Langsung ke konten utama

Respon terhadap Pelanggaran Liturgi dalam Misa Valentine 2012

Salah satu foto dokumentasi Misa Valentine 14 Februari 2012 di Paroki St. Antonius Purbayan
Misa Valentine yang dirayakan pada tanggal 14 Februari 2012 di Gereja St. Antonius Purbayan, Solo, membuat geger dan prihatin banyak umat Katolik yang peduli terhadap Liturgi dan Ekaristi. Foto-foto dalam album Misa Valentine yang diselenggarakan di paroki ini menunjukkan sejumlah pelanggaran Liturgi yang serius antara lain:

1. Umat diizinkan menyambut Komuni Kudus dengan cara “Oreo” atau mencelup sendiri Tubuh ke dalam Darah Kristus. Hal ini melanggar aturan Gereja mengenai Ekaristi dalam dokumen Redemptionis Sacramentum 104: “Umat yang menyambut, tidak boleh diberi izin untuk sendiri mencelupkan Hosti ke dalam Piala; tidak boleh juga ia menerima Hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya. Hosti yang dipergunakan untuk pencelupan itu harus dikerjakan dari bahan sah dan harus sudah dikonsekrir; untuk itu dilarang memakai roti yang belum dikonsekrir atau yang terbuat dari bahan lain.


2. Imam memimpin Misa tidak menggunakan Busana Liturgi yang lengkap. Dalam berbagai foto di album tersebut, Imam yang memimpin Misa hanya menggunakan stola. Hal ini melanggar aturan Gereja mengenai Ekaristi dalam dokumen Redemptionis Sacramentum 126: “Tidak dapat disetujui bahwa para petugas suci merayakan Misa Kudus atau cara-cara liturgi lain tanpa busana suci atau dengan hanya stola di atas busana rahib atau biara atau di atas pakaian biasa. Hal ini berlawanan dengan apa yang ditentukan dalam buku-buku liturgi. Hal ini berlaku juga bila satu pelayan mengabil bagian. Demi memperbaiki penyewengan-penyelewengan itu secepat mungkin, para ordinasi hendaknya memperhatikan agar di semua gereja dan kapela yang berada di bawah yurisdiksi mereka, tersedialah busana liturgis yang secukupnya coraknya sesuai dengan norma-norma.

Album ini pun langsung menjadi medan diskusi baik yang membela pelanggaran Liturgi tersebut maupun yang menegaskan aturan Liturgi sembari menolak pelanggaran Liturgi tersebut. Well, saya pun akhirnya memberi sejumlah tanggapan di sana. Dalam artikel ini, saya hendak mengarsipkan sebuah tanggapan saya terhadap pertanyaan salah seorang yang berdiskusi di sana. Pertanyaannya dalam tulisan MERAH, dan tanggapan saya dalam tulisan Hitam dengan sejumlah perbaikan kata.

PERTANYAAN: Tapi tetap saja saya belum bisa memahami apakah tindakan OMK Purbayan salah di mata Allah. Pertanyaan dalam hati saya, apakah setelah perayaan ekaristi itu anak-anak mudanya langsung murtad dan meninggalkan Gereja Katolik? Atau malah justru mereka semakin mencintai Kristus dan Gerejanya?

TANGGAPAN: Kurban Kudus Misa (Perayaan Ekaristi) adalah untuk mendamaikan Allah dengan manusia, untuk meredakan kemarahan Allah atas dosa-dosa manusia. Liturgi untuk merayakan Kurban Kudus Misa adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada Gereja untuk diajarkan kepada kita supaya kita tahu bagaimana menyenangkan hati Allah, berdamai dengan Allah. Ingat, Liturgi tidak diserahkan Allah kepada masing-masing pribadi manusia, tetapi hanya kepada Gereja saja. Gereja lebih tahu mana yang menyenangkan hati Allah ketimbang kita masing-masing. Pelanggaran terhadap Liturgi merupakan suatu kesalahan, tidak hanya di mata Gereja yang diserahi tanggungjawab untuk mengajarkannya, tetapi juga suatu kesalahan di mata Allah sebagai penganugerah Liturgi tersebut.

Setelah Perayaan Ekaristi tersebut, memang mereka tidak langsung murtad dan meninggalkan Gereja. Tetapi, seperti kata Kardinal Burke dan Kardinal Canizares, "Misa yang buruk melemahkan iman." Benih-benih kemurtadan akan muncul dan tumbuh subur kelak. Mereka yang terbiasa dengan pelanggaran liturgi akan membenarkan pelanggaran tersebut sebagai kebiasaan. Mereka akan membenarkan kebiasaan yang salah daripada membiasakan hal yang benar. Misa yang buruk yang diselenggarakan "menurut selera kaum muda" perlahan tapi pasti semakin membuat kaum muda merasa bahwa Misa-lah yang harus memenuhi selera mereka. Kaum muda akan semakin berorientasi pada diri sendiri, mencari hal yang sesuai dengan selera mereka sendiri. Padahal dalam Misa, seluruh ke-aku-an kita haruslah kita tanggalkan. Dalam Misa semuanya berpusat kepada Allah, untuk menyenangkan hati Allah, bukan memenuhi selera umat. Ketika kaum muda merasa Misa tidak memenuhi selera mereka, maka mereka akan jajan ke ibadat Protestan, terus seperti itu dan lama kelamaan murtad dari Gereja Katolik. Kita kelak akan menuai segala keburukan akibat terlalu sering membiasakan Perayaan Ekaristi diutak-atik untuk memenuhi selera umat (kaum muda khususnya).

Nah, Misa yang buruk ini juga akan membuat kaum muda lain yang lebih taat dalam Liturgi meninggalkan Gereja. Salah seorang teman saya pindah, keluar dari Gereja Katolik dan menjadi Ortodoks Timur. Salah satu alasannya karena kerap melihat kekacauan Liturgi ketimbang Liturgi yang benar. Dia pun akhirnya melirik ke Ortodoks Timur yang lebih kaku dan tegas soal Liturgi. Hal lain lagi, kaum muda yang tradisionalis pun bisa keluar dari Gereja Katolik dan memilih menjadi anggota SSPX karena di SSPX mereka bisa menemukan penyelenggaraan Misa yang setia dan tegas (well, saya nyaris seperti ini, melirik kelompok ultra-tradisionalis).  Misa yang buruk jelas melemahkan iman kaum muda, baik yang taat maupun yang tidak taat.

Saya sering membaca artikel-artikel luar negeri dan di sana dipaparkan dengan jelas bahwa krisis Liturgi menurut Paus, banyak Kardinal dan Uskup adalah krisis terbesar yang dihadapi Gereja saat ini. Ini contohnya, dari Kardinal Koch: “The Crisis of the Church is Above All a Crisis of the Liturgy”. Paus Benediktus XVI malah sudah menulis buku "The Spirit of Liturgy" untuk menjelaskan Liturgi yang benar.

Saya juga kaum muda, dan syukur kepada Allah, saya semakin sadar pentingnya ketaatan dalam Perayaan Ekaristi. Anyway, jawaban saya sudah kepanjangan, nanti semakin dicap sebagai "orang farisi" lagi. Tapi, tidak apa-apa dicap demikian daripada membiarkan yang salah terus terjadi tanpa berbuat apa-apa. Pax et Bonum

Renungan Hari Ini

Postingan Populer

Doa-doa Dasar dalam Bahasa Latin

Bahasa Latin telah lama menjadi bahasa resmi Gereja Katolik. Berbagai dokumen resmi Gereja ditulis dalam bahasa Latin lalu diterjemahkan ke bahasa lainnya. Bahasa Latin berfungsi sebagai ikatan untuk ibadah/ penyembahan Katolik, menyatukan orang-orang dari setiap bangsa dalam perayaan Liturgi Suci, yang memungkinkan mereka untuk menyanyi dan merespon dalam ibadah umum.[1] Pada zaman kuno, Latin adalah bahasa umum hukum dan bisnis, seperti bahasa Inggris yang digunakan masa kini. Pada abad ke-5, karena Kekaisaran Romawi runtuh, Gereja muncul sebagai kekuatan budaya penyeimbang, mempertahankan penggunaan bahasa Latin sebagai sarana untuk persatuan. Bahasa Latin, sebagai bahasa mati di masa kini, bukanlah milik suatu negara. Karena Gereja adalah untuk “semua bangsa, suku dan bangsa,” (Wahyu 11:09) maka sangatlah tepat bahwa Gereja menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa resminya. [2] Signum Crucis / Tanda Salib In nómine Pátris et Fílii et Spíritus Sáncti. ...

Perisai Lambang Kepausan (Coat of Arms) Paus Leo XIV

  Lambang Paus Leo XIV terdiri dari perisai yang dibagi menjadi dua sektor, yang masing-masing membawa pesan yang mendalam. Di sisi kiri, dengan latar belakang biru, terdapat bunga lili putih bergaya, simbol tradisional kemurnian dan kepolosan. Bunga ini, yang sering dikaitkan dengan Perawan Maria, langsung membangkitkan dimensi Maria dalam spiritualitas Paus. Ini bukan sekadar seruan pengabdian, tetapi indikasi yang tepat tentang sentralitas yang ditempati Perawan Maria yang Terberkati dalam cara Gereja: model mendengarkan, kerendahan hati, dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Di sisi kanan perisai, dengan latar belakang putih, digambarkan Hati Kudus Yesus, tertusuk anak panah dan terletak di atas buku yang tertutup. Gambar ini, yang intens dan penuh makna, merujuk pada misteri pengorbanan penebusan Kristus, hati yang terluka karena cinta kepada manusia, tetapi juga pada Sabda Tuhan, yang diwakili oleh buku yang tertutup. Buku yang tertutup ini menunjukkan bahwa kebenaran ...

Kata "KATOLIK" Ada Dalam Kitab Suci

Bapa Gereja awal yang pertama kali menggunakan istilah GEREJA KATOLIK adalah St. Ignatius dari Antiokia. Beliau menurut tradisi Kristen adalah murid St. Yohanes Rasul dan beliau juga seorang anak yang pernah dipangku oleh Tuhan Yesus dalam Markus 9:36. Santo Ignasius dari Antiokia Kutipan dari tulisan St. Ignatius dari Antiokia kepada Jemaat di Smirna: Wherever the bishop appears, let the people be there; just as wherever Jesus Christ is, there is the Catholic Church " (Letter to the Smyrneans 8:2 [A.D. 110]). "Di mana ada uskup, hendaknya umat hadir di situ, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, Gereja Katolik hadir di situ." Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebelum masa St. Ignatius , istilah "Gereja Katolik" telah digunakan sebagai nama Gereja yang didirikan oleh Tuhan Yesus di ayat berikut. Mat 16:18 Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan GEREJA -Ku da...