dekrit-dekrit dan kanon-kanon anathema-nya, namun hukuman gerejawi berupa anathema ini TIDAK BISA diaplikasikan atau diberikan kepada mereka.

Demikianlah tulisan penjelasan dan klarifikasi mengenai Konsili Trente dan Anathema ini, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan kita. Semoga kita semakin mengasihi Gereja dan mendengarkan peringatan-peringatannya yang berguna bagi keselamatan jiwa kita. ­­­­­

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist, direkonstruksi dari tulisan hasil pemikiran bersama empat orang admin page-page Katolik; In Cruce Salus (page Gereja Katolik dan Katolik Menjawab), Pax et Bonum alias Indonesian Papist (page Gereja Katolik dan Katolik Menjawab), Dominus Meus et Deus Meus (page Katolik Indonesia dan Katolik Menjawab, owner blog Perawan Maria), Pax Christi (page Katolik Indonesia dan Katolik Menjawab).

Referensi:

Pax et Bonum